B

13 1 0
                                    



Wiwi menunduk, bergelut dengan pikirannya. Ia menghentak-hentakan kakinya seperti sedang mendengar alunan musik. Itu bisa membuatnya tenang dan berusaha enggak memperdulikan sekitarnya. Sudah banyak yang datang, tapi gak ada satu pun orang yang memasuki kelas ini untuk memulai kegiatan MOS.

MOS atau Masa Orientasi Siswa kali ini akan berbeda dengan sebelumnya, semua murid gak ada yang harus memakai aksesoris dari barang bekas layaknya orang sakit jiwa, gak perlu lagi membawa banyak barang aneh dengan daftar petunjuk yang harus ditebak, dan semua murid diwajibkan memakai seragam SMK lengkap.

Katanya, gak akan ada lagi aksi senioritas-junioritas, para kakak kelas hanya akan memberikan arahan yang biasa, dan beberapa permainan yang biasa serta enggak terlalu berlebihan. Ya, mungkin akan terdengar sangat membosankan.

Gak lama kemudian, seseorang mencolek pundak Wiwi. Ia mendongak, mengedipkan matanya beberapa kali saat mendapati seorang perempuan dl depannya. Ia berambut pendek dengan warna hitam sempurna, ujung rambutnya  melengkung ke leher, membuat perempuan itu menggemaskan seperti ... anak SD.

Ia memberikan senyum dan mendekatkan wajahnya pada Wiwi, alisnya menyatu dan sedikit terangkat. "Hei, kamu duduk sendirian?" tanyanya. Belum sempat Wiwi akan menjawab, ia langsung berbicara lagi. "Sebangku sama aku, yuk? Aku juga belum punya temen sebangku."

Wiwi mengangkat ke dua sudut bibirnya dan mengangguk. "Boleh, sok silahkan!"

Ia terdiam dan mengatupkan bibirnya. "Tapi, aku maunya duduk di sana," kata perempuan itu menunjuk barisan belakang dengan dagunya.

Wiwi menoleh ke belakang dan mendapati kelompok perempuan yang berkumpul di barisan yang paling ujung di sebelah kiri. Mereka terlihat mengobrol sangat seru, bahkan suara tertawa mereka pun sampai terdengar ke depan.

Lalu, ia kembali pada perempuan berambut pendek itu yang menanti jawabannya. Kemudian melirik ke pintu, belum ada tanda-tanda Ella dan Laili kembali. Enggak enak kalau langsung pergi tanpa pamit pada mereka berdua yang pertama membunuh sepinya. Namun, ia juga enggak pengin membuat perempuan itu menunggu. Tanpa berlama-lama lagi ia pun mengangguk, dan bangkit.

Perempuan itu mengepalkan tangannya dan melompat rendah. Ia mengulurkan tangan dan menjabat tangan Wiwi. "Aku Amira, biasa dipanggil 'Rara'." Suaranya cempréng seperti anak perempuan yang belum baligh, ia merangkul pundak Wiwi dan menuntunnya ke sana.

"Aku Wiwi."

Wiwi sudah berpengalaman soal menghadapi adaptasi baru, seperti saat pertama masuk SD, masuk SMP, naik kelas dengan teman kelas yang diacak. Tapi, semuanya enggak ada yang semudah seperti saat memasuki SMK. Sebuah hal sama dengan atmosfir baru yang berbeda.

Saat ia tiba di barisan belakang, kumpulan perempuan yang ribut itu langsung menyambut kedatangan Amira. Ah, sial! Wiwi sempat mengumpat melihat Amira yang sudah punya banyak teman, ternyata yang ia butuhkan hanya teman sebangku.

Para perempuan itu kemudian beralih menengok Wiwi, mata mereka menyorot penampilannya dari bawah ke atas, sesaat rasanya sama seperti pagi pertama yang sama memuakannya dengan pagi-pagi sebelumnya.

Kemudian mata mereka berhenti menatap wajah Wiwi, mereka mungkin sedang mangamati pipi Wiwi yang tirus dan lebar, hidungnya yang agak mancung, bibir yang sedikit tebal, dan beberapa bekas jerawat yang hitam samar di dahi dan dagunya. Setelah pengamatan mereka selesai, semuanya tersenyum dan mulai menjabat tangan Wiwi. ia langsung dipersilahkan duduk di bangku yang sudah mereka siapkan.

Amira terkekeh dan menepuk pundaknya. "Mereka mah emang gitu," bisik Amira, nampaknya ia mengerti kalau Wiwi sedikit merasa risih atau benar-benar merasa.

Ada delapan orang yang menjabat tangannya, di antaranya ada; Tika, Maya, Rahma, Nadia, Riska, Tasya, Widi, dan Lia. menurut Wiwi mereka semua punya penampilan yang unik masing-masing.

Contohnya, Widi dan Lia yang menghiasi rambut mereka dengan jepitan atau bando warna-warni. Terlihat berlebihan, sih, namun kesannya jadi keren dan berwarna membikin mata orang-orang yang melihatnya jadi ngejréng. Atau Nadia dengan gelang-gelangnya, saat bel berbunyi, katanya, ia akan mencopotnya dulu dan akan dipakainya lagi saat pulang sekolah, untuk menghindari razia aksesoris gak penting.

Yang lainnya pun sama, mereka punya gaya yang unik dan khas, namun tetap dengan memperhatikan peraturan sekolah.

Wiwi menggeser kursinya mendekati Amira, ia menopang dagunya dan memperhatikan mereka yang kembali mengobrol. Ia mencoba masuk pada topik obrolan, ia memperhatikan mereka satu-satu yang sangat antusias dalam obrolan itu.

Namun, ia harus sedikit mengeluarkan napasnya. Topik obrolan macam apa itu yang membuat mereka sangat antusias? Rasanya gak cocok dengan apa yang dipikirkannya, cuma obrolan seputar kamar tidur. Ah, ia enggak pernah memperhatikan apa-apa yang harus ada di kamarnya, yang penting nyaman untuk ditiduri.

Wiwi mengabaikan obrolan mereka lalu menatap ke kanannya, ia mendapati seorang laki-laki yang juga menatapnya. Laki-laki itu tersenyum dan menyapa, "Hei?"

Wiwi hanya memberikan senyum tipis. "Hei."

Lalu, tatapannya beralih ke pintu, mendapati Ella dan Laili yang sudah kembali dari sarapan pagi ke duanya. Ada sedikit rasa enggak enak di hati Wiwi pada mereka, tapi respon mereka saat melihat Wiwi yang sudah berada di belakang adalah senyum lebar dan lambaian tangan. Mereka tampaknya senang dirinya sudah mendapat teman sebangku. Lega rasanya.

"Wiwi?" panggil Maya.

"Eh, iya?"

"Kalau wallpaper kamar kamu apa?"

Wiwi berkedip dan mengusap hidungnya. "Eh ... aku gak pakai wallpaper, tapi kamar aku mah pake cat hijau."

Mendengar jawabannya, mereka malah menatapnya tanpa ekspresi. Apa yang salah?

****

Kupu-kupu di SakumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang