The Choise

287 14 2
                                    

Hatiku kembali sakit ketika rentetan kalimat itu keluar dari mulut manisnya.

Aku lelah berdiam menutup mulutku dengan rapat tanpa mengatakan yang sebenarnya.

Aku bosan dengan perlakuannya yang berbeda dan menunjukkan seolah diriku yang selalu diunggulkan. Padahal disisi lain semua itu, aku yang selalu menjadi kambing hitam.

Akulah yang menjadi tempatnya meluapkan amarah. Akulah yang menjadi tempatnya mengalirkan kesakitan hatinya.

Hanya aku yang mendapat bagian paling pahit dari dalam hidupnya.

Dan kenapa harus aku? Apakah dia mengira aku sekuat itu?

Jawabannya tidak. Aku hanyalah perempuan biasa yang sayangnya begitu pandai menyimpan rasa sakitku. Aku hanya menunjukkan bagian terbaikku hingga tanpa sadar aku melupakan sisi lemahku. Sisi lemah yang kini sudah tidak tahan untuk berpura-pura menjadi kuat.

Ingin rasanya aku berteriak kencang. Tapi sayangnya aku tak bisa melakukannya. Aku sangat takut apabila ia semakin marah dan membuat hatiku juga semakin hancur.

Aku juga ingin keluar dari tempat ini. Tapi lagi-lagi aku tak bisa. Sebab status yang ada membuatku tak bisa pergi dengan leluasa.

Aku seperti terkurung dalam jeruji besi yang menyesakkan. Sangat sulit bagiku untuk bisa merasakan kebebasan. Karena aturan yang diberikan selalu menekanku dengan segala alasan.

Tapi hal itu hanya terjadi padaku. Seolah aturan itu dibuat hanya untuk diriku. Sebab, dia, sebagai pembuat aturan tersebut tidak pernah mematuhinya.

Dia melakukan sesuatu sesuka hati tanpa memikirkanku. Pergi kemanapun yang dia suka tanpa jam, tujuan dan tempat yang jelas.Serta melontarkan setiap kata menyakitkan yang ada dipikirannya.

Dia-adalah pengendali dari semua yang ada diantara kami.

Bolehkah aku mengatakan aku membencinya? Karena tentu saja aku sangat membencinya.

Akan tetapi, disudut hatiku aku masih menyimpan perasaan lain. Yaitu cinta kasih meski rasa benci lebih mendominasi didalam sana.

Kenapa harus seperti ini? Kenapa ia bersikap seperti itu hingga merubah perasaanku? Mengapa? Bukankah seharusnya kami saling memberi kasih seperti dulu? Mengapa yang tersisa hanya kesakitan yang diberikannya?

Aku termenung dalam gelapnya malam diatas ranjang dinginku. Tak ada yang ku lakukan kecuali mengerjabkan mataku sebagai tanpa bahwa tubuhku masih hidup.

Tapi sayang--jiwaku telah mati bersamaan dengan hancurnya diriku karenanya.

"Kenapa aku tidak mati saja?"

Aku berucap lirih dengan nada getir yang menyedihkan.

"Kenapa dia tidak membunuhku dan membuatku terbebas dari kesesakkan ini?" Lanjutku.

Tapi setelahnya bibirku tersenyum sumbang. Karena tentu saja ia ingin terus menyakitiku. Memuaskan dirinya dengan melihat diriku tak berdaya dibuatnya.

Air mataku sudah tak mampu terjatuh. Sebab mata ini sudah tak mampu mengeluarkan air kepedihan seperti dulu lagi. Sumber air mataku telah kering karena begitu seringnya aku menangis dulu.

Dan--semua itu karena dirinya.

"Haruskah aku mengakhirinya sekarang?"

Sungguh ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku tidak akan mengakhiri hidupku jika itu yang ada dipikiran kalian.

THE STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang