Rumah Sakit Harapan
Denpasar, Bali"Makan malam di mana?" Aji mendorong kursinya mendekati Sarah yang sedang memainkan ponsel.
"Mau pesan online nasi campur?"
"Hmmm." Sarah sibuk membalas pesan.
"Sar!"
"Minta tolong Alya sana!" Sarah mengibaskan tangannya untuk mengusir Aji.
Aji mendengkus. "Katanya mau nyalip di tikungan, tahunya sekarang sudah nebar jala. Inkonsisten!'
"Sebodo amatlah, Ji. Yang namanya usaha, siapa kejaring duluan berpotensi untuk dijajaki lebih awal."
"Wah!" Aji mendorong kursinya mendekati Alya."Gila!"
Alya tertawa. "Namanya juga usaha." Dia menyalin catatan terakhirnya ke komputer. "Aku nggak ikut pesan, ada janji makan malam sama teman."
Aji mengernyit. "Di mana?" Dia menyipitkan mata dengan curiga. "Jangan keluar-keluar rumah sakit lho, Al. Jatah makan malam cuma lima belas menit." Aji jelas nggak mau rugi untuk pasang badan.
"Mau makan di kantin, Aji!" Alya mendorong kursinya ke belakang, kemudian berdiri. "Ibunya dirawat di sini," katanya tanpa mau menjelaskan lebih lanjut. Gadis itu memasukkan ponsel dan dompet ke dalam saku kemejanya.
"Ya Tuhan!" Sarah berseru sambil memegangi dadanya. Mata wanita itu membulat seperti orang yang baru saja terkena serangan jantung.
"Kamu kenapa?" Aji mengernyit heran.
Alya mengikuti arah pandang Sarah. "Andra?"
Pria itu tersenyum. "Jam delapan tepat," katanya sembari menunjukkan jam yang ditampilkan layar ponselnya.
"Oh." Alya keluar dari balik meja kerjanya. "Padahal kamu bisa nunggu saja di ICU."
"Jadi, saya teman kamu?"
Alya tidak mengerti kenapa wajah kurang tidur, rambut kusut, dan pakaian berantakan terlihat baik-baik saja bagi Andra. Pria itu bisa tersenyum lebar dan luar biasa tampan. Sarah bahkan sampai melongo seperti orang bodoh hanya karena pria itu. Padahal jelas-jelas kalau Andra tidak serapi dokter Bryan.
Pria itu entah mencuci wajahnya atau tidak. Pakaian yang ia kenakan juga kusut di sana-sini. Alya tebak kalau setelan kaus putih dan celana training hitam panjang tersebut telah Andra bawa tidur semalaman. Andra juga membiarkan rambunya
acak-acakan, beberapa helaiannya bahkan mencuat tidak teratur. Tidak kalah eksentrik, pria itu mengenakan sandal jepit seharga kurang dari dua puluh ribu. Alya yakin, jika bukan karena wajahnya, Andra pasti sudah terlihat seperti orang gila dan masuk daftar teratas pria yang harus dihindari oleh Sarah."Kamu nggak perlu ke sini." Alya mengalihkan pembicaraan.
"Sekalian jalan-jalan, saya bosan harus nunggu terus di dalam bangsal."
"Ibu kamu sudah keluar dari ICU?"
Andra mengangguk. "Siang tadi.""Temannya Alya?" Sarah tahu-tahu sudah berdiri di sebelah Alya.
"Kayaknya, sih, gitu." Andra melirik Alya dengan tatapan menggoda.
"Saya Sarah, rekan kerjanya Alya." Sarah mengulurkan tangan dengan semangat.
Alya mendengus.
"Andra, barusan jadi temannya Alya." Andra menerima uluran tangan Sarah.
"Ini anak benar-benar, deh! Nggak bisa lihat orang cakep dikit." Aji mengeluh dari balik punggung Sarah.
Sarah nyengir. "Namanya memanfaatkan peluang," katanya tidak tahu malu.
"Wah, kalau ini, sih, menjaring semua peluang yang ada. Kalau dokter Bryan goyah, nanti kamu bimbang lagi," goda Alya.