Lakukan saja sendiri di rumahmu

404 50 11
                                    

Ceritakan pada dunia apa masalah mereka soal orang-orang lemah?

Yeosang berpikir sedikit filosofis kadang-kadang.

Sebagai salah satu orang lemah, Yeosang tidak mengerti kenapa dunia senang sekali menindas mereka? Maksudnya, tanpa ditindas pun orang lemah sudah sengaja menghindar. Sudah lebih dulu menyembunyikan diri dari probabilitas menjadi target untuk diserang.

Kenapa dunia menikmati kelemahan orang lemah?

Yeosang bertanya-tanya.

Sebagai orang lemah yang dipaksa belajar membela dirinya.

Kenapa dunia senang sekali menambah-nambah pekerjaan?

Yeosang sudah punya banyak tugas dari sekolah dan rumah. Kenapa memaksanya untuk melatih fisik pula?

Sudah tujuh hari Yeosang melewati hari bersama Jongho. Di lapangan Byeonggun. Untuk berlatih. Banyak hal. Cara menyerang, menangkis serangan lawan, bahkan menghindar. Tentu, menghindar. Ini adalah salah satu poin penting. Karena terus-menerus menjadi agresif juga tidak bagus. Lalu tidak hanya jika melawan banyak orang. Pertarungan satu lawan satu juga membutukan strategi. Menyiapkan plan A sampai Z kalau perlu.

Sudah satu bulan lapangan ini tidak difungsikan. Tidak terurus. Semenjak adanya rumor hantu gadis berkeliaran di sini. Seorang siswi SMA yang dibunuh tepat di lapangan ini. Dengan dipukuli benda tumpul, lalu setelah itu dibunuh dengan tikaman di bagian perut. Kasusnya sudah clear, tapi itu adalah hal natural kenapa tidak ada lagi orang yang berani untuk datang ke lapangan ini. Tapi tentu ada juga yang tidak takut atau percaya dengan hal semacam itu. Yaitu Jongho.

Jongho menyentuh sepasang pinggang ramping Yeosang dari belakang. Membuat dirinya sendiri merasakan sebuah sengatan. Kemeja seragam sekolah itu begitu tipis. Ia bisa membayangkan kulit mulus—atau tidak—di balik kain putih itu.

"Dorong massa badan..." Telapak tangan besarnya melakukan perjalanan hingga ke bahu lelaki itu dengan penuh penghayatan. "...melalui pundak..." Tangan itu terus melaju hingga menelusuri lengan kiri Yeosang yang terulur lurus ke depan, "...dan menuju lengan." Ia lalu melepaskan sentuhan. Dengan perasaan tidak rela.

Jika tidak ingat bahwa saat ini ia sedang mengajarkan Yeosang untuk berkelahi, ia pasti sudah menyentuh bagian lain di tubuh Yeosang. Dan tidak akan melepasnya secepat ini.

Ia mengubah posisi, berdiri di hadapan Yeosang. "Tapi karena gravitasi mempengaruhi, maka kita akan menyebutnya sebagai berat. Ini akan menghubungkan pukulan pada jangkauan terjauh untuk menghasilkan daya terbesar untuk pukulanmu."

BUGH!

"Argh!" Itu suara Jongho yang mengerang. Tubuhnya sedikit terhempas setelah menerima pukulan keras di bagian os zygomatic.

"Aku belum memberikan aba-aba padamu untuk menyerangku!" Memprotes ketika memegangi tulang pipinya yang sakit, ia hanya bisa meringis selagi sebisanya melempar tatapan sinis pada si pemukul dirinya.

"Kau bilang pukulan lurus yang langsung adalah yang terbaik? Aku hanya mencoba untuk mengimplementasikannya." Yeosang menampilkan wajah innocent-nya. Karena sesungguhnya ia kira memang Jongho tidak akan kenapa-kenapa menerima pukulannya.

"Untung saja barusan sudut yang dibuat sikut kananmu hanya sekitar dua puluh derajat. Jika tidak, aku pasti benar-benar sudah ambruk saat ini."

Yeosang tidak pernah paham mengapa Jongho terobsesi dengan penjelasan membosankan ala Nona Kim, guru fisika mereka?

Jika dipikir lagi Nona Kim nama yang sangat pasaran. Dan setelah dipikir lagi mereka hanya menyebut guru membosankan dengan nama membosankan itu Nona Kim. Oke. Sekarang Jongho penasaran dengan nama lengkap gurunya itu.

"Kau harus lebih fokus pada sudut pukulanmu." Ia masih bicara rupanya. Belum berhenti, berganti-ganti secara paralel, sedetik mengeluhkan sudut pukulan, sedetik mengeluhkan sakit yang menyebar di wajahnya.

"Ya ampun. Aku lupa. Seharusnya tiga puluh sampai empat puluh lima derajat di depan wajah." Yeosang memberi tanggapan sedikit berlebihan. Sengaja membuat kesal.

Jongho mendengus, sepertinya berhasil juga dibuat kesal. "Sudahlah. Latihan untuk hari ini kita cukupkan sampai di sini."

"Baiklah." Yeosang menunduk sedikit wajahnya. Berusaha menyembunyikan senyum lega. Karena sesungguhnya dia sudah lelah.

Mereka berjalan ke arah kursi penonton, dimana mereka menyimpan dasi, rompi, jas, dan tas. Lalu duduk di sana.

Jongho memberikan sebotol air mineral pada Yeosang seusai berlatih. Yeosang langsung meminumnya setelah mengucapkan terima kasih.

"Aku bisa melihat kemajuan yang pesat pada dirimu. Kau belajar dengan cepat," ujar Jongho, tumben sekali terdengar genuinely bangga dengan hasil kerja keras mereka.

"Tidak akan bisa seperti ini tanpamu." Yeosang jadi ingin sedikit membalas dengan pujian. Sedikit.

Jongho mengelap keringat yang menetes di pelipis dan leher Yeosang menggunakan handuk kecil. Selama satu minggu ini Jongho selalu seperti itu. Dan setelahnya Yeosang yang sudah hapal sikap temannya itu pasti akan merebut kain itu dan berkata, "Aku bisa melakukannya sendiri."

Biasanya setelah itu Jongho tidak menjawab lagi. Tapi untuk hari ini dia membalas, "Aku tahu. Aku hanya ingin menunjukkan perhatianku padamu."

Jadi seperti ini Yeosang menanggapi, "Tapi sesama teman lelaki tidak akan melakukan itu."

Hahaha. 'Teman', ya? Kenapa kau selalu membuat batasan seperti itu, apapun yang kulakukan padamu?

"Apakah sangat sakit?" tanya Yeosang. Seolah tahu apa yang Jongho keluhkan dalam hati.

"Ummm... bagaimana ya? Mungkin bukan sakit. Tapi lebih ke... tidak bisa menerima kata-katamu itu?"

Yeosang membuat kerutan lebih jelas di keningnya. Kebingungan dengan arah pembicaraan ini. "Hah? Kau bicara apa?" Jadi ia menjelaskan kebingungannya lewat pertanyaan yang juga membingungkan Jongho.

"Memangnya apa yang kau tanyakan tadi?" Dan dibalas pertanyaan lagi. Great. Arah diskusi ini berbobot sekali.

"Pipimu. Apakah sangat sakit?" Yeosang membahasakan lagi kekhawatirannya.

Jongho baru sadar kemudian. "Ah," ia tertawa, "sudah kubilang, untung saja sudut yang kau buat tadi hanya dua puluh derajat. Jadi kurasa aku baik-baik saja."

Kukira kau bertanya soal hatiku. Dan dengan bodohnya aku menjawab seperti itu. Memalukan sekali. Apa aku terjun saja ke jurang ya sehabis ini?

Ia terlalu memikirkan perasaan. Terdengar seperti anak gadis saja. Yah, bukan berarti laki-laki tidak boleh memikirkan perasaan. Hanya saja terdengar seperti sesuatu yang dilakukan anak gadis secara stereotip. Dan ia tidak suka membandingkan dirinya dengan anak gadis.

Oke, this sounds more like toxic masculinity talking.

"Ya sudah, berarti aku tidak perlu mengompresnya sebagai permintaan maafku." Sedikit membuang muka, Yeosang kelihatan tidak ingin melanjutkan pembicaraan.

"Eh? Kalau kau mau mengompresnya juga tidak apa-apa kok, sungguh!" Jongho terkekeh. Tentu saja, Yeosang tidak pernah menyentuhnya selama ini. Tapi kalau itu adalah satu-satunya cara agar apa yang Jongho inginkan itu terwujud, babak belur di seluruh bagian wajah pun ia mau.

"Lakukan saja sendiri di rumahmu." Memeletkan lidah, Yeosang berdiri dan merapikan seragamnya.

Jongho hanya bisa gigit jari secara mental.

Jongho hanya bisa gigit jari secara mental

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HARDSHIP 🌷 JongSang [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang