3rd

155 8 0
                                    

Aku berguling di atas kasur empukku, bayangan nya selalu tergambar olehku, belakangan ini aku merasa diriku mulai berbeda, aku lebih sering melamun dan berdiam diri-kau tahu sendiri apa yang membuat diriku seperti ini. Setiap hari kerutinanku adalah ikut ayah memantau pekerja rodi proyek kereta api tersebut, padahal tujuan ku untuk melihat arya disana, ini sudah memasuki sebulan kami berkenalan, aku mulai cukup mengenalnya, seperti dia siapa, orang tua dia siapa,keluarganya, statusnya, tempat tinggalnya, hobinya, dan lain lain.

Hari ini ayah akan memantau mereka kembali, sebetulnya ayah tak harus memantau para pekerja itu namun aku suka memaksa ayah aku ingin kesana karna aku bosan dirumah dan nampaknya sekarang ayah mulai terbiasa dengan itu dan aku bahagia aku dapat setiap hari bertemu dengannya.

Aku keluar kamarku dan menemukan ibu sedang menulis sesuatu, dia belakangan ini sibuk, aku hampir jarang mengobrol dengannya.

“bu, apa yang kau lakukan?” aku menyapa ibu, memberikan senyum manisku terhadap ibu cantik ku.

“ibu tengah menyelesaikan data marilyn, omong-omong ibu perhatikan belakangan ini kau sering sekali melamun, apa yang kau fikirkan marilyn? Apa kau tak keberatan untuk bercerita pada ibumu ini?” ibu menghampiriku, mengelus rambutku lalu kami duduk di sofa.

Aku mulai menceritakan arya pada ibu, ekspresi ibu tak terbaca, saat aku menyelesaikan ceritaku, ibu tersenyum muram

“Marylin ibu rasa sebaiknya kau jauhi pemuda itu, bukan ibu melarangmu,nak namun, bangsa kita tak dapat bersatu di pertikaian ini nak, kau tahu besar apa yang ayahmu lakukan jika mengetahui ini semua.” Ibu mulai meneteskan air mata muram, hatiku tersayat, bagian dari diriku memberontak, apa aku tak bisa mendapat kebahagiaan? Apa aku harus seperti ini? Apa aku harus menuruti keadaan? Aku harus mengubur mimpi tinggi ku dalam-dalam? Mengapa semua ini terasa tak adil bagiku, aku ingin menghabiskan waktuku pada lelaki pilihanku, bukan harus seperti ini, aku mulai terisak, bahuku bergetar hebat, hatiku hancur berkeping-keping, bagian dari diriku menghilang, semuanya hampa, aku benci menjadi bagian dari bangsa kejam ini, aku benci jadi bagian dari mereka, aku ingin memberontak, bagian dari diriku ingin tetap bersamanya aku tak ingin berpisah dengannya, tak ingin aku menuruti mereka, sekalipun mereka membunuhku, aku tak peduli, aku cukup muak untuk menjadi bagian dari kekejaman mereka.

Aku berlari ke kamar, menguncinya dan menangis sejadi-jadinya, mengapa aku baru terfikirkan sekarang? Mana mungkin ayah akan merestui aku dengannya, tak mungkin sampai dia matipun, ayah lebih memilih menikahkan aku dengan pejabat-pejabat mata keranjang itu, ayah lebih tertarik pada status mereka, jabatan mereka, tak mungkin aku dapat melanjutkan hubungan ku dengannya, atau aku akan di gantung ayah.

Aku menangis sejadi-jadinya, saat ini aku hanya butuh arya untuk menumpahkan semua kejanggalan di hati ku, aku hancur, aku hanya benci hal seperti ini, aku terlalu takut akan penolakan ayah, beliau akan menganggapku penghianat dan dia tak akan segan segan membakar aku dan arya hidup-hidup, ayah memang menyayangiku, namun dia tak akan pernah membiarkanku menjadi luluh akan mangsa kekejaman kami. Dengan seperti ini ayah akan berfikiran bahwa aku melanggar aturan terbesarnya, dan itu akan berefek sangat buruk bagiku.

Ibu mengetuk pintu kamarku, aku membukanya, aku mengelap air mataku yang masih lembab dan tak mau berhenti.

Ibu masuk ke dalam kamarku, ibu memelukku erat, “aku hanya tak ingin kau terkena masalah, aku sejujurnya mendukung semua pilihanmu marilyn, namun ibu takut akan ayahmu marilyn, tapi kau tau aku akan berusaha menjagamu, melindungimu hidup dan matiku.” Ibu menangis terisak begitupun aku, ibuku, beliau sangat berarti bagiku, hatinya seperti emas, aku tau jika disuruh memilih ibu akan rela mati demi aku daripada melihat aku tersiksa seperti ini.

“bu, aku tau, tapi apakaha aku memang tidak boleh merasakan ini semua bu? Aku sudah terlanjur jatuh hati padanya bu, semua ini hanya terasa tak adil bagiku.”

Tiba-tiba suara mobil ayah menderu di halaman rumah, ibu dan aku melepas pelukan saling kaget satu sama lain, mataku membelalak begitupun ibu,

“Marylin, cepat bersihkan matamu, kita harus berusaha untuk menyembunyikan semuanya atau ayah tak segan-segan menyiksa mu, dan aku tak akan pernah membiarka itu.” Ibu mengelap matanya dan segera secepat kilat menghampiri ayah.

MarylinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang