Rumah Sakit Harapan
Denpasar, BaliAndra menutup pintu taksi terlalu kencang. Dia tidak memedulikan supir yang meneriakinya untuk memberikan kembalian. Pria itu hanya berlari. Tidak peduli kalau dia harus menabrak beberapa orang dan diteriaki karena bertingkah sembrono.
"Ibumu jatuh di kamar mandi. Saya sedang dalam perjalanan untuk membawanya ke rumah sakit."
Andra sedang melukis ketika Ibu Asri menghubunginya. Pria itu tidak bisa memikirkan apa pun. Dia hanya sempat menyambar dompet dan ponsel, lalu keluar untuk mencari taksi. Dia bahkan tidak mengganti baju yang ia kenakan; kaus putih lusuh yang terkena noda cat dan celana kolor selutut berwarna biru.Andra menatap petugas resepsionis dengan panik. Nafasnya tersengal-sengal, dan dia nyaris tidak dapat berbicara.
"To...hah...hah...hah..." Andra meneguk ludah, berusaha menetralkan nafasnya. "Tolong!" nafasnya masih tersengal-sengal. "Ruang ICU?"
"Anda bisa mengikuti lorong di sebelah sini..."
Andra sesekali mengangguk mendengarkan arahan petugas tersebut. "Terima kasih," katanya sebelum bergegas pergi. Dia berjalan secepat yang ia bisa.
Di depan ruang ICU dijejer beberapa bangku panjang masing-masing berkapasitas empat orang. Beberapa bangku tersebut terisi oleh orang dengan wajah-wajah cemas, panik, dan khawatir seperti Andra. Andra berjalan cepat ke arah Asri yang sedang duduk sambil melipat kedua lengan di depan dada. Penampilan wanita itu sama lusuhnya seperti Andra. Daster yang ia kenakan tampak kusut, sedangkan rambutnya diikat menjadi satu dengan tidak rapi. Asri tampak sama cemasnya dengan Andra. Mata wanita itu sendu, dan Andra dapat mendengar beberapa kali wanita tersebut menghela nafas dengan berat."Bagaimana keadaaannya?"
Asri mendongak. "Serangan jantung."
Wajah Andra terlihat sangat terguncang. Pria itu terduduk dengan lemas di depan Asri. "Serangan jantung?" Dia masih tidak percaya.
"Dokter bilang," Asri tercekat, "Rita sedang berjuang melewati masa kritisnya."
Andra menggeleng tidak percaya. Bahkan dia belum sempat membuat ibunya ingat namanya, dan kini dia dihadapkan pada kenyataan bahwa mungkin saja ibunya tidak akan pernah ingat padanya.
#
Bangsal Dahlia
Rumah Sakit HarapanAlya duduk kemudian menempelkan keningnya begitu saja ke atas meja. Dia memejamkan mata dan mencoba bernafas dengan teratur.
"Kenapa?"
Alya memiringkan kepalanya. "Pasien di kamar nomor dua belas ribut minta ganti seprai."
"Bukannya baru setengah jam lalu seprainya diganti?"
"Ji, kayaknya dia punya semacam gangguan OCD atau gimana, sih?" Alya menegakkan kepalanya, kali ini dia menatap Aji—rekan kerjanya—dengan tatapan serius.
"Kayak nggak tahu orang sakit aja, Al." Aji memberikan kotak susu rasa cokelat pada Alya.
"Gue nggak minum susu rasa cokelat," tolak Alya. Dia bangkit dan mulai merenggangkan tubuhnya.
"Shift-mu tinggal lima belas menit lagi, 'kan?"
Alya mengangguk. "Sarah ke mana?"
"Ikut dokter Bryan visit pasien kamar tujuh."
"Yang mau operasi tumor itu?"
"Iya." Aji memberikan kode supaya Alya mendekatinya. "Sarah mendadak sekarang semangat banget kalau satu shift sama dokter Bryan."
Alya mendengkus. "Aku juga semangat kali." Dia nyengir. "Ganteng begitu."
Aji mencibir. "Udah punya pacar, Bund."
