1st

393 15 2
                                    

Aku Marylin, Marilyn Hosk. Aku adalah putri seorang jendral berkebangsaan belanda bernama Christofer Van Hosk, Ibuku Anastasia Hosk, kami mendiami kota Batavia sejak aku berumur 4 tahun, karena Ayah yang di tugaskan oleh Ratu Wilhelmina untuk bekerja untuk kebangsaan ku di kota ini.

“Marylin, ayah akan mengawasi para pekerja rodi itu sekarang, kupikir kau tak apa ku tinggal?” Suara bariton Ayah menyeruak telingaku.

 “Ayah sudikah jika aku menemanimu mengawasi mereka? Aku agak bosan tak melakukan apapun.” Aku menghampiri ayahku mataku menatap bola mata biru pekatnya berharap ia memperbolehkan permintaan ku.

“Oh baiklah tak apa, aku akan pergi 10 menit lagi, bergegaslah ayah tunggu di halaman.” Ayah menyunggingkan senyum tampannya, menepuk pundakku, lalu meninggalkan kamarku.

Aku sampai di sebuah lahan panjang yang aku tak tau kemana ujungnya di penjuru kota batavia, aku turun dari mobil ford putih ayah, aku memakai dress putih selutut bermotif bunga bunga dengan tak lepas topi rajutan putih hasil rajutan ibuku. Disini terlihat banyak sekali pemuda-pemuda berkebangsaan indonesia pekerja rodi proyek rel kereta yang akan menghubungkan batavia dengan ambarawa begitu penjelasan ayahku.  

                Aku melihat kekejaman disini, aku tak bisa memungkiri bahwa bangsa ku sangat amat kejam terhadap mereka, mereka tak diberi makan atau pun minum sedikitpun, jika mereka bermalas-malasan mereka akan di siksa habis-habisan oleh anak buah ayah. bangsaku, ayahku, aku mulai merasa ini salah amat sangat salah, namun apa yang dapat kulakukan? Memihak kepada mereka? Menentang ayahku dan pergi dari rumah untuk menjadi pahlawan mereka? Tak mungkin semua itu aku lakukan jika aku tak mau cari mati.

                Aku berjalan-jalan melihat pekerjaan para pekerja rodi, aku melihat deretan pemuda sekitar 5 orang sedang berhenti istirahat sebentar, mereka melihatku, mereka tiba-tiba tegang seperti melihat hantu atau apalah itu, dan secepat kilat mereka melanjutkan pekerjaan mereka kembali, kecuali satu pemuda ini, matanya menatap bola mata ku intens, dia tak secepat itu bergerak bekerja kembali, bola mata coklat hitamnya mengunci bola mata hazelku. Aku merasakan ada yang salah, apa ini aku tak yakin, ekspresi wajahnya datar namun matanya seperti membentuk kedalaman jurang yang aku tak tau seberapa dalam itu, seperti menuntut ingi mengetahui apa di dalamnya, namun sekejap kemudian dia mengalihkan pandangannya dan kembali bekerja, dia sangat berbeda.. kurasa dia berbeda, aku merasakan ada getaran di dalam nadi ku, hey apa ini? Persetan jantungku serasa loncat kemulut ku saat menatap intens fisiknya yang tengah melakukan pekerjaan nya dengan sangat tekun dan teliti.

                Aku menatap punggungnya, ini aneh aku tak dapat mengalihkan pandangan dari dirinya, rambut hitam pekat nya basah akan keringat, bibirnya terbentuk sempurna dengan warna agak merona, garis wajahnya menunjukann perawakannya yang keras dan berwibawa, tatapannya tak lepas dari besi besi rel pekerjaannya. Aku menebak usia nya sekitar 16 tahunan, sebaya dengan ku.

 “Marylin, yaampun aku hampir tak mendapatkan kau dimana-mana, apa yang kau lakukan disini? Ayah sedari tadi mencari mu kemana-mana marylin, ayah ingin mengenalkan kau dengan Gubernur.” Suara ayah memecahkan tatapan intensku terhadap pemuda itu, aku hampir loncat kaget atas kehadiran ayah yang tak terduga, uh aku sampai melupakan ayah.

“Maaf ayah aku hanya hendak melihat pekerjaan mereka, baiklah ayah.” Aku mengangguk maaf pada ayahku.

“Tak apa marylin. Mari kita pergi.” Ayah merangkul pundakku dia seperti perisai ku sekarang, aku mulai berjalan mengikuti ayah namun tatapan ku kembali melihat pemuda itu yang ternyata sedang memperhatikan ku, kami membuat kontak mata yang cukup lama, mata coklat pekatnya sangat intens mengikuti gerakan ku, sampai aku berjalan cukup jauh dan kini bayangan sorot mata elangnya tak dapat kulihat lagi.

                Ayah membawaku ke arah depan dekat dimana banyak barisan pejabat-pejabat belanda. Aku melihat ayah langsung menyalami mereka dan mulai mengenaliku kepada mereka, aku tak suka melihat pandangan mereka terhadap ku seperti tatapan ‘pemangsa terhadap mangsa empuk’ persetan mereka itu hanya laki laki mata keranjang.

“Ini Marylin anakku.” Ayah mengenalkan aku pada mereka, aku tersenyum manis pada mereka, aku tak terlalu mendengarkan apa yang mereka katakan dan aku tak peduli apa yang mereka katakan terhadapku, pikiranku pergi liar memikirkan pemuda itu.

Pipiku terasa panas, memerah saat membayangkan tatapan intensnya, dadaku terasa bergemuruh, jantungku berdetak berpuluh kali lebih cepat dari biasanya, darahku berdesir. Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya, aku tahu betul apa yang kurasakan saat ini, ini terasa sangat aneh bagiku ini terasa sangat.. instan, sangat cepat dan sangat amat menyita semua akal sehatku, aku merindukan mata elang itu aku sangat ingin melihat kedalaman matanya lagi, hal itu seperti membuatku kecanduan.

MarylinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang