"Semua orang kok ngeselin sih?!"
***
"Progres gimana, boy?"
Pemuda bongsor yang sedang duduk di kursi-meja-makan sembari bermain game pada ponselnya, mengalihkan atensinya sekilas pada sosok yang barusan bertanya.
"Ya, gitu, Pa."
"Ya, gitu gimana?" Arthur menarik kursi, ikut duduk di samping pemuda itu.
"Aman." Bocahnya masih fokus sama layar.
"Rencana renovasinya udah ada?" tanya si Bapak lagi sambil mengambil sebiji anggur yang tersedia di atas meja-makan.
"Udah, Pa."
"Gimana rencananya?"
"Belum tahu."
"Lah, modal kamu emang ada berapa, Dek?" Arthur terlihat masih sabar. Belum ada tanda-tanda mau ngamuk.
Keizo menatap mata ayahnya sebentar, lalu kembali pada layar ponselnya.
"Dua puluh, Pa." Maksud Keizo ini dua puluh juta rupiah. Agak lebih sama kurang mungkin.
"Wiih, banyak juga. Ngepet di mana kamu?" Arthur tersenyum sebari mengangguk-anggukkan kepalanya bangga pada Keizo.
"Di rekening Papa."
"BUAHAHAHAHA!!!" tawa Arthur pecah.
Keizo:
'Jayus amat bapak-bapak,' batinnya.
Lalu kembali memusatkan atensinya pada game.
"Jadi gimana, Dek? Target modal kamu berapa emang?" Arthur kembali bertanya.
"Seratus, Pa."
"Hah? Banyak amat! Modal segitu mending buka di mall Papa, kamu!" Dahi Arthur sampai mengerut sanking herannya dengan jawaban si Bungsu barusan.
"Loh, kebanyakan, ya, Pa?" Keizo menjeda atensinya pada game. Kini ia menatap Arthur tak percaya atas ucapan ayahnya barusan.
"Iyalah! 'Kan barusan Papa ngomong!"
"Ho, iya ya." Keizo mengangguk-anggukkan kepalanya. "Harusnya kalau ukuran toko gitu emang pasang berapa, Pa?"
Arthur menundukkan kepalanya, tangan dilipat di depan dada, jari pada tangan kanan mengusap-usap dagu. Dibaca: lagi berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warung Izo: Wi Kece Banget
Humor⚪Kagak Sequel-Sequel Jajar Genjang amat sih ⚪ Semenjak kepindahan Kak Yeyen satu minggu yang lalu mengikuti jejak tugas suaminya, toko kelontong satu-satunya di komplek terpaksa tutup. Warga mulai merasa kesulitan karena tidak adanya toko kelontong...