“Setiap wong nikah kui yo mesti ono masalah, Non. Namanya juga mengarungi bahtera rumah tangga. Bahtera itu kan kapal, jadi yo mesti bakal ono badai dan ombak besar yang menerjang di lautan samudera,” ucap Bi Nur dengan logat bahasa campur aduk.
Kirana sedang merebahkan diri di pangkuan Bi Nur, satu kebiasaannya sejak kecil jika sedang merasa bersedih. Bi Nur adalah asisten rumah tangga di rumahnya sekaligus yang merawat Kirana dan Karina sejak kecil saat kedua orang tuanya sibuk bekerja. Tak heran jika Kirana sudah menganggap Bi Nur seperti neneknya sendiri.
“Tinggal gimana kondisi kapal sama nahkodanya, bisa bertahan atau ndak ngadepin gelombang besar di depan? Kalau kapalnya kuat, nahkodanya hebat, insyaallah semua sampai tujuan dengan selamat. Tapi kalau salah satu udah ndak kuat, yo siap-siap aja kapalnya karam di lautan.”
Bi Nur masih mengelus lembut rambut anak majikannya, sama seperti Kirana, Bi Nur juga sudah menganggap semua anak majikannya layaknya cucu sendiri. Bahkan Bi Nur bisa lebih peka dibanding orang tua kandung mereka.
Maka saat mengetahui Kirana pulang ke rumah orang tuanya dalam kondisi hamil muda dengan mata yang sayu dan sembab, Bi Nur adalah orang pertama yang merasakan jika Kirana sedang ada masalah rumah tangga.
“Tapi Mas Bima selingkuh, Bi. Dia udah khianatin kepercayaan Kiran,” perempuan berambut panjang itu mengusap bulir bening yang kembali menetes.
Hanya pada Bi Nur, Kirana bisa lelusa berbagi rasa. Karena setiap kali perempuan yang mempunyai kembaran identik ini ingin mencurahkan isi hati pada orang tuanya, selalu saja sibuk menjadi alasan mereka. Dan akhirnya Bi Nur lah yang akan mendengarkan keluh kesah si kembar.
“Namanya menungso itu kan tempatnya dosa, Non. Itu lah kenapa dulu Nabi Adam dikeluarin dari surga. Beda sama malaikat yang selalu taat.”
“Ya tapi kan Mas Bima udah tahu kalau Kiran nggak bisa maafin pengkhianatan, kenapa dia masih ngelakuin itu, Bi? Dia juga udah berani bohongin Kiran!” Mood ibu hamil muda itu kini berubah menjadi amarah.
Bi Nur masih setia mendengarkan curahan hati Kirana, kemudian wanita yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum. “Nabi Adam juga wis dikasih tahu sama Allah buat jauh-jauh dari buah khuldi, eh … tapi malah nurutin godaan setan yang nyuruh makan buah itu.”
Kirana masih mencerna penuturan wanita tua asal Jawa itu. Ia memang sudah sering mendengar kisah Adam dan Hawa yang terusir dari surga karena mamakan buah terlarang. Tapi ia masih tak mengerti apa hubungan kisah nabi pertama itu dengan kisruh rumah tangganya.
“Setiap menungso iku punya dosa,” lanjut Bi Nur.
“Cuma bedanya ada di jalan memilih dosa dan sesudahnya.”
Lagi-lagi Kirana dibuat bepikir oleh kalimat Bi Nur. Meski hanya tamatan sekolah dasar, wanita kepercayaan keluarga Kirana itu memang dikenal sebagai pribadi yang bijak.
“Maksudnya, Bi?” kini Kirana bangkit dari rebah dan duduk di samping Bi Nur yang menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Malam ini, ibu hamil muda meminta agar wanita berkerudung itu menemaninya tidur di kamar.
“Iyo kui, jalan dosa masing-masing orang beda, Non. Ada yang milih jalan dosa mencuri, ada yang milih membunuh, ada juga yang milih korupsi atau selingkuh misale kayak Den Bima. Wis pokoke macem-macem jalan menuju dosa.”
Kirana masih menyimak dengan saksama.“Nah bedanya lagi, sesudah ngelakuin dosa manusia itu mau ngapain? Lanjut berdosa atau bertaubat kayak Nabi Adam. Sampai akhirnya Allah nerima taubatnya terus diketemuin lagi deh sama Hawa.”
Bi Nur tersenyum, kemudian membenamkan diri ke dalam selimut.
“Allah aja Maha Pengampun ke hamba-hambanya yang melampaui batas. Apa lagi kita sing cuma menungso ciptaan Allah.”Kening Kirana masih berkerut, alis rapinya bertaut. Bi Nur justru sudah menguap berkali-kali.
“Bibi ngantuk, Non. Tiduk sek yo.”
Istri Bima itu hanya mengangguk dan mempersilahkan Bi Nur untuk terlelap. Jam bundar di dinding sudah menunjuk angka 11 malam. Kirana justru tak mengantuk setelah mendengar wejangan dari Bi Nur.
Kirana lalu mengambil benda pipih berlogo apel tergigit yang tergeletak di nakas. Ia kemudian membuka riwayat chat pada kontak bernama ‘Husband’. Kini tangis kembali pecah saat tangan halusnya mengelus perut. Calon ibu itu mulai bimbang dan gamang setelah mendengar petuah dari wanita tua yang tidur di sampingnya.
Ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang manusia biasa, bukan malaikat. Rasanya Kirana tak berhak melabeli suaminya sebagai seorang pendosa yang tak terampuni kesalahnnya. Kirana benar-benar butuh petunjuk Sang Maha Kuasa saat ini.
Perempuan berrambut lurus itu memejamkan mata, mencoba meredakan gundah yang melanda. Bayangan kebersamaanya bersama Bima saat masih sama-sama berstatus mahasiwa hingga kini resmi menjadi pasangan halal pun berkelebat. Disusul foto-foto dan kalimat mesra suaminya bersama perempuan lain menambah sesak di dada. Kirana kini sedang berada di sebuah persimpangan dan memikirkan ulang jalan mana yang akan ia pilih.
Sementara di sebuah ruang tamu di rumah yang lain, seorang laki-laki tertidur di sofa dan masih mengenakan setelan kerja. Bahkan suami Kirana itu sudah melewatkan jam makan malam lagi. Entah sampai kapan Bima akan bertahan menopang tubuhnya agar tidak tumbang.
Sebagian ruangan di rumahnya masih gelap karena Bima belum sempat menyalakan saklarnya. Suara bel pintu kemudian menggema dalam rumah. Seketika Bima terbangun dan dengan nyawa yang belum sepenuhnya utuh, ia gegas membuka pintu berharap Kirana pulang.
Namun saat daun pintu terbuka lebar, dada bidangnya langsung ditubruk oleh perempuan berambut panjang yang menghambur ke dalam pelukan.
Mata Bima membulat saat menyadari siapa yang menempeli tubuhnya lekat seperti lintah.“RANI?!”
KAMU SEDANG MEMBACA
BEKU ✔️
RomansaKirana Anandyta memimpikan sebuah rumah tangga yang harmonis dan langgeng seperti ayah ibunya. Bersama Bima Yudha Pranata, suami yang ia pacari sejak di bangku kuliah, ia yakin bisa mewujudkan pernikahan impian. Namun, semua mimpinya sirna ketika sa...