4

3.4K 601 19
                                    

Rekan kerja Lorra segera mendekati Lorra. Mereka memerika tubuh Lorra, tidak ada memar atau apapun. Syukurlah, mereka bernapas lega.

"Kau baik-baik saja, kan, Lorra?" tanya rekan kerja Lorra di shift pagi. Ia tadi sudah mendengar dari rekannya yang lain yang berada di shift malam tentang Rex, si pria arogan dengan tempramental buruk di ruang VIP 3.

"Memangnya kalian berharap aku kenapa-kenapa?" tanya Lorra sembari melangkah memasuki nurse station. Ia melihat ke monitor komputer di depannya. Memeriksa laporan pasien yang akan ia kunjungi setelah ini.

"Kau tidak dicaci maki oleh Rex Dalton, kan?" tanya Louisa penasaran.

"Tidak."

"Seperti biasanya, Lorra tidak pernah mengecewakan." Amanda memuji Lorra. Rekan satu profesinya ini selalu bisa menjinakan orang-orang galak.

Pernah satu kali Lorra berkelahi dengan seorang pria yang melakukan kekerasan fisik terhadap pasien di rumah sakit yang merupakan istri pria tersebut.

Lorra baru bekerja satu tahun di rumah sakit itu, tapi ia sudah menjadi idola banyak pasien. Terkadang ada pasien yang ingin menjodohkan Lorra dengan anak, keluarga, kerabat atau teman mereka. Bahkan ada juga pasien yang menyatakan perasaannya pada Lorra.

Selain keterampilan yang baik, Lorra juga memiliki wajah yang di atas rata-rata. Ia lebih cantik dari rekan-rekannya. Ia memiliki tubuh seperti model. Jika saja Lorra melamar untuk bekerja sebagai selebritis atau model, percayalah ia pasti akan diterima langsung,

Wajah Lorra pasti akan menghiasi banyak majalah dan televisi.

"Jadi, apakah Rex Dalton sangat tampan?" tanya Rose penasaran.

"Lebih baik kau melihatnya sendiri," balas Lorra,

"Kau salah bertanya, Rose. Bagi Lorra tidak ada yang lebih tampan dari Altair." Louisa mengedipkan sebelah matanya pada Lorra.

Bagi Lorra, Altair adalah cinta pertamanya, tapi ia tidak mencintai Altair secara membabi buta. Ia mengakui ada banyak pria yang jauh lebih tampan dari Altair. Rex Dalton salah satunya. Mungkin jika Altair dan Rex dibandingkan, keduanya akan tampak seperti langit dan bumi.

Rex ketampanannya terlalu berlebihan jika untuk disandingkan dengan Altair yang memiliki wajah tampan rata-rata.

"Aku akan memerika pasien di kamar VIP 1." Lorra meninggalkan teman-temannya. Lagi-lagi ia mengabaikan pembicaraan temannya mengenai Altair.

Saat ini Altair menjadi topik yang sangat malas untuk ia bicarakan. Pria sialan itu bahkan tidak merasa bersalah setelah menyelingkuhinya. Lorra yakin itu bukan yang pertama kalinya Altair menyelingkuhinya.

Lorra masuk ke dalam kamar yang terdapat tidak jauh dari kamar Rex. Ketika ia masuk, ia langsung memasang wajah tersenyumnya. "Selamat pagi, Jason." Lorra menyapa remaja berusia lima belas tahun yang saat ini tengah duduk di atas ranjang sembari bermain game.

Jason segera meletakan ponselnya. "Selamat pagi, Lorra."

"Bagaimana kabarmu saat ini?" tanya Lorra. Ia membawa obat untuk Jason.

"Sangat baik."

"Aku senang mendengarnya." Lorra tersenyum senang. Melihat kondisi pasien jauh lebih baik adalah sesuatu yang membahagiakan untuk Lorra. "Kau sudah memakan sarapanmu?"

"Aku tidak lapar."

Lorra menggelengkan kepalanya. "Kau tidak boleh melewatkan sarapanmu, Jason. Ayo makan. Setelah itu aku akan menemanimu bermain game sebentar."

"Tiga ronde?" Jason sedang membuat kesepatakan dengan Lorra.

"Tiga ronde."

"Kau yang terbaik, Lorra."

In Bed With The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang