[4] Missed Communication

392 72 8
                                    

Hari sudah beranjak gelap beberapa menit yang lalu. Lapangan bola kampus juga sudah sepi. Alta masih membatu tersedu di salah satu bangku penonton. Meski berulangkali patah hati, Alta tidak pernah terbiasa dengan sakitnya. Mungkin frekuensi 2-3 kali patah hati dalam seminggu belum cukup membuatnya terbiasa. Mungkin harus lebih banyak lagi jam terbang Alta.

"Nangis terus emang nggak capek?" Sebuah tangan terulur di depan Alta dengan selembar tisu.

Tangis Alta terhenti mendadak. Dia tidak langsung mendongak. Justru was-was. Didekap erat tas di pangkuannya. Kepalanya terangkat perlahan. Dari balik riap poni yang menjuntai ke wajahnya, Alta bisa melihat sesosok cowok tinggi kurus berdiri di hadapannya.

"MAU NYEKAP GUE PAKAI OBAT BIUS YA?!" tuding Alta serta merta. Duduknya bergeser mundur, defensif.

Mata cowok itu melebar.

"Bilang lo suruhan siapa? Saingan bisnis nyokap-bokap atau Om-Tante gue?! Gue kasih tahu ya, gue anak tunggal, bego pula!"

Bego tapi bangga?

"Gue nggak ngerti dan nggak sudi-sudi amat ngurusin bisnis. Nanti gue mau cari pria kaya dan pinter aja biar nggak repot. Jadi, bilang bos lo, nggak usah pakai acara culik-culikan segala! Asal lo tahu, gue makannya banyak. Nggak doyan sembarang makanan. Gue nggak bisa makan makanan murah. Jadi kalau mau nyulik gue, modal lo kudu banyak? Siap nggak? Iya kalau ortu gue mau nebus, lo bisa balik modal. Kalau enggak? Kali aja, mereka malah milih ngadopsi anak yang otaknya lebih jenius. Dapat apa lo coba?"

Kalimat Alta terjun bebas mengalir deras. Spasi, titik, koma kadang tabrak lari begitu saja.

"Minum?" Alih-alih mengamuk dituding semena-mena, cowok itu malah ngos-ngosan melihat Alta bicara panjang lebar tanpa jeda. Dengan canggung, cowok itu menyodorkan segelas air mineral. "Nangis sambil ngomel-ngomel gitu pasti capek."

Alta melirik air mineral di tangan kanan cowok itu dengan sinis. "Pasti lo racun ya?"

"Hah?"

"Kalau bukan racun apaan?!" Kalau ingat kejadian itu, Alta rasanya ingin sekali mencelupkan muka ke selokan. Mulutnya menceracau ke mana-mana selama lima menit berikutnya tanpa jeda. Kadang mengomel dan menuduh seenak jidatnya. Sesekali menyempatkan curcol.

Begitu tenggorokannya mulai serak, Alta seolah amnesia pada makiannya. Dia menarik gelas air mineral dari tangan cowok itu dan meminumnya dengan rakus hingga tandas. Tidak tanggung-tanggung, tisu cowok itu juga diambil untuk mengusap bibirnya yang belepotan terkena air.

Alta baru sadar dengan ketololannya beberapa saat kemudian. Telunjuknya teracung dan tatapannya mengarah lurus pada cowok itu. Belum sempat bicara, cowok itu sudah menarik tangan Alta untuk berjabat tangan.

"Ryandra."

"Siapa yang mau ngajak lo kenalan?!" Alta mencebikkan bibir sambil menarik tangannya. Dia sudah siap mengomel lagi, tapi Ryandra sudah duduk melamun mengabaikannya. Alta melongo. Tatapan cowok itu menerawang.Ini penjahat langsung tobat karena gue omelin?

"Lanjutin aja nangisnya, gue temenin biar nggak galau sendirian," celetuk Ryandra ketika sadar cewek itu mengamatinya dengan bingung.

Alta melebarkan bola mata. Orang asing yang aneh. "Eh?"

Ryandra balik menatap Alta. "Kenapa? Mau minjem bahu juga?"

Kepala Alta menggeleng-geleng dengan bibir terbuka. Terlihat konyol dan sedikit tolol. Cowok itu melingkarkan tangan ke kedua kakinya yang bersilangan. Matanya menerawang. Berkali-kali menghela napas resah.

Dua orang asing, saling menuding. Lalu duduk bersisian dalam hening. Tidak ada yang bergeming.

Kegalauan Alta jadi terusik. Patah hatinya teralihkan oleh kehadiran cowok ini. "Lo galau kenapa?"

A Fault in Our Love (exclusive on Gramedia Digital)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang