Happy Reading
*****
"Mukanya biasa aja," ucap seorang pemuda di dalam mobil.
"Mas, itu ngeselin dari dulu." Olivia membuka pintu mobil, kaki kanannya sudah menginjak tanah. Namun, pegangan dari pemuda itu mampu mengentikan langkah si bungsu. "Apalagi, sih, Mas. Katanya dah telat."
"Mas, janji kalau proyek ini berhasil apa pun yang Adik mau tak turuti." Kedua tangannya mengatup, meminta maaf pada Olivia.
"Oke ... oke, tapi janjinya nggak boleh ingkar kayak yang sudah-sudah," kata gadis bergamis maroon dengan kerudung berwarna senada, jari telunjuknya yang diacungkan ke wajah sang pemuda seolah menegaskan.
"Insya Allah, cantik. Senyum dong!" Pemuda itu mengayunkan tangan kanannya, mengingatkan si bungsu untuk mencium.
"Lupa, Mas. Hati-hati, nggeh. Semoga berhasil proyeknya," ucap Olivia tulus pada Alfi Fauzi, saudara lelakinya.
Kecupan penuh kasih sayang Alfi berikan pada gadis yang selalu dianggap masih kecil oleh keluarganya, meskipun kini dia sudah dewasa. Bagi Haidar sekeluarga, Olivia akan tetap seorang anak kecil yang harus dijaga dengan sangat baik.
"Mas, ih. Jangan cium-cium Adik sembarangan. Ada yang lihat 'kan malu. Dah, Adik turun, masih jauh ini jalannya." Cepat Olivia keluar mobil.Alfi tersenyum, Olivia kini malu saat dicium pipinya seperti tadi. Padahal dulu dia yang sering minta diperlakukan dengan sayang oleh keluarga dan saudara-saudaranya. Andai tak ada janji dengan kliennya, pemuda dengan bulu tipis di bawah bibir itu pasti akan mengantar si bungsu sampai depan gerbang kampus. Namun, si klien tak mau menunggu sebentar saja dengan alasan apa pun dari pemuda beralis tebal itu.
*****
Ilyas menatap lurus gadis di hadapannya. "Sedang apa dia di sana?" ucapnya lirih.
Beberapa menit pemuda itu menunggu, memastikan keadaan Nafeeza. Namun, sampai hampir setengah jam berlalu, gadis itu masih belum beranjak dari tempat duduknya di sebuah bangku yang terbuat dari beton semen di pinggir jalan. Beberapa kali Nafeeza tampak menghubungi seseorang. Tak tega dengan situasi di depannya, Ilyas memberanikan diri mendekat.
"Assalamualaikum," salamnya dengan suara sedikit gugup.
Nafeeza menengok. "Waalaikumsalam. Kenapa, Bang?" tanyanya.
"Kamu lagi nunggu siapa?"
"Papa, Bang." Fokus Nafeeza masih pada ponsel.
"Memangnya kamu enggak bawa kendaraan sendiri? Terlalu lama kamu nunggu juga enggak baik. Ini sudah lewat setengah jam kamu di sini."
"Kok Abang tahu kalau aku dah nunggu lebih setengah jam?" tanya Nafeeza heran karena sedari tadi dia duduk tak terlihat pemuda itu sedikitpun.
"Mas itu yang ngomong," tunjuk Ilyas pada salah satu peserta yang mengikuti seminar dengannya tadi. Jelas dia malu jika ketahuan mengamati Nafeeza.
"Masak, sih? Aku nggak lihat dia dari tadi. Emange Abang kenal sama masnya?" Telak, perkataan Nafeeza membuat Ilyas gelagapan.
Pemuda itu menyugar rambut, gugup dan bingung. Alasan apa lagi kini yang harus dia katakan. "Rumahmu daerah mana? Aku antar pulang. Di sini enggak aman untuk perempuan sepertimu."
Demi apa pun, Nafeeza melongo dengan ucapan Ilyas. Angin apa yang membuatnya berniat seperti itu. "Yakin mau nganter aku, Bang?" tanyanya masih dengan segala keraguan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selubung Rindu
SpiritualSurga itu di bawah telapak kaki Ibu, itu yang sering kita dengar. Namun, masihkah surga seorang perempuan yang bersuami ada pada ibunya? Jawabannya, tentu tidak. Saat seorang laki-laki telah mengikrarkan akad, maka surga itu berpindah kepadanya. Ba...