Kembalinya Abimanyu

261 2 0
                                    

Sentuhan di bahu tak menghentikan tangisku. Aku mendongak, lalu mengusap wajah yang masih berderai air mata. Lidya telah berdiri di hadapanku, dengan telepon nirkabel di genggamannya.

"Ada yang mau ngomong sama lo, Lan. Namanya Abimanyu," bisik Lidya pelan sembari mengulurkan telepon nirkabel itu padaku.

Aku menggeleng, mengisyaratkan agar Lidya memberitahu orang di balik telepon itu bahwa aku sedang tak ingin bicara. Terlebih, orang itu adalah Abimanyu, yang beberapa menit lalu kuhindari.

Lidya bercakap sesaat dengan Abimanyu, lalu segera mengakhiri sambungan teleponnya. Dia menatapku sendu, seperti turut merasakan apa yang baru saja terjadi.

"Lan, dia Abimanyu yang dulu lo sering ceritain?" tanya Lidya pelan. Aku hanya mengangguk, mengiyakan tebakan Lidya benar adanya.

Sangat istimewanya Abimanyu bagiku, hingga kepergiannya yang menggoreskan luka pun selalu terkenang. Sampai aku menceritakan kisah itu pada Lidya, karena terlalu indah jika harus terlupakan begitu saja.

Pertemuan dengan Lidya pun berawal ketika kami sama-sama masuk kuliah di salah satu universitas terfavorit di kota ini. Hingga sampai kami lulus dan aku bekerja sebagai perancang busana di butik yang didirikan Lidya. Sebab itu, hubungan aku dan Lidya semakin dekat layaknya adik kakak yang saling mencurahkan isi hati dan perasaan.

"Lo kangen sama Abimanyu?" Lidya kembali membuka suara setelah isakan tangis dan lelehan air di mataku mulai mereda. Namun, pertanyaan bodoh Lidya membuat hatiku semakin gusar.

"Gue tau lo pasti kangen banget sama dia, tapi lo harus inget ... dia yang bikin hidup lo menderita selama bertahun-tahun," tambah Lidya sembari kembali mengusap bahuku pelan.

Aku mengangguk, memahami perkataan Lidya adalah benar. Tujuh tahun lamanya Abimanyu pergi dari kehidupanku, seharusnya aku jauh lebih kuat dari sebelumnya. Karena dengan begitu, aku sudah terbiasa menjalani hari-hari tanpa Abimanyu.

"Iya, Lid. Thanks, ya!" jawabku seraya tersenyum. Lalu, aku bangkit dan meraih tas yang tergeletak di atas meja kaca. "Kalo gitu, gue balik duluan, ya?"

Lidya mencebik, tapi sesaat kemudian tersenyum manis. Kadang, dia memang terlihat galak dan menyebalkan. Namun, itulah keunikan yang dimilikinya. Karena sesungguhnya dia adalah orang yang sangat pengertian terhadap suasana hati.

"Iya, Lan. Take care!"

Aku berjalan menyusuri koridor terang yang tak terlalu panjang, yang di kanan kiri dindingnya terdapat lukisan-lukisan kecil. Aku sengaja memilih ruangan yang paling ujung, karena untuk menghindari hingar bingar yang terjadi ketika kedatangan banyak pengunjung dan tentu saja musik keras berdentum-dentum yang selalu diputar Lidya saat bosan.

Tepat saat aku membuka pintu kaca yang menjadi akses keluar masuk satu-satunya di bangunan berukuran sedang ini, ponselku berdering. Nomor yang sama ketika Abimanyu menghubungi beberapa saat yang lalu tertera di layar.

Sebelum aku menjawab panggilannya, mataku menangkap sosok itu berdiri tak jauh dari tempatku berada. Dia mematung di depan sebuah mobil sporty hitam dengan pandangan tertuju padaku. Lampu jalan di atasnya cukup untuk menerangi wajah Abimanyu dengan jelas.

Benar, dia Abimanyuku yang dulu.

Rasa hati ingin segera berlari dan langsung memeluknya erat, tapi otakku masih dengan sigap untuk mengendalikannya. Namun, jantungku tak hentinya berdetak kencang, berdenyut hebat seolah menandakan keriangan atas kedatangan Abimanyu malam ini.

Untuk beberapa saat, aku dan Abimanyu hanya mematung di tempat masing-masing kami berdiri. Tak lepas dengan mata yang saling menatap lekat, menyiratkan kerinduan dan makna yang mendalam. Kemudian Abimanyu mulai melangkah, mendekatiku perlahan.

Memeluk BulanWhere stories live. Discover now