Jangan Berhenti! Melangkahlah hingga Ujung Lorong!

172 1 0
                                    

Lambat laun, hidup terasa begitu menyesakkan dada. Adakalanya perjalanan yang begitu sulit dan terjal terpaksa harus dilewati, meskipun kemustahilan begitu kentara terlihat. Semengerikan berjalan sendiri dalam sebuah lorong gelap dan panjang yang tak kunjung menemui titik terang. Menjadi kuat memang tak pernah mudah, banyak jejak berat menuju kemustahilan itu sendiri. Menjadi diriku hari ini adalah menjadi jiwa baru atas kemenanganku sendiri dalam kemustahilan itu, yang sepantasnya menjadi tanggungan masing-masing manusia yang ingin tetap hidup.

Duniaku enam tahun lalu adalah potret terburuk atas terjalnya perjalanan kehidupan yang harus siap kulalui, meski banyak jejak yang kuseret paksa menuju hari baru, yang siap melahapku dengan rasa-rasa yang mengoyak jiwa. Duniaku enam tahun lalu adalah lilin yang siap mati kapanpun ketika ia tak mampu menahan ributnya angin. Seperti sebuah jasad yang kehilangan jiwanya, seperti cangkang yang kehilangan pemiliknya, seperti itulah aku. Pada hari itulah kupaksakan melangkah menuju hal yang mustahil hanya untuk berpikir aku-bisa-dan-akan-baha-gia.

Seperti sebuah kompromi jahat antara takdir dan hidup, ia menjatuhkanku ke dalam lubang yang dalam, menjadi sekat yang menahanku dalam beribu sakit yang mencabik-cabik dengan ganas. Hari di saat sepasang kekasih mengikat ikrar suci adalah hari menuju hidup dan kebahagiaan baru –bagi orang lain, tapi bagiku hari itu adalah gerbang menuju momen-momen terburuk dalam hidupku. Riang yang semula terbit di hari menuju pernikahan, pada akhirnya terbenam dengan sangat terpaksa ketika aku tahu bahwa dia –suamiku, adalah manusia bertopeng paling ahli yang pernah kukenal. Seorang laki-laki yang aku tahu dia bagai malaikat, sirna begitu saja tepat di hari pertama pernikahan kami. Laki-laki  yang membawaku dalam remuk yang tak berujung, yang tak pernah sekali pun aku merasakan kebahagiaan. Setiap hari aku mencoba bertahan dengan satu harapan bahwa dia akan berubah, setiap hari aku mencari alasan untuk tetap mencintainya, setiap hari aku mengharapkan hal-hal mustahil, setiap hari dengan bodoh aku mencintainya, dan setiap hari aku membunuh kebahagiaanku sendiri, aku membunuh hatiku sendiri.

Kesakitan itu membawaku pada suatu malam yang penuh tragedi. Hujan turun begitu deras. Petir bersahutan dan gemuruh meraung di cakrawala. Pukul dua malam, tapi laki-laki itu belum ada juga tinggal di rumah. Bersama dengan gedoran pintu, lenyaplah lamunanku. Kuseret lemah tubuh lebamku menuju pintu, pada kala itu, hati yang kupaksa untuk tetap utuh selama ini, telah remuk dan menyebar melalui hangatnya aliran darah, serpihnya menancap melukai raga dan jiwa yang kosong. Laki-laki itu pulang dengan tubuh yang hendak ambruk dan aroma minuman yang menyengat, dengan dipapah tubuhnya oleh seorang wanita –yang tak pernah dan tak ingin aku tahu identitasnya hingga kini. Dengan tubuh gemetar, aku terduduk tak berdaya di depan pintu yang masih terbuka dengan tatapan kosong dan gerimis kecil di ujung mata. Malam itu, dengan kesadaran dan kuat tubuhku yang tersisa, kuputuskan untuk mengakhiri semuanya. Malam itu aku bersaksi atas diriku sendiri, bahwa hari itu terakhir kalinya aku ada di rumahnya, bahwa hari itu terakhir kalinya aku menaggung sakit. Bersamaan dengan gemuruh yang menggelegar, di saat itu juga mobil yang kukendarai bertabrakan dengan kendaraan lain. Pendengaranku lah yang menangkap momen-momen terakhir malam itu. Suara rintik hujan yang begitu lebat dan gemuruh yang disusul sekejap mata dengan suara benturan keras yang memekik telinga, menuntunku dalam ambang kematian.

Pelan mataku terbuka dengan rasa yang begitu sakit sekujur tubuh dan hanya ada keheningan. Kepahitan lain harus kutanggung sebagai konsekuensi kecelakaan malam itu. Suara hantaman keras tabrakan mobil menyebabkan kerusakan pada fungsi telingaku. Juga patah tulang pada kaki membuatku tidur berbulan-bulan di sebuah ruangan hampa beraroma obat. Kini aku hidup dengan keheningan yang tak akan pernah usai. Keadaan ini memaksaku untuk kembali dan tetap menjadi kuat, susah payah kutelan mentah-mentah semua itu. Banyak situasi buruk yang harus mampu kuterima, situasi yang satu kalipun tak pernah terbayang akan ada dalam seumur hidupku, bahwa perjalanan hidupku yang semula baik-baik saja begitu cepat berbalik hanya dalam waktu kurang dari satu tahun. Tragedi empat bulan itu membawaku dalam trauma yang begitu menyakitiku sepanjang malam. Tidurku hanya dipenuhi mimpi-mimpi mengerikan, menghantuiku, membuatku hampir melakukan hal-hal yang membuat ragaku benar-benar kosong ditinggalkan rohnya.

Bagiku, bangkit dan tumbuh menjadi baru bukanlah hal yang mudah. Hal tersulit itu muncul berulang kali ketika ingatanku melayang di saat-saat tubuhku yang tengah tak berdaya ini lebam oleh seorang laki-laki yang tak pernah sekalipun aku berpikir dia akan bisa melakukan itu padaku –pada orang lain sekalipun. Berminggu-minggu tidur di ranjang putih ini membuatku benar-benar terlihat seperti orang yang begitu menyedihkan, menyedihkan karena orang lain selalu melihat mataku mendung. Menjadi baik-baik saja saat ini adalah langkah paling salah, menerima diriku sendiri saat ini dalam keterpurukan adalah keputusan untuk melangkah menuju hari baru. Kakak laki-lakiku menemaniku melewati hari-hari buruk di tempat ini. Ketika keputus asaan itu datang, aku mengingat bagaimana kakak menjagaku selama ini, bagaimana kerelaannya jauh-jauh ke sini untuk menjagaku, menjadi tempat satu-satunya meluapkan segala emosiku saat ini. Kakak bagiku adalah manusia yang begitu baik, di balik banyak tingkahnya yang selalu membuatku marah ketika dulu kami masih tinggal bersama.

Semakin lama dalam keadaan ini membawaku dalam kejenuhan yang ingin segera kuselesaikan. Hanya dengan bermodal bahwa “aku mau dan aku pasti bisa”, pelan-pelan kutinggalkan dunia yang menyeretku dalam lubang yang begitu dalam. Kupaksa diriku untuk maju, untuk sembuh, untuk keluar dari lorong gelap ini dan segera temukan titik terang, titik yang akan menuntunku dalam tujuan menjadi manusia baru, menjadi wanita yang hebat. Bersama keheningan yang kumiliki, kumulai semuanya dari awal. Seperti seorang manusia yang baru lahir, aku belajar bagaimana caraku untuk berbicara dan mendengarkan orang lain, belajar bahwa keheningan yang kumiliki bukanlah batasan yang harus kutakuti lagi. Hari demi hari kuberanikan untuk melangkah, menjejaki sesuatu yang tidak mudah, membuka  mataku lebih luas yang membuatku perlahan meninggalkan penyesalan bahwa aku pernah dalam kondisi yang paling buruk. Selaras dengan barmacam warna yang kulukis di atas kanvas putih, kutinggalkan kemuraman itu, kutinggalkan lorong yang membawaku dalam kegelapan, hingga kutemukan titik terang di ujung sana.

Mulai hari itu, aku –Alesh, kutemukan tujuanku, kutemukan jalan hidupku yang baru. Satu demi satu kuwujudkan mimpi-mimpiku menjadi suatu hal yang nyata, suatu hal yang membawa sorak. Dengan kakiku sendiri, kubawa tubuhku menjejaki tempat-tempat baru. Bertemu banyak orang yang siap menerimaku dan mencintaiku dengan sukarela. Dengan berani kubangun kembali mimpi-mimpi indah. Bersama beberapa teman, kami mendirikan sekolah keliling di daerah-daerah yang masih sulit terjamah kecanggihan teknologi untuk mengajarkan anak-anak kurang beruntung dalam hidupnya untuk berani bermimpi bahwa mereka bisa menjadi seorang manusia yang hebat. Bertahun-tahun kami melakukannya, hingga kini, di pojok resto kecil –resto yang kami bangun untuk para pekerja difabel, dengan laptop yang masih menyala, kuselesaikan cerita pahit ini.

“Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam”
-Our mother, Kartini-

- Refa nh

Kartini : Habis Gelap Terbitlah TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang