(Hongki PoV)
Pertama kali aku melihatnya, aku tak bisa berkata-kata. Takut? Yah... Mungkin. Tapi karena aku yang baru pindah ke apartemen tak tahu kalau ia bukan orang asing seperti yang aku kira sebelumnya.
Saat itu aku tengah mengangkut kardus terakhir dari mobil ke apartemenku di lantai lima. Bukan dus yang berat, namun cukup melelahkan juga karena aku sudah bolak-balik membawa barang-barang dari tempat parkir tanpa bantuan seorang pun. Hingga aku bertemu dengan sosoknya di dalam lift.
Rambut pirangnya begitu mencolok. Kulit putihnya tampak pucat. Ia mengenakan long-coat gelap dengan dan kacamata hitam yang menyembunyikan matanya. Postur tinggi tegapnya membuatku yakin ia orang Eropa.
Aku melangkah masuk lift dan menyadari ia tidak sedang baik-baik saja. Nafasnya memburu tak teratur dan tangan kanannya berpegang pada dinding lift. Tubuhnya limbung dengan tangan kiri yang sesekali meremas kepalanya.
Ingin menegur, tapi aku yakin bahasa Inggrisku tak begitu baik. Baru saja aku menemukan kalimat yang tepat untuk menanyakan keadaannya, lift sudah berdenting dan terbuka. Lantai lima. Aku harus keluar, dan ternyata ia juga keluar.
Aku hanya berjalan pelan-pelan. Memperhatikan dari belakang punggung lebarnya yang bergerak terhuyung-huyung. Sepertinya ia tetanggaku, dan aku jadi sedikit khawatir karena ia tampak sangat tak sehat.
Dan benar saja. Beberapa meter dari pintu apartemenku, ia jatuh lemas. Bersandar pada dinding lorong panjang dengan penerangan lampu orange yang remang-remang hangat.
"Are you okay?" kuenyahkan kardus yang kubawa. Memeganginya segera dan mengucapkan kalimat yang sudah kupikirkan tadi.
Ia menoleh saat merasakan genggamanku di tubuhnya. Kulihat ia tampak terkejut dengan kehadiranku. Tertegun dengan bibir pucat setengah terbuka.
"Hey, are you--"
"Nan Gwaenchana..." bisiknya dengan bahasa Korea, membuatku sedikit terkejut. Lalu malu. Lalu mati gaya. Lalu terbengong bodoh.
Memalukan!
Semua orang bisa mendapatkan rambut pirang dengan mudah jaman sekarang ini, dasar Lee Hongki norak!
Kemudian gerakan kecilnya yang menunjukkan ia ingin bangkit membuatku sadar. Membantunya berdiri.
"Kau sakit..."
"Tidak. Aku mabuk." bisiknya masih dengan suara pelan. Suara yang lembut untuk ukuran pria gagah sepertinya.
"Perlu kubantu berjalan?"
Sekilas, ia melirik kardus yang aku bawa, lalu menggeleng pelan. "Tidak, terimakasih. Sepertinya ada hal lain yang harus kau bawa, 507..."
Aku membulatkan mataku. 507 itu nomor apartemenku. Darimana ia tahu?
"Aku melihat seseorang menempati 507 kemarin. Namun aku belum sempat memberi salam karena sibuk..." ia tersenyum tipis. Tampak kaku di tengah wajah pucatnya yang menyiratkan rasa sakit. Ia mengulurkan tangannya. "Choi Jonghun. 508. Mulai hari ini kita bertetangga."
KAMU SEDANG MEMBACA
A GUY NEXT DOOR
FanfictionApa itu cinta? Apa itu cinta sejati? Aku dulu berpikir bahwa suatu saat nanti, entah kapan dan dimana, saat aku bertemu dengan cinta sejatiku, aku akan merasakannya secara nyata. Ingin tetap disampingnya, ingin tetap memilikinya, ingin berada di hat...