Bagian kedua puluh🌻; Fano rindu ayah.

30.4K 5.2K 988
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

Lima menit berlalu, Fano mau pun Hilal tak ada yang membuka suaranya setelah mereka berdua memutuskan untuk berdiam diri di atap sekolah. Siang itu Hilal menemukan fakta baru kalau Fano sedang menyembunyikan sesuatu, banyak sekali pertanyaan di kepala yang ingin Hilal sampaikan pada Fano. Tapi sayangnya pertanyaan itu lagi-lagi hanya bisa Hilal telan sendirian mengingat Fano  terlihat masih enggan untuk bercerita.

Hilal menoleh pelan, menatap wajah Fano dari samping. Sama seperti ayah.

Sorot mata itu terlihat lelah, Hilal tidak bisa membayangkan apa saja yang sudah pemuda itu lalui belakangan ini, sampai-sampai senyumnya pun kentara sekali menyimpan banyak luka. Alun-alun tangan Hilal bergerak lembut, mengusap bahu Fano dengan senyuman, seakan ingin memberi kekuatan dengan sentuhan itu.

Kini giliran tangan Fano yang bergerak, menaruhnya di atas tangan Hilal yang masih bertengger di bahunya.

“Abang udah makan belum?” entah kenapa, tapi Hilal merasa tubuh Fano terlihat lebih kurus sekarang.

“Abang mau makan dulu ngga?”

Fano menggeleng pelan, mengubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Hilal.
“Abang udah makan.” kemudian membalas tatapan sang adik, “Hilal mau makan dulu? Ayo abang antar ke kantin.”

Kini giliran Hilal yang menggeleng,
“Ngga, Hilal juga udah makan.”

Tiba-tiba saja otak Hilal memutar kejadian ketika Ryan memberitahu kalau tulang selangka Fano lebam, kebetulan Fano sedang membuang pandangan ke arah lain, tanpa basa-basi tangan itu bergerak dan menyentuh letak di mana lebam itu singgah. Seketika Fano meringis kecil dan langsung menepis tangan Hilal dari sana.

Ternyata benar. Tatapan Hilal berubah, Fano yang awalnya saling bertukar pandang dengan Hilal, langsung mengalihkan fokusnya ke sembarang arah, jelas sekali Fano menghindari tatapan itu.

“Siapa, bang?” tatapan Hilal masih ditujukan untuk Fano, “Siapa yang bikin abang kaya gini?”

Tidak ada jawaban, seolah Fano sengaja menulikan telinganya. Hingga tanpa sadar Hilal memeluknya sangat erat, pemuda itu tidak bisa menahan untuk tidak melakukan itu.

“Pasti sakit ya, bang..” pelukan itu semakin erat, Hilal benar-benar merasa gagal. Dia tidak bisa melindungi Fano.

“Abang pulang, ya? Tinggal berdua sama Hilal lagi, bang.”

Runtuh sudah pertahanan nya, Hilal menjatuhkan air mata tanpa sepengatahuan Fano.
Dulu memang Hilal yang melarang Fano untuk pulang, tapi kini Hilal sadar, dia salah besar telah memaksa Fano untuk tinggal dengan ibu. Jika sudah seperti ini Hilal merasa dia lah dalang dari semua rasa sakit yang Fano rasakan.

Dari ayah, untuk abang ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang