Prolog

699 118 22
                                    

Syal merah anggur ia genggam erat. Nafasnya memburu, sebisa mungkin ia menahan pening yang melanda kepalanya. Lagi-lagi ia mengeluarkan air matanya, sebuah bentuk dari pelampiasan rasa sakit yang dialaminya.

Ia mencoba untuk bersikap tenang. Bernafas dengan perlahan, sembari memejamkan mata. Perlahan tapi pasti rasa sakitnya kian memudar. Menyisakan jejak air mata yang masih senantiasa berlabuh di pipi tirusnya.

Kembali membuka mata, ia tolehkan kepalanya menghadap jendela.

Salju pertama tahun ini telah turun.

Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia mencoba untuk berdiri dari tempatnya terbaring semula,  dan meraih tiang infus yang sudah menjadi teman setianya beberapa bulan— atau tahun ini?

Ah, bahkan ia lupa sudah berapa lama dirinya menetap di tempat ini.

Dibukanya perlahan jendela ruangan itu. Detik setelahnya ia menengadahkan tangan keatas menunggu butiran-butiran kecil itu menghampiri tangan kurusnya dan mencair beberapa saat setelahnya disitu pula. Afeksi dingin yang diberikan pada butiran tersebut membuatnya terlonjak seketika. Sontak ia memasukan kembali tangannya dan menutup rapat jendela tersebut.

Ini bukan halusinasi

Ia terdiam sebentar. Tiba-tiba rasa sakit itu kembali menyerangnya,  disertai dengan batuk darah yang memaksanya harus kembali berhadapan dengan westafel yang berada di dalam ruangannya itu.

Darahnya kian membanyak, hidungnya kini juga mengeluarkan cairan kental berawarna merah tersebut. Air matanya kembali jatuh untuk yang kesekian kalinya.

Tidak, ia tidak memanggil dokter. Ia sudah tidak peduli lagi, bahkan tiang infusnya ia biarkan jatuh tergeletak di samping brangkar tidurnya.

Saat ini pikirannya kosong. Tubuhnya limbung tidak kuat menahan bobot tubuhnya sendiri yang sudah berkurang drastis beberapa bulan ini.

Pertanyaan untuk dirinya sendiri. Inikah saatnya?

1 detik, ia hanya bisa mengepalkan tangannya. Memperlihatkan seberapa besar usahanya untuk tidak berteriak.

2 detik, ia mencoba untuk berkedip beberapa kali. Air matanya yang terus keluar membuat matanya merabun dan perih disaat yang bersamaan.

3 detik, ia menghela nafas sebentar.

4 detik, terdengar suara gaduh dari luar ruangan, pertanda seseorang telah melihatnya dan menemukannya dalam keadaan buruk seperti ini. Ia tersenyum miris.

5 detik, rasa sakit yang dialaminya sempurna menghilang, bersamaan dengan tertutupnya mata yang sedari tadi ia tahan untuk terus terbuka.

Mata itu, mata sayu yang dulunya indah, yang sudah tidak tertutup selama beberapa bulan ini akhirnya bisa tertidur kembali, bertemu dengan apa yang dinamakan kegelapan.

Abadi.

Akaashi Keiji, seorang pengidap penyakit mental PTSD dan kanker otak stadium akhir dinyatakan meninggal pada malam pertama musim salju tahun itu.

Edelweiss cloverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang