ii. si selalu benar.

827 105 4
                                    




Hari itu berjalan normal untuk seorang Yujin. Banyak hal-hal yang ia biasa kerjakan dari hari-hari kemarin, kacamata berlensa bundar yang bertengger tepat pada batang hidungnya menjadi saksi bisu kesibukan sang HRD berumur 23 tahun itu selama satu minggu ini.

Ia dari tadi bergadak-gidik melewati banyak bilik kerja kolega-koleganya, bertekad untuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai waktu yang ditentukan. Yujin sebagai HRD bukanlah karyawan yang terlalu mengincar pujian dari atasannya, walau atasannya ya orangtuanya sendiri.

Ia masih menjalin hubungan yang baik dengan teman-teman kantornya. Dicap sebagai HRD sang pembawa sial karyawan-karyawan tidak berdosa adalah sesuatu yang sangat ia hindari semenjak ia mulai bekerja. Menurutnya, justru seorang HRD harus menjadi seorang insan yang santun terhadap sesama karena bukan hanya ia adalah penentu nasib warga kantor, tetapi juga penyemangat inti mental para budak korporat yang lelah melaksanakan kewajiban duniawi.

Pekerjaannya juga tak kalah melelahkan, menguras kekuatan batinnya karena itulah perasaan seorang lulusan jurusan psikologi. Harus kuat menangani problema manusia dengan dengan kepribadian yang beragam, bahkan sampai problemanya sendiri pun ia kesampingkan.

Untungnya, ia sudah terbiasa dengan pola hidup seperti itu berkat empat tahun dijejeli ilmu oleh para dosen killer di almamaternya dulu. Sekarang, ia tak terlalu merasa berat melaksanakan pekerjaannya.

Merevisi proposal kegiatan seminar karyawan, mengulas ulang banyaknya dokumen berisikan CV para pelamar kerja pada bulan tersebut, meninjau kinerja para karyawan selama tiga bulan terakhir untuk diberikan evaluasi, dan berbagai hal-hal lainnya.

Kerjaan seperti biasa. Tidak ada yang terlalu melenceng dari kebiasaan sehari-hari. Semuanya aman, damai, tentram, tertib.

Atau setidaknya, itulah yang sedang ia yakinkan kepada pikirannya yang sedari tadi pagi amburadul hanya karena satu kali sebutan sebuah nama yang selalu ia coba hindari keberadaannya selama dua tahun.

Bagai awan pengganggu di tengah-tengah cerahnya bentangan langit biru, satu nama itu terus-terusan berputar-putar di kepalanya. Bukannya tidak pernah berputar-putar sebelumnya tetapi sekarang terasa seperti angin tornado yang mengganggu jalurnya pikiran yang seharusnya ia prioritaskan sekarang, seakan ia meminta untuk didahulukan dulu kepentingannya sebelum hal-hal yang lain.

Seperti apa yang seorang itu minta Yujin lakukan dua tahun yang lalu.

Beberapa jam sudah lewat, gerakan badannya sudah ia nyalakan autopilot seperti hari-hari sebelumnya. Bulak-balik meja printer dan meja kerjanya sendiri, membawa berbagai macam dokumen sana sini untuk ia revisi dan setor. Blazer hitamnya dari tadi masih bergantung tak tergubris di atas kursi, lengan kemejanya ia gulung sampai sikut tangannya, rambut hitamnya ia ikat. Gelas plastik berisikan milk tea boba dan kotak makan yang tadinya berisi nasi goreng sudah habis dan tergeletak di atas meja, dalam benaknya ia tambahkan pengingat untuk membereskan tempat bekal dan membuang gelas plastik sebelum ia pulang dari kantor.

Setelah selesai banyaknya urusan duniawi yang harus ia lakukan hari itu di kantor, dengan nafas yang ia hembuskan lega, Yujin berjalan keluar dari lift menuju parkiran motor di lantai basement. Akhirnya hari ini selesai juga, ia bisa pulang dengan sedikit bersantai karena masih jam sore. Mumpung besok hari weekend juga, ia ingin berleha-leha sesampai di apartemennya nanti. Rambutnya ia sibak dengan jari-jari tangan kanannya, betapa memuaskan rasanya jika pekerjaannya terpenuhi.

Sambil ia memakaikan blazer yang tadinya ia tenteng dengan tangan kirinya, ponsel bercasing hitam yang sedang bertengger manis di kantongnya berdering. Ringtone lagu Day6 mengisi dengan pelan heningnya basement, tangan kanannya yang senggang mengambil gawai tersebut lalu ia baca nama sang pemanggil.

sekali lagi ya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang