Don't forget to vote, comment and follow me. Save this story in your library, Okay.
Happy Reading ♡
📀📀📀
"Ada masalah apalagi sih Bang, gue tuh lagi cuti liburan loh, gue gak mau ya kalo kalian maksa gue ngambil kerjaan di masa cuti gue meskipun itu tinggal semingguan lagi." Protesan itu tentunya langsung Naka utarakan ketika dirinya baru tiba di Jakarta beberapa menit yang lalu, dan sang manajer yang menjemput pastilah berusaha untuk tetap tenang menghadapi protesan itu.
"Ada projek baru dan Pak Mahen mau lo ngambil projek itu, katanya lo juga pasti bakal setuju dan ngambil projeknya. Dan katanya Pak Mahen kesempatan buat dapetin ini projek cuman hari ini, kalo lo gak ambil ya di kasih ke artis lain" Jonathan, atau yang sering di panggil Bang Jo itu menoleh kepada Naka yang duduk di kursi belakang yang sejajar dengan supir.
"Ck, terus ini mau kemana sih Bang, ini bukan jalan kekantor, jangan bilang dinner formal?" Seakan baru sadar pakaian sang manajer berpakaian rapih, Naka yang kini mulai ebakaran jenggot alias rusuh sendiri di kursi belakang supir.
"Yaudah sih Ka, biasanya lo juga bodoamat," Jawab Jo dengan nadanya yang agak tegas.
"Kalo sampe babeh marah-marah soal outfit gue, lo yang gue jadiin umpan ya, Bang." Ancam Naka yang langsung membuat Jo memutar bola matanya jengah.
"Bayi, tuh dibelakang lo bajunya buruan pake, udah mau sampe ini. " Ucap Jo tak mau kalah.
📀📀📀
Dalam balutan kemeja putih yang body press Naka berjalan dengan percaya dirinya menuju tempat pertemuan yang ada dilantai 10 yang tentunya merupakan restoran yang memberikan ruangan VIP pada pelanggannya.
Jo memandu nya dari depan tanpa banyak bicara. Hingga ketika pintu ruangan VIP sudah di depan mata ia mengatakan hal yang cukup membuat pening kepalanya.
"Pak Mahen bakal ngecancel film dokumenter lo, kalo lo gak ambil proyek ini, gue harap lo bisa ambil keputusan yang bener-bener berguna buat lo, Ka. "
Belum sempat Naka menanyakan lebih jelas maksud Jo, pintu di depannya sudah menghilang, yang menampilkan kedua pria paruh baya yang tengah berbincang akrab atau sekedar mengakrabkan?
"Oh, lihat superstar kita sudah datang" Seru pria paruh baya ketika ia melihat Naka dan Jo memasuki ruangan VIP, yang tepat di tengahnya berdiri kokoh meja jamuan yang panjang dengan beragam menu tersaji di atasnya.
Naka menghampiri mereka hingga ia kini secara tidak langsung berhadapan dengan pria paruh baya yang kemungkinan besar si yang menawarkan projeknya.
"Naka ini adalah Rudy Salim Sutradara pemenang sutradara terbaik di ajang ASEAN Film Awards" Ujar Pak Mahen yang menengahi kami, ia bahkan tak perlu dengan segan menyambut, tangannya malah dengan lues memotong steik medium rare tanpa perlu susah payah.
"Rudy Salim" Pria di depan Naka itu mengulurkan tangannya diiringi dengan senyuman.
Seakan tak mengindahkan aura disekitarnya ia menunggu hingga tangannya dijabat seorang Naka, oleh seorang superstar bau kencur?
"Arsyanendra"
Tangan itu menggenggam sepersekian detik, lalu beralih pada Jo yang berdiri di samping Naka. Lelaki paruh baya itu pun mengisyaratkan Naka dan Jo untuk duduk.
"Ini adalah salah keberuntungan saya di tahun ini, tak terlintas sekalipun saya bisa berjumpa dengan seorang Naka yang menjadi idola anak perempuan saya" Rudy membuka percakapan dengan diakhiri kekehan yang tak membuat mereka yang duduk disana tertawa.
"Justru saya Rudy yang harusnya berkata demikian padamu, hal yang saya kira mimpi kala tidur yang akan hilang terhapus waktu ternyata malah menjadi sebuah untaian yang butuh kehati-hatian." Di sela suapan nya Pak Mahen menuturkan kalimat yang menurut Naka bukan satu kali diucapkan lelaki itu.
"Jadi tujuan anda meminta saya kesini itu apa? "
"Sepertinya penyanyi emas anda sudah tidak sabar Pak Mahen, setidaknya makanlah dulu jamuannya anak muda. " Rudy menanggapi Naka dengan tenangnya.
Suara dentingan dari pisau dan garpu mengalihkan fokus Naka yang berlabuh pada sutradara di depannya.
Dehaman Pak Mahen menjadi awal dari pembicaraan yang akan masuk ke intinya.
"Puluhan acara televisi yang kamu tolak, puluhan gosip yang muncul di media semuanya saya yang bantu selesaikan, bahkan film dokumenter yang masih proses namun entah apakah akan laku di pasaran pun hampir selesai. Masa liburanmu yang hanya berdiam diri di dalam kamar hotel sepertinya akan lebih bermanfaat jika kamu ikut proyek adventure show milik Pak Rudy. Saya tidak mau penolakan lagi, silahkan urus ketentuan yang baik menurutmu Naka, tapi saya tidak mau adventure show ini dibintangi oleh orang lain, kecuali kamu rela film dokumenter milikmu dibatalkan" Pak Mahen mengakhiri perkataan panjangnya, ia menyesap air dari gelasnya untuk membasahi kerongkongan yang kering.
"Tapi Pak, saya mengambil cuti liburan dengan ijin anda lalu seenaknya mengambil hak saya dengan dalih agar kegiatan saya selama liburan bisa lebih bermanfaat! God damn it dengan acara anda Pak Rudy saya tidak peduli. " Gebrakan meja menghentikan aksi protes penyanyi muda itu.
"Mana sopan santunmu Naka, apakah sudah kau hanyutkan atau kau tenggelamkan kedasar laut, hah?!" Seakan tersadar dengan tingkahnya Naka kini hanya berdiri dengan nafas tak beraturan, amarahnya belum reda begitupun remuk redamnya tubuh selepas perjalanan dari Bali.
"Sudahlah Pak Mahen, biarkan anak muda ini istirahat dari perjalanan panjangnya, lagipula acara saya tidak dalam kejar tayang. Anak muda pulanglah kamu bisa pikir-pikir dulu, tolong antarkan dia pulang Jo." Perintah Rudy bak angin segar bagi Jo yang ingin melakban bibi Naka yang kadang bicara tanpa rambu itu.
Dengan segera Jo pamit untuk menggiring, tidak mungkin lebih tepatnya menyeret Naka agar keluar dari ruangan dan mengeksekusinya dengan sumpah serampah dan protesan sampai ke apartemennya.
Ada banyak kalimat tanya yang datang hingga menumpuk dalam kepala Naka. Tanpa mempedulikan Jo yang masih mengoceh soal sikapnya yang kekanak-kanakan di dapur miliknya, Naka bergegas pergi ke ruangan kerja yang tepat disamping kamar tidur. Semuanya masih sama seperti terakhir kali ia akan meninggalkan apartemen. Gitar listrik di sudut dekat jendela, lalu di seberangnya vas bunga, dengan drum yang ditempatkan ditengah mereka dengan kedua stik drum —hadiah dari drummers yang dulu pernah jadi gurunya—yang seakan menggoda untuk diajak bermain. Pelupuk mata Naka akhirnya menemukan tujuannya datang kemari kearah meja yang terdapat banyak laci, ia membuka laci urutan keempat baris ke dua. Disana tersimpan buku yang jadi tempat memuntahkan isi kepala yang membuatnya pusing.
Diatas sofa cokelat, Naka keluarkan si sentimental dalam bentuk kata di atas kertas buku itu. Musisi memangnya se sensitif inikah?
📀📀📀
Kepada siapakah ku berikan jati diriku ini.
Pada lautan yang kemarin ku sapa, pada awan yang beranjak, pada tanah yang ku tapak, ataukah pada sepi yang mendewasa.
Kemana harus ku susuri 'tuk hilangkan rasa sesal.
Saat ini mungkin fajar tengah mencemooh,
Mencela si anak adam yang kehilangan kompasnya.📀📀📀
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
My You
FanfictionNaka kira hanya alam dan seni yang bisa membuatnya tetap hidup, ternyata itu salah. Karena ada hal lain yang menjadi semangat baru untuk Naka perjuangkan, untuk ia cintai, dan miliki. Membuat dunia Naka tidak hanya sebatas mengukir kata tapi lebih d...