Geige & Klavier

202 42 9
                                    

"Tadaima."

"Okaeri, eh? Siapa itu Keiji?"

"Dia Bokuto Koutaro, senpai ku di sekolah. Aku membawanya kemari karena kami ketiduran di bus saat perjalanan pulang tadi dan rumahnya terlewat. Lagipula ini sudah terlalu larut." Jelas Akaashi.

Bokuto lantas membungkukan badan lalu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum canggung.

"Ahh, kalau begitu naiklah ke kamarmu dan beristirahatlah. Kalian terlihat sangat kelelahan. Bunda akan pergi mengunjungi ayahmu sebentar." Bunda Akaashi menepuk kepala Bokuto pelan. "Bokuto-kun, jaga Keiji ne? Jaga dirimu juga. Anggap saja rumah sendiri."

Bokuto pun menganggukan kepalanya cepat. Akaashi mendengus mendengar perkataan bundanya.

Akaashi lalu mengajak Bokuto untuk ke kamarnya sepeninggal bundanya ke rumah sakit.

Besok adalah hari minggu, sebuah keberuntungan karena kejadian konyol seperti ini tidak akan merepotkan keduanya.

Sesampainya mereka di kamar, Akaashi pamit sebentar untuk membersihkan diri sedangkan Bokuto duduk menunggu di kasur pemilik kamar.

Ia nampak terperangah dengan kamar pemuda manis tersebut yang terlihat sangat rapi dan tertata, berbanding terbalik dengan kamarnya.

Mata emasnya menangkap sesuatu. Bokuto berjalan mendekat pada meja belajar Akaashi. Suatu figura kecil menarik perhatiannya, ia tersenyum hangat melihat foto Akaashi kecil yang sedang tertawa di gendongan kedua orang tuanya.

Bisa-bisanya sekarang giginya rapi, padahal dulu bolong tengah. Batin Bokuto.

Diraihnya figura kecil tersebut. "Orang tuamu menyayangimu sekali ya, Akaashi?" Lirih Bokuto.







"Mereka selalu berkata seakan-akan aku masih balita berumur 5 tahun. Bukankah itu agak berlebihan?"

Bokuto terkejut bukan main mendapati Akaashi yang sudah berada di belakangnya.

Pria manis tersebut sudah terlihat jauh lebih baik dengan rambut basah dan handuk yang senantiasa bertengger di lehernya. Bahkan wangi sabun strawberry mint menguar dari tubuhnya.

Bokuto kini sibuk menetralkan jantungnya yang terpompa cepat karena terkejut. Tangannya reflek menaruh kembali figura yang hampir terlempar di pegangannya.

"A-a-akaashee?? K-kau sudah s-selesai? Aku pinjam kamar mandi dan b-bajumu ya?"

"Mandilah Bokuto-san, aku akan menyiapkan baju untukmu." Kata Akaashi sambil mendorong tubuh Bokuto masuk ke kamar mandi.

Setelah memastikan Bokuto masuk, Akaashi menghela nafasnya lalu menyempatkan diri untuk menghampiri meja belajarnya sebelum menyiapkan baju Bokuto. Ia lalu meraih figura foto yang berada disana.

Senyuman kecil terbit dari wajahnya, sebelum hal itu buyar karena teriakan seseorang dari dalam kamar mandi.

"AGAASHEEE!! SABUN MU MANIS SEKALI WANGI STRAWBERRY HEY, HEY, HEY!!"

"DIAM SAJA DAN MANDILAH BOKUTO-SAN!"







Sekarang Bokuto tengah kalangkabut saat mengetahui Akaashi sudah tidak berada di kamarnya. Ia panik dan berlari keluar kamar setelah mengenakan baju yang disiapkan Akaashi sebelumnya.

Kenapa panik? Simpel. Bokuto takut sendirian.

Kepanikannya kini bertambah ketika mendengar suara gesekan melengking dari sebuah ruangan di rumah itu. Wajahnya memucat, namun kakinya melangkah mendekat.

Ada satu pintu ruangan yang tidak tertutup rapat. Ia mengintip takut-takut melihat sesuatu di dalam ruangan tersebut yang ia yakini sebagai sumber suara melengking tadi.

Ooh, love, ooh, loverboy
What're you doin' tonight, hey, boy?
Set my alarm, turn on my charm
That's because I'm a good old-fashioned loverboy

Ooh, let me feel your heartbeat (Grow faster, faster)
Ooh, ooh, can you feel my love heat?
Come on and sit on my hot-seat of love
And tell me how do you feel right after all

I'd like for you and I to go romancing..

"Say the word, your wish is my command~"

"Bokuto-san?" Ya, Bokuto lah yang menyanyikan penggalan terakhir dari lagu itu.

"Hey, Akaashi aku tak pernah tau kau handal memainkan biola eh? Permainanmu keren sekali!"

Akaashi memalingkan wajahnya malu.

"Boleh aku pinjam piano disana?" Lanjut Bokuto setelahnya.

Diruangan tersebut terdapat beberapa alat musik seperti biola, piano, harpa, dan gitar. Tak heran Akaashi yang notabenenya sering sendiri di rumah ini memiliki banyak bakat dalam memainkan beberapa alat musik, walaupun hanya sekedar bisa.

Pengecualin dengan biola, alat musik itu merupakan keahliannya.

"Kau bisa memainkannya Bokuto-san?" Tanya Akaashi ragu.

Wajahnya tidak menunjukan aura seorang musisi sama sekali. Innernya.

Jahat memang.

Bokuto berjalan menuju piano di sudut ruangan. "Hee kau meremehkan senpai mu ini Agashee?? Hidoi :("

Ia menarik kursi lalu duduk diatasnya, mencari posisi ternyaman sebelum jarinya menyapu halus debu diatas piano tersebut. Jari-jarinya ia tekuk beberapa kali dan detik berikutnya jari-jari itu mulai memegang kendali atas tuts piano tersebut, melantunkan irama indah bagai seorang pianis handal yang sedang berada dalam pertunjukan.

Ah, dandelions?

Mata Akaashi berbinar, ia terpana. Sungguh, seorang Bokuto Koutaro sekarang terlihat begitu keren dan mempesona dengan piano dan cahaya rembulan disekitarnya.

Bokuto mulai membuka mulutnya.

And I've heard of a love that comes once in a lifetime
And I'm pretty sure that you are that love of mine

'Cause I'm in a field of dandelions
Wishing on every one that you'll be mine, mine
And I see forever in your eyes
I feel okay when I see your smile, smile..

Akaashi meraih biola miliknya, meneliti nada yang pas dan mulai menggeseknya mengikuti permainan piano Bokuto.

Bokuto menolehkan kepalanya menatap Akaashi tanpa menghentikan permainannya sambil tersenyum cerah.

Netranya seakan berkata "lanjutkan liriknya Akaashi!" Dan dituruti langsung oleh pemuda manis tersebut.

Wishing on dandelions all of the time
Praying to God that one day you'll be mine
Wishing on dandelions all of the time, all of the time..

Dan lagu itu berakhir bersama dengan irama masing-masing yang saling menutup dan melengkapi.

Edelweiss cloverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang