C

18 1 0
                                    

Di perjalanan, Wiwi enggak henti-henti meraba rambut panjangnya yang dikepang, dengan poninya yang melengkung di atas alis semakin membuat penampilannya tragis. Ini semua perbuatan Hana yang sudah menguasai teknik mengepang satu minggu yang lalu. Sial! Lagi-lagi ia harus menjadi kelinci percobaan adiknya itu saat mencoba mempelajari sesuatu.

Namun, lumayan juga sih hasilnya, rapi. Berpenampilan baru di hari yang baru ini enggak ada salahnya, 'kan?

Hari ini tepat satu tahun dirinya melewati lika-liku di SMKN 5 Majalaya, yang rasanya enggak seperti hari baru, mungkin untuk dua tahun ke depannya akan sama saja kayak kemarin. Naik angkot, jalan kaki, bertemu dengan teman-teman yang itu-itu lagi, belajar, dan pulang.

Sekolahnya enggak menerapkan sistem acak pada kelas baru, gak seperti yang dulu, kelas baru otomatis teman pun punya yang baru. Dan, di sini ia dipaksa untuk enggak bosan bertemu dengan orang yang sama selama tiga tahun. Tapi, kalau dipikir-pikir itu lebih baik juga, sih. Mengingat ... sebuah perubahan kadang gak selalu berjalan dengan baik, atau memang pihak sekolah yang gak mau bingung-bingung lagi.

Juga, jurusan Administrasi Perkantoran ini--entah kenapa--masih kurang peminatnya, terbukti dengan jurusan ini yang hanya memiliki murid yang dibagi sampai empat kelas saja. Enggak seperti jurusan lainnya yang bisa terbagi ke dalam sepuluh kelas.

Wiwi turun dari angkot, seperti biasa ia harus berjalan kaki sekitar seratus meter lebih. Lumayan lah, sama dengan olahraga pagi. Kadang, ia juga suka ikut dengan teman yang dikenalnya kalau mereka sendiri dan gak sedang membawa boncengan.

Ia menunduk melihat jalan yang basah, lalu menengok ke belakang, belum ada tanda-tanda awan abu-abu itu akan membiarkan cahaya matahari lewat. Ia merapatkan jaket dan menarik ritsletingnya, menyembunyikan ke dua tangan yang mengepal di balik sakunya. Ia menunduk, langkahnya terhenti melihat tali sepatunya yang tidak terikat.

Saat mengikat tali sepatunya, tiba-tiba terdengar suara decitan rem dari ban sepeda yang basah. Wiwi mendongak, ia mengangkat ke dua sudut bibirnya kemudian berdiri. "Hei, Luthfi."

Mereka saling melempar senyum, Luthfi mengangkat alisnya dan melirik sekilas ke bagian depan sepedanya. "Hai, mau dibonceng?"

Wiwi terdiam sesaat, membuka lebar matanya sampai bola matanya benar-benar terlihat bulat sempurna. Ingin sih, tapi kalau duduknya di depan kayak begitu, ia merasa takut. Ia terkekeh dan menggeleng. Ah, dalam hatinya ia memrotes Luthfi untuk membuat boncengan di belakang.

Luthfi mengangguk, ia turun dari sepeda, kemudian menuntunnya dan menyamakan langkahnya dengan Wiwi. Enggak tega rasanya meninggalkan teman seperjuangannya berjalan sendiri.

Luthfi, adalah salah satu dari dua ratus sembilan puluh siswa yang memilih jurusan Administrasi Perkantoran. Memang, jurusan ini ada sangkut-pautnya dengan dunia kesekretarisan yang umumnya dipegang oleh perempuan, dan awalnya juga diperuntukan hanya untuk perempuan, makanya jurusan ini sedikit enggak laku di antara laki-laki.

Namun, zaman selalu memunculkan perubahan. Sebut saja jurusan seperti Tata Boga yang terkesan feminin, yang sekarang juga gak melihat gender. Tapi, meskipun begitu laki-laki lainnya lebih memilih Otomotif atau TKJ. Jurusan-jurusan populer dan yang katanya mudah dalam mencari pekerjaan setelah lulus. Atau mungkin, kalau ada masalah dari luar dan sampai tawuran mereka bisa membawa benda-benda keras, seperti kunci inggris atau papan ketik komputer rusak. Bahkan sampai sekarang di kelasnya hanya ada delapan siswa.

Jurusan Administrasi Perkantoran itu terkesan elegan, serta para muridnya yanh cenderung berpenampilan rapi, ya, tapi murid yang menyimpang dan gak kuat disiplin pun selalu ada. Dan juga, SMK mempunyai seragam yang berbeda di setiap jurusannya. Jurusan ini mempunyai seragam khusus berupa jas berwarna abu-abu, yang wajib dikenakan setiap hari Kamis.

Wiwi mulai membuka suara memecah keheningan. "Fi, nama kamu teh diambil dari nama Nabi Luth, ya?"

Luthfi melirik sekilas Wiwi. "Hm, kayaknya sih gitu," jawabnya, ke dua alisnya menyatu. Ia juga enggak begitu yakin, gak pernah terbesit pikiran untuk memikirkan asal namanya, pemberian dari orang tua pastilah bermakna bagus.

Namun, sial! Pagi ini, pertanyaan Wiwi sedikit mengganggu pikirannya, ia jadi enggak sabar menanyakan pada ibunya dari mana nama itu berasal.

Luthfi menatap Wiwi sekilas, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Eh, Wi. Kamu pasti duduk di bangku belakang lagi, ya? Nggak sengaja denger kalian janjian waktu itu."

Wiwi tertawa mendengar pertanyaannya dan mengangguk, tebakan Luthfi benar. Hambar sekali rasanya menertawakan hidupnya yang terkesan monoton. Tapi ... kalau dipikir-pikir lagi, bukan monoton, sih, lebih ke konsisten. Ia merasa cukup puas dengan hidupnya di tahun ini, cukup terbayar.

"Eh, kalau tim volly kamu gimana kabarnya?" tanya Wiwi, mencoba mengalihkan topik lagi.

"Aman."

"Masih sering latihan pas libur sekolah?"

"Uh, iya. Yang enggak liburan pasti di suruh ke sini."

Wiwi terkekeh. "Capek?" Luthfi menurunkan ke dua sudut bibirnya dan alisnya terlihat terangkat bersamaan, ia menggeleng. Wiwi terkekeh lagi melihat wajahnya yang seperti itu.

"Kalau kamu kenapa gak ikut ekskul, atau OSIS ... PRAMUKA ...?"

Wiwi mengatupkan bibirnya. "Enggak, ah. Capek, pulangnya suka sore lagi. Terus, kayaknya téh gak ada deh ekskul yang cocok buat aku."

Kali ini terdengar kekehan Luthfi. "Iya, capek. Tapi, seru. Bisa punya temen banyak."

Wiwi meliriknya, kepalanya mendongak. "Aku udah punya temen banyak, kok."

Luthfi tersenyum dan mengangguk. "Iya, iya."

Setelah mengenalnya setahun ini, Luthfi cukup seru untuk diajak mengobrol dan pendengar yang baik, ia enggak pernah memotong pembicaraan orang lain. Makanya, siapa yang enggak kenal dia?

Mungkin ia juga akan menjadi kakak senior terfavorit untuk tahun ini. Bahkan saat di perjalanan saja, beberapa teman yang mendahuluinya, mereka gak akan lupa untuk menepuk punggungnya.

Wiwi mendongak dan menatap laki-laki tinggi itu cukup lama. Ia memperhatikan wajahnya yang masih putih meski sering panas-panasan, hidung besar yang mancung, dan alis yang sedikit tebal memberi seorang Luthfi kesan yang susah dilupakan.

Wiwi mengerjap lalu mengalihkan pandangannya ke depan, ia memejamkan mata sekejap dan sedikit menggeleng saat sadar dengan apa yang sudah ia perhatikan.

****

Kupu-kupu di SakumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang