Merkwürdige

398 75 16
                                    

"Ayah, aku kembali." Ucapnya sambil menutup pintu.

"Oh? Masuklah. Dimana bundamu?"

"Sedang memasak makanan untuk makan malam, ia akan menyusul sebentar."

Ia mendekat pada sosok yang dipanggilnya sebagai ayah tersebut, membantunya untuk duduk sebentar dan detik berikutnya menghambur ke pelukan hangat pria tua itu. Wajahnya ia tenggelamkan di dada sang ayah guna menyembunyikan wajahnya yang menyiratkan kelelahan.

"Hey, ada apa dengan anak ayah satu-satunya ini? Ingin dimanja?" Pria itu terkekeh sembari terus menyapukan tangannya di atas surai anak laki-lakinya.

"Tidak, hanya.. ingin."

"Ahahaha, Keijiku sudah besar ya ternyata. Ayah tidak perlu khawatir lagi kalau begitu. Kau pasti bisa menjaga bundamu." Lagi-lagi pria itu kembali terkekeh dengan ucapannya sendiri.

"Ayah, berhenti berbicara seperti itu dan diamlah. Kau selalu saja menyebutku sudah besar, padahal besok aku baru menjadi siswa SMA. Bukankah itu berlebihan?"

Sang ayah hanya tertawa mendengar perkataan anaknya yang kelewat datar. Darimana sikap Akaashi yang selalu monoton dan realistis terhadap sesuatu itu? Bahkan ia rasa ia dan istrinya bukanlah tipe orang yang seperti itu, pikirnya.

"Jadi kau ingin selalu menjadi kecil, Keiji?"

Akaashi mendongak melihat ayahnya yang masih saja menertawakannya. Ia ikut tersenyum kecil lalu perlahan melepaskan pelukannya dari ayahnya.

"Ayah istirahatlah, bunda akan datang sebentar lagi dan aku izin keluar sebentar. Apa ayah ingin sesuatu?" Tanya Akaashi.

"Bukankah kau lelah? Jangan memaksakan dirimu sendiri Keiji, lagi pula kau ingin kemana? Diluar sedang hujan."

"Aku hanya ingin membeli minuman hangat, tidak akan lama dan aku akan segera kembali kemari. Tidak apa kan?" Akaashi bergegas memakai jaketnya yang tersampir di sofa, kemudian berjalan ke arah pintu.

"Pergilah, ayah akan menunggu bundamu." Pria tua itu tersenyum menatap anaknya, membuat akaashi ikut tersenyum ketika mata mereka kembali bertemu.

"Baiklah, aku pergi dulu."

"Keiji...

Bahagia selalu, ayah menyayangimu."

Akaashi membeku di tempatnya. Ia tolehkan kepalanya menghadap belakang, dan terlihat ayahnya yang sedang tersenyum sambil melambaikan tangan kearahnya. Ia tak ambil pusing. Mau tak mau senyuman yang sama pun terbit diwajahnya.

Sepasang ayah dan anak laki-lakinya yang memiliki senyum serupa sedang saling melemparkan senyum terbaik mereka. Manis sekali bukan?

Dan setelah itu ia kembali menghadap depan, berjalan keluar dan menuntaskan niat awalnya yang sempat tertunda beberapa saat tadi.

"Pasti, ayah."


Cafe kecil sebrang rumah sakit menjadi tempat singgahnya sekarang. Coklat panas yang sesekali ia esap setia berada di genggamannya. Sorot matanya tidak lepas dari pemandangan luar jendela yang menampakan pemandangan jalanan kota Tokyo yang sedang diguyur rintikan hujan.

Damainya

Tidak ada alasan khusus mengapa ia berada di tempat ini, aku hanya mengikuti kemauan alam bawah sadarku. Katanya.

Hari ini begitu melelahkan untuknya, dan besok ia harus bersiap untuk memulai hari pertamanya sebagai siswa menengah atas. Untuk saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah berharap semoga esok akan berjalan lebih baik juga berjalan sesuai kodratnya, tanpa hambatan.

Kenapa pemikiran seorang Akaashi Keiji kolot sekali? Tidak ada yang tau.

Cangkir di genggamannya kembali ia angkat, mengarahkannya kembali ke depan bilah tipisnya dan menyesapnya dalam diam. Ia memejamkan matanya kala cairan hangat itu menyapa kerongkongannya, meninggalkan rasa manis yang tidak terlalu pekat namun nyaman dan lembut disaat yang bersamaan.

Perhatiannya kini teralih ketika mendapati seseorang secara mendadak mendudukan diri dihadapannya. Orang itu nampak tidak sadar dengan apa yang dilakukannya secara tiba-tiba membuat seorang penghuni lain di depannya sedikit terusik.

Akaashi diam di tempatnya, memilih tidak peduli dan kembali menatap pemandangan di luar jendela seperti semula.

"Hai!"

Akaashi menoleh.

"Apa aku mengganggumu? Ditempat lain penuh dan aku hanya melihat satu tempat kosong disini. Tak apa bukan?"

Akaashi hanya menatap datar orang itu sebentar lalu menganggukan kepalanya. Hal itu membuat lawan bicaranya bergidik ngeri akan reaksi dingin yang diberikannya tersebut.

Orang itu lalu menyesap coklat panas miliknya dan mengalihkan pandangannya menghadap jendela, mengikuti kegiatan yang dilakukan sosok yang sedari tadi mendiaminya tanpa ada niatan untuk mengajaknya mengobrol.

Siapa juga yang sungkan berbicara pada orang asing, bodoh.

Tak tahan dengan situasi diam, orang itu kembali membuka mulutnya.

"Apa yang kau lakukan disini? Aku melihatmu keluar dari rumah sakit tadi dan kenapa kau keluar saat hujan seperti ini?" Apa yang kau tanyakan dasar bodoh! Innernya berteriak.

Sudah kukatakan ia bodoh.

Akaashi kembali menolehkan kepalanya untuk yang kesekian kalinya. Tatapannya berangsur mendingin kala mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut sosok yang sekarang menjadi lawan bicaranya tersebut.

Perlu digaris bawahi, Akaashi tidak suka dengan siapapun yang mencampuri urusan pribadinya.

"Saya hanya menikmati waktu saya sendiri dan melakukan apa yang orang-orang disini lakukan, termasuk anda. Untuk pertanyaan kenapa saya keluar dari rumah sakit apakah sopan bertanya seperti itu ke orang asing yang baru anda temui? Itu bukan urusan anda."

Akaashi berdiri dari tempatnya bersiap untuk meninggalkan tempat duduknya. Namun, sebuah tangan menariknya membuatnya kembali terduduk. Sadar akan apa yang barusan terjadi, ia menepis tangan itu lalu memberikan tatapan tajam kepada sang pelaku.

"Baik, baik, maaf membuatmu marah dan berlalu tidak sopan. Kau tetaplah disini, karena aku yang akan pergi. Lagipula hujan sudah mereda dan aku harus segera kembali. Kalau begitu aku pamit, selamat tinggal dan nikmati coklat hangatmu!"

Orang itu pergi dari tempatnya dan berjalan menuju kasir. Akaashi menghela nafas lelah sebelum sebuah suara kembali menginstrupsinya dan membuatnya terkejut untuk yang entah keberapa kalinya.

"NAMAKU BOKUTO KOUTARO! SALAM KENAL DAN KUHARAP KITA BISA BERTEMU LAGI!"

Dan sesuai perkiraan, hal itu cukup membuat hampir seluruh perhatian pengunjung cafe itu teralih pada Akaashi dan seseorang yang bernama Bokuto Koutaro tersebut.

"Orang aneh" gumam Akaashi sambil menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya.




"Pesanan nomor 37, atas nama Akaashi."

"Pesanan anda sudah dibayar atas nama Bokuto Koutaro, tuan."

"Hah?"

Edelweiss cloverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang