Kalau Begitu Kamu Bisa Cari Aku

60 5 0
                                    

Kediaman Keluarga Liandri
Denpasar, Bali

"Aku nggak menyangka New York membuat kulitmu tampak lebih manusiawi." Andra memutar bola mata mendengar sapaan gadis itu setelah pintu terbuka. "Tapi sekarang kamu di Bali. Aku rasa keberuntunganmu nggak akan bertahan lama." Gadis itu berbalik begitu saja, meninggalkan Andra yang berdecak sembari mengikuti langkah-langkah panjang gadis tersebut.

"Aku berencana buat surfing sampai sekarat," kata pria itu. "Katanya cewek lebih suka cowok yang kulitnya gelap. Macho."

Gadis itu tiba-tiba berputar, membuat Andra harus mengerem langkahnya mendadak. Tinggi gadis itu nyaris setara dengannya. Andra dapat menatap langsung ke arah mata gadis itu ketika mereka berdiri saling berhadapan seperti saat ini. Mata beriris cokelat, wajah setengah kaukasian, hidung tinggi, serta bentuk bibir penuh. Gadis itu cantik, dan Andra bukannya tidak menyadari hal tersebut.

"Sekarat gara-gara kena kanker?" Gadis itu menatap jengah. "Macho apanya?" Dia berusaha hanya fokus pada mata pria itu. Tapi itu adalah kesalahan besar. Pria itu tentu saja terlalu mengusik. Matanya hitam legam dinaungi sepasang bulu mata lentik yang tidak seharusnya dimiliki kaum adam seperti menyedotnya pelan-pelan. Merasa belum cukup, sepasang alis tebal menukik membentuk garis yang menegaskan struktur hidung tingginya. Ditunjang oleh garis rahang tegas, dagu dengan belahan samar, dan bibir berbentuk hati; pria itu tidak cukup sekedar disebut tampan. Yang lebih menyebalkan, warna kulit sawo matangnya justru membuat Andra berkali-kali lipat lebih menarik dari kebanyakan pria yang beredar di sekitar gadis tersebut.

"Pakai sunblock dong, Nilam!" Pria itu berkata gemas sambil memasang tampang pura-pura sabar.

Nilam mengibaskan sebelah tangannya tidak peduli. "Nggak akan ngaruh di kamu." Dia berputar lagi, meneruskan langkah sebelum tidak bisa mengontrol diri lebih jauh.

"Aku tidur kayak orang mati. Jet lag." Lapor Andra.
"Makanya bangun-bangun langsung minta makan?"
Andra meringis. Dia baru sampai di Bali semalam setelah melewati penerbangan selama belasan jam dari New York. Sebagai manusia yang tidak menggemari transportasi udara, tidur selama kurang dari lima belas jam setelah turun dari pesawat adalah rekor jet lag-nya yang paling mengagumkan. Tiga tahun lalu, saat dia harus mengikuti salah satu pameran di Perancis, Andra nyaris jetlag hampir dua hari dua malam. Pria itu benci perbedaan waktu, suhu, dan cuaca yang menyebabkan dia jarang berpergian jauh diluar kondisi mendesak.

Sedikit kontra dengan profesinya sebagai seorang pelukis. Nyatanya, Andra adalah spesies manusia yang menggemari ruang sempit bernama kamar. Menikmati waktu berjalan-jalan sendirian ke tempat-tempat yang bisa dijangkau dengan jalur darat. Pria itu selalu terserang panik dan kekhawatiran berlebihan ketika akan pergi ke tempat-tempat yang hanya bisa dijangkau oleh transportasi udara. Paniknya melebihi saat dia harus melewati kelas pertamanya sewaktu baru pindah ke New York saat usianya masih delapan tahun.

"Halo, Ndra! Ya ampun, Tante kangen banget sama kamu." Andra tersenyum lebar begitu mendapati Miranda—ibu Nilam—yang menurunkan wajah kaukasia pada putrinya itu, menghampirinya kemudian memeluk tubuh pria berusia dua puluh tiga tahun tersebut erat-erat. Andra membalas pelukan perempuan setengah baya itu dengan senang hati.

"Kayaknya kamu perlu mandi sehari tiga kali di Bali." Itu komentar Ben Liandri, sang kepala keluarga yang menghentikan sejenak kegiatannya menata meja demi melihat istri dan anak sahabatnya berpelukan seperti sejoli yang terpisah karena hubungan jarak jauh. Padahal kenyataannya mereka hampir setiap tahun mengunjungi New York, terlebih ketika Nilam terobsesi dengan parade busana di New York Fashion Week dan deretan toko di kawasan Fifth Avenue.

Andra tertawa sembari melepaskan pelukan Miranda. "Padahal baru mandi setengah jam lalu, tapi sekarang udah keringetan lagi." Andra bahkan mengumpati dirinya ketika membuka koper dan menemukan dua jaket berbahan denim yang harusnya bisa dia tukar dengan kemeja atau kaus berbahan tipis. Bali bukan New York yang udara musim gugurnya saja tetap bisa membuat Andra mengenakan jaket ketika pergi keluar. Dengan jenis tubuh yang mudah sekali berkeringat ketika terkena panas, seharusnya Andra lebih jeli memilih pakaian sebelum mengemasi kopernya.

HEARTBEATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang