“KIRANAAA!”
Rasa kantuk Bima kini sudah menguap entah kemana, berganti rasa khawatir sekaligus ketakutan yang teramat sangat melihat kondisi istri tercinta sudah tak sadarkan diri. Tanpa berganti baju, suami Kirana itu segera membopong istrinya dan membawanya ke mobil. Tak lupa ia mengambil dompet dan gawainya yang baterainya baru terisi daya 5%.
Tak pernah terbayangkan oleh laki-laki berjambang tipis itu akan menyaksikan istrinya tergolek lemah dengan lumuran cairan merah yang beraroma anyir amat menusuk indera penciuman. Dengan tangan gemetar, Bima mencoba berkonsentrasi menyetir sedan hitamnya menuju rumah sakit terdekat. Hatinya tak berhenti merapal doa untuk keselamatan istri dan calon jabang bayinya.
Setelah sepuluh menit perjalanan dengan kecepatan di atas rata-rata, Bima sudah berada di depan ruang IGD. Kondisi jalan yang masih lengang di kala subuh memudahkan mereka untuk cepat sampai ke tujuan. Kini Kirana sudah ditangani oleh tenaga medis.
Bima menunggu dengan perasaan cemas, bagaimana pun saat ini Kirana sedang berjuang bersama calon anak yang sudah lama dinanti bersama. Manajer Keuangan di sebuah perusahaan swasta itu tak tahu jika istrinya sudah mengetahui semua kebusukannya selama ini.
Mantan pemain band itu telah menodai kepercayaan yang diberikan sang istri. Bertahun-tahun bersama, Kirana cukup pengertian jika suaminya digilai banyak perempuan. Termasuk Selvi, temannya sendiri.
Tentu saja pesona dan aura seorang anak band punya tempat tersendiri di hati para kaum hawa. Tapi perempuan berlesung pipi itu percaya, jika sebanyak apapun perempuan yang menggoda suaminya, hati dan cintanya tetap untuk seorang Kirana Anandhita.
Namun, kepercayaan Kirana kini sudah koyak, sang suami tercinta telah mendua. Selama ini, Bima bermain sangat rapi. Nama kontak selirnya sengaja ia beri keterangan kantor, sehingga seolah-olah mereka adalah sebatas rekan kerja bukan partner bermain api.
“Permisi, Bapak suami Ibu Kirana?” Suara petugas medis memecah lamunan Bima.
“Iya, gimana, Sus?”
“Saat ini pasien sedang disiapkan kamar rawat inap, untuk penjelasan lebih lanjut tentang pasien, Bapak sudah ditunggu di ruang dokter,” perawat menunjuk sebuah ruangan.
Bima kemudian berjalan menuju pintu bertuliskan ‘Dokter Obgyn’.
“Silahkan duduk, Mas,” sapa dokter ramah saat Bima memasuki ruangan.
“Terima kasih, dok. Jadi gimana kondisi istri dan calon anak saya, dok?”
Dokter membenarkan posisi kacamatanya sebelum menjawab, “ Alhamdulillah, Mas membawa kesini di waktu yang tepat. Kebetulan saya juga baru selesai tindakan operasi caesar tadi subuh, jadi pasien Kirana bisa saya tangani langsung tanpa harus menunggu lama.”
Bima mengangguk dan sabar menunggu penjelasan dokter.
“Untuk kondisi janin, alhamdulillah masih bisa bertahan.”
“Alhamdulillah ….” Bima mengusap wajah tanda bersyukur dan lega mendengar kabar tentang Kirana dan jabang bayinya.
“Untuk kondisi ibunya saya wajibkan untuk bedrest selama beberapa hari di sini, agar saya bisa pantau perkembangan janinnya. Apakah Ibu Kirana bekerja?”
“Iya, dok.”
“Baik, kalau begitu saya buatkan surat ijin sakit untuk satu pekan, agar Ibu Kirana bisa istirahat total.”
“Maksudnya, istri saya dirawat di sini sampai satu minggu?”
“Tidak harus, tergantung kondisi pasien dan janin. Jika kurang dari satu pekan sudah stabil, boleh pulang. Tapi … tetap harus lanjut bedrest di rumah.”
Suami Kirana itu mengangguk-angguk, dalam hatinya kini terasa lega sekaligus bahagia. Karena sang istri tercinta dan buah hatinya bisa selamat.
Usai mendengarkan penjelasan dokter tentang hal-hal yang harus diperhatikan untuk ibu hamil dan janin, Bima kemudian menyusul Kirana yang sudah berada di kamar perawatan nomor 108.
Saat membuka pintu kamar, Bima mendapati istrinya sedang terbaring lemah dengan lelehan air mata di pipinya.“Sayang … kamu kenapa nangis?”
Tangan Bima ditepis saat akan mengusap bulir bening yang menetes di pipi ibu hamil muda itu. Bahkan Kirana langsung membuang muka.
“Kamu kenapa, sayang? Hei, nggak usah sedih, dokter bilang anak kita selamat. Kamu cuma butuh bedrest.”
Ucapan Bima justru membuat tangis Kirana semakin pecah, Bima semakin bingung dengan istrinya yang tak mau ia sentuh. Bahkan pelukan Bima ditolak, tubuh kekarnya didorong agar menjauh.
Bima tak tahu jika hati Kirana sedang terluka dalam.Meski sempat tak sadarkan diri, tapi perempuan berambut lurus itu masih mengingat jelas bagaimana suami yang amat ia cintai berbagi kata mesra dengan perempuan lain.
Kali ini dengan sangat terpaksa, Kirana harus mempercayai Selvi. Perempuan yang selama ini ia hindari, perempuan yang dulu pernah sengaja menggoda suaminnya. Tapi nyatanya, justru Selvi lah yang menguak fakta kebusukan yang ditutup rapat oleh suaminya.
“Kiran, Sayang … kenapa? Ngomong dong sama aku, jangan nangis terus aku jadi bingung.”
Bima mulai frustasi menghadapi istrinya yang masih saja menangis tanpa tahu apa sebabnya.
“Hei … anak kita selamat, Sayang. Kamu jangan sedih lagi. Kita akan jagain dia bareng-bareng sampai dia lahir nanti. Udah dong, jangan nangis terus.”
Lagi-lagi tangan Bima ditepis saat akan mengelus kepala istrinya. Perempuan berlesung pipi itu tak lagi sudi disentuh oleh tangan kekar yang sudah menjamah wanita lain. Kirana benar-benar merasa muak dan jijik pada Bima.
Kini Kirana sedih, memikirkan bagaimana nasib anaknya kelak. Pikirannya sudah berkelana memikirkan hal terburuk yang akan terjadi dengan bahtera rumah tangganya. Bagaimana pun Kirana sudah pernah mengatakan kepada Bima, bahwa dalam sebuah pernikahan ia tak akan memaafkan dua kesalahan besar yaitu pengkhianatan dan KDRT. Tapi kini Bima sudah mengantongi satu kesalahan fatal.
Angan Kirana akan rumah tangga yang harmonis seperti ayah ibunya kini harus kandas. Setelah ini, wanita karir itu tak akan mungkin pura-pura baik pada suaminya atau bahkan pura-pura tak tahu. Ia bukan tipe perempuan yang bisa menyembunyikan rasa. Ia akan lantang menyuarakan isi hatinya, tapi entah kenapa kali ini lidahnya terasa kelu. Meski sekadar bertanya tentang siapa perempuan itu dan ada hubungan apa dengan Bima sampai mereka bisa bertukar pesan mesra dan foto menggoda.
“Sayang … ngomong dong. Jangan nangis terus, aku nggak bisa liat kamu nangis gini. Kamu mau apa? Mau aku beliin sarapan? Mau minum? Mau pulang? Mau apa, Sayang?”
Kirana mengusap air matanya, mata sembabnya masih setia menatap langit-langit. Hatinya masih bergemuruh, bayangan foto-foto yang dikirim oleh Selvi, pesan-pesan mesra dan menggoda dari perempuan yang tak ia kenal, dan sikap manis Bima padanya selama ini berkelebat di otak bak sebuah potongan film horror baginya.
Batinnya sedang berperang, hatinya perih mengingat semua bukti yang ia lihat, tapi logikanya terus meracuni pikirannya bahwa Bima adalah suami yang setia dan bertanggung jawab. Terbukti tak ada sikap tak acuh bahkan kekerasan yang dilakukan suaminya selama empat tahun tinggal satu atap. Kirana selalu diperlakukan seperti seorang ratu.
“Aku mau cerai!”
Akhirnya tiga kata yang sedari tadi tersangkut di tenggorokan bisa meluncur dari bibir tipis Kirana. Kini giliran Bima yang terkejut mendengarnya, bagai disambar petir, tanpa hujan, tanpa angin, tanpa mendung.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEKU ✔️
RomanceKirana Anandyta memimpikan sebuah rumah tangga yang harmonis dan langgeng seperti ayah ibunya. Bersama Bima Yudha Pranata, suami yang ia pacari sejak di bangku kuliah, ia yakin bisa mewujudkan pernikahan impian. Namun, semua mimpinya sirna ketika sa...