Bagian ketiga belas🌻; Maafin Hilal, bang.

28.7K 5.6K 980
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

“Makasih ya, Dan.”

Pemuda di samping Hilal tersenyum kecil sembari mengangguk. Beberapa menit yang lalu akhirnya Hilal bisa diterima di kafe yang saat itu Idan tawarkan. Senyuman sedari tadi terus terpancar dari wajah Hilal, ia tak mampu menahan rasa syukurnya ketika mendengar kalau besok dia sudah dibolehkan untuk masuk dan langsung bekerja.

“Kalau butuh buat nemenin di rumah, telepon gua aja.”

Terdengar Hilal terkekeh kecil, kemudian menoleh ke arah Idan, “Hidup gua se-menyedihkan itu ya, Dan? Atau memang gua aja yang ngga pernah bersyukur?”

Idan mengangguk, membuang pandangan ke arah lain.
“Kurang bersyukur.” kemudian kembali mengarahkan atensinya pada Hilal, “Banyak banget yang bisa lu syukurin, Lal.. Contoh kecilnya aja, lu punya sendal. Mungkin kata sebagian orang itu ngga seberapa, tapi coba lu perhatiin anak itu.” telunjuk Idan mengarah pada sosok anak kecil dengan karung di tangannya, dia berjalan tanpa menggunakan alas kaki.

Idan kembali tersenyum,
“Udah berapa kali ngeluh hari ini?”

Kemudian menepuk pelan bahu Hilal,

“Semangat, Lal. Berjuang sendirian ngga bikin lu terlihat menyedihkan. Buktiin sama ayah, kalau lu bisa, lu udah bisa bikin dia bangga punya anak kaya lu.”pemuda itu melanjutkan ucapannya, “Kalau terus terpuruk dalam kesedihan, yang ada ayah lu sedih, dia ngga tenang di sana karena udah ninggalin lu.”

Hening, Hilal masih mencerna seluruh kalimat yang Idan lontarkan untuknya. Benar, selama ini ternyata Hilal lah yang kurang bersyukur dengan keadaan, padahal jika harus diungkit kembali, banyak sekali hal yang bisa ia syukuri. Dari dulu memang Hilal terlalu memaksakan keinginan, tanpa melihat betapa banyaknya yang harus dikorbankan termasuk kasih sayang yang ayah berikan untuknya.

Hembusan napas panjang terdengar sebelum Hilal kembali tersenyum dan mengangguk kecil tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Mau ngopi dulu di indoapril?”

Belum sempat Hilal menjawab, ponselnya berbunyi nyaring, menandakan ada telepon masuk. Tanpa berlama-lama Hilal mengangkat panggilan dari nomor tidak dikenal itu, dan di detik berikutnya mimik wajah Hilal berubah penuh kekhawatiran. Melihat sahabatnya seperti itu, Idan mencoba menggunakan tubuhnya untuk bertanya, namun Hilal masih enggan menjawab, sampai dimana panggilan telepon itu terputus, Hilal membalas tatapan Idan.

“Gua ke rumah sakit dulu, Dan.” sambil tergesa ia melangkah sedikit berlari, namun belum sampai lima detik, ia memutar kembali tubuhnya dan mengeluarkan satu bungkus rokok dari saku celana.
“Sorry, tadi kebawa.”

Dari ayah, untuk abang ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang