Leaving You

821 49 4
                                    

Sesak. Sungguh sesak sekali harus hidup sepertiku. Suaraku dibungkam, pikiranku dimatikan yang lebih melelahkan adalah semua orang menyalahkanmu.

Aku tak bisa mengekspresikan diriku dengan baik. Aku tak bisa mengutarakan pendapatku, aku pun tak bisa mengungkapkan keluh kesahku. Sebab apapun itu, aku diharuskan untuk bersikap baik. Aku dipaksa untuk menerima apa yang terjadi dalam hidupku tanpa keluhan sama sekali. Dituntut untuk mensyukuri kehidupan yang sungguh sangat menyiksa batinku ini.

Aku tak tau sampai kapan aku bisa bertahan dengan situasi saat ini. Sebab aku hanyalah manusia biasa yang tak bisa terus berpura-pura. Aku sungguh sudah tak sanggup untuk berperilaku bahwa semuanya sedang baik-baik saja.

Aku menatap jarum jam yang telah menunjukkan pukul 12.00 malam. Seperti biasa aku selalu menunggunya di meja makan dengan sajian yang sudah dingin tak tersentuh.

Berkali-kali aku mendapatkan kenyataan pahit seperti ini, namun dengan bodohnya aku tetap menyiapkan makan malam untuknya. Sebab aku selalu berharap bahwa suatu hari, ia akan pulang untuk makan malam bersamaku dirumah. Menikmati masakan yang ku hidangkan untuknya dengan penuh ketulusan.

Tapi sayangnya dia tak pernah memandangku. Aku hanya terlalu terbuai dengan pikiran baikku terhadapnya. Sebab pada kenyataannya aku hanyalah seorang istri pajangan yang tak pernah dibutuhkan. Aku hanyalah istri yang seperti orang asing oleh suamiku sendiri.

Suara deru mesin mobil menandakan akan kepulangannya. Ku tarik kedua sudut bibirku paksa untuk menampilkan senyum manis seperti biasanya. Bersikap layaknya orang bodoh yang begitu mempercayai sang suami.

Kaki ku melangkah menjauh dari ruang makan. Disetiap langkah menuju pintu rumah, hatiku serasa disayat oleh benda tajam yang tak kasat mata. Memikirkan apa yang dilakukannya padaku, aku semakin menjadi begitu rapuh dengan hidupku.

Saat tanganku memutar tuas pintu, dia tepat berada didepanku dengan tatapan dinginnya seperti hari-hari biasanya yang dia berikan kepadaku.

"Kau menungguku pulang?"

Aku pun menganggukkan kepalaku pelan. Karena benar, aku memang menunggunya. Tanganku menerima tas yang dibawa lelaki itu.

"Jangan menungguku lagi." Tukasnya dingin membuat hatiku semakin hancur. Sebegitu tak sukanya kah dia padaku hingga saat aku mencoba untuk bertahan untuknya pun dia mendorongku menjauh.

"Kau lembur lagi hari ini?"

"Hmm..." Balasnya tanpa minat.

"Ingin ku siapkan air hangat?" Tawarku dengan mengekor dibelakangnya.

Lelaki itu berhenti dengan mendadak, memandang kearah kiri sebelum berucap dalam. "Bukankah aku sudah beberapa kali mengatakan bahwa kau tidak perlu menyiapkan makan malam? Percuma, kau hanya akan membuang-buang makanan saja." Tukasnya sebelum kembali melanjutkan langkah ke menaiki satu per satu anak tangga.

Sedangkan aku, aku masih terpaku ditempatku dengan hati yang diremukkan begitu kuat hingga rasanya telah menjadi kepingan yang tak bisa disatukan kembali.

Hatiku begitu sakit hingga tak terasa air mataku perlahan jatuh membasahi permukaan bumi yang menjadi tempatku berpijak.

Mengapa meskipun sudah berkali-kali tidak dianggap dan dihargai rasanya masih bisa sesakit ini? Rasanya begitu sesak hingga membuatku tak mampu untuk menghentikan air mata yang terus mengalir ini.

***

Aku masih belum memejamkan mata meskipun tubuhku telah berbaring diatas ranjang semenjak 10 menit yang lalu.

Ketika suara pintu terbuka, aku memalingkan kepala ke sumber suara. Menatap pada lelaki yang baru saja selesai membersihkan diri ditengah malam seperti ini.

THE STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang