"Besok main lagi, ya."
"Bolanya jangan ditendang."
"Ih, curang!"
"Kucingnya kasihan. Kita kasih makan bakso, yuk."
"Hahaha ... ayo, kejar aku. Masa lari sebentar udah capek, sih?"
"Kita harus selalu bersama, ya. Nanti kita berangkat sekolah bareng. Aku minta ke Mama biar kita satu sekolah. Kamu mau, 'kan?"
"Kalau udah besar, kamu mau jadi apa? Aku pengin jadi koki."
"Mama bikin kue. Kamu mau? Rasanya enak, loh."
"Kemarin Risa pindah ke luar kota. Aku sedih. Kamu jangan kayak Risa, ya?"
"Jangan sakit, nanti aku sedih."
"Dadah ...."
• 🍫 •
Mata itu terus menatap pemandangan kota dari atas gedung dengan kosong. Sebersit luka tersimpan di dalam netra yang biasanya menyorot hangat. Rasa bimbang mulai menyergap dirinya. Mengapa semua orang menyalahkan dia? Mereka tidak ingin hal itu terjadi, begitu pun dengannya.
Semua orang selalu memandang sebelah mata kepadanya, seakan-akan dia adalah orang yang paling hina. Tidak hanya sehari atau dua hari saja ia mendengar caci maki orang lain. Sudah belasan tahun ia hidup berteman dengan cacian, tanpa banyak orang kasih di sampingnya.
Salahkah jika ia menyerah? Meskipun orang lain memandangnya sebagai sosok yang kuat, ia juga manusia yang memiliki kerapuhan di dalamnya. Rasanya, ia ingin berhenti di sini saja. Namun, ia tidak bisa. Masih ada satu hal belum ia selesaikan.
"Kapan kita bertemu kembali ...?"
• 🍫 •
•
•
Annyeong, Fren!
Happy reading~Salam,
CLBumi, 1 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco-late
Teen FictionSebenarnya, siapa yang terlambat? Aku atau kamu? • • • Bukan layaknya putri kerajaan, bukan pula perempuan idaman kaum adam. Ia hanya gadis biasa yang hidupnya tak begitu mencolok, Ila namanya. Tak banyak yang bisa ia ceritakan dari hidupnya, sekali...