"Enzi! Lepasin," Allura terus-menerus memberontak saat Givano membawanya entah ke mana.
Gadis itu masih memakai masker pemberitahuan Givano. Setelah kejadian itu, Givano hanya menarik tangan Allura tanpa memedulikan Allura yang memberontak.
"Lepas," ucap gadis itu lagi.
Kali ini Givano melepaskan genggaman tangannya. Allura melihat ke sekitar. Rooftop, di situlah mereka saat ini. Mata gadis itu berbinar melihat pemandangan dari atas sana.
"Ini tempat kesukaan aku kalau lagi punya masalah," jelas Givano mendekat ke pagar rooftop dan duduk bersandar di pagar tersebut.
"Kayaknya ini juga bakal jadi tempat kesukaan Ayna," ucap Allura yang mengikuti Givano duduk di pagar tersebut.
Mereka terdiam beberapa saat. Saling memejamkan mata. Menikmati hembusan angin pagi yang menerpa wajah masing-masing. Sibuk berkelana dengan pikiran mereka sendiri.
"Gimana ya kabar mommy sama daddy?" Lirih gadis itu dengan mata terpejam.
Givano yang awalnya memejamkan matanya langsung membuka matanya. Menatap sang sahabat dari samping. Mata gadis itu masih tertutup, tapi dengan air mata yang perlahan mengalir.
"Mommy sama daddy pasti udah tenang di alam sana. Kamu juga jangan terlalu sedih Na, mommy sama daddy pasti nggak suka kalau kamu sedih terus," ucap Givano menerawang ke atas.
"Kamu lihat ke langit Na," pinta Givano membuat gadis itu menatapnya tapi kemudian menatap langit seperti yang dipinta oleh Givano.
"Sebanyak-banyaknya masalah kita. Pasti ada jalan keluarnya dengan berbagai cara. Bukan hanya satu jalan Na, tapi sangat banyak dan seluas langit," ucap Givano menaikkan tangannya ke atas seakan ingin menggapai langit.
"Tapi orang yang udah meninggal nggak akan bisa hidup lagi Zi," lirih Allura dengan air mata yang mengalir.
"Orang yang meninggal nggak akan bisa hidup lagi Na. Tapi asal kamu tau, ketika kita kehilangan satu atau dua orang. Akan ada banyak orang yang menyayangi kita datang menghampiri kita. Jadi aku mohon kamu jangan merasa sendiri Na. Ada aku, mama, papa, ada Luna, bahkan temen-temen juga ada di samping kamu," Allura menoleh kembali ke sang sahabat.
Matanya berair, tersentuh mendengar kalimat yang muncul dari mulut Givano. Kata-kata yang amat menenangkan. Dan ada benarnya, semenjak kedua orang tuanya meninggal, dia bertemu dengan semua teman-teman Givano yang baik. Gadis itu bisa kembali lagi bersama Givano setelah sekian lama. Mungkin hari ini, gadis itu akan mencoba merelakan kedua orang tuanya yang sudah tenang di alam sana.
"Ayo ke kelas," Givano berdiri dan membantu gadis itu untuk bangkit.
"Ayo."
***
Kring kring!
Semua murid baik laki-laki maupun perempuan bersorak gembira. Bel istirahat berbunyi, menandakan bahwa mereka akan bisa lepas dari pelajaran setengah jam ke depan.
"Ke kantin yuk Na," ajak Givano yang datang bersama Alan, kau, Adelard, Adit, dan Evans.
"Lura bareng kita," ketus Paula yang langsung menarik tangan Allura keluar kelas diiringi Vani, sementara Ari berjalan beriringan dengan Alan.
"Udah cukup sahabat gue duduk di sebelah lu, sekarang giliran gue yang bawa dia ke kantin," ketus Givano membuat Paula meneguk salivanya kasar.
"Enzi, kenapa kita nggak pergi bareng aja. Kan lebih ramai lebih seru," ucap Allura menengahi yang diangguki oleh yang lainnya.
***
"Lur, lo sama Givan udah kenal berapa lama?" Tanya Evans ketika mereka sedang makan di kantin sekolah.
"Aku sama Enzi lahir di hari yang sama. Paling selisih sekitar satu jam. Jadi di situ mommy sama mama Enzi saling kenal dan jadi dekat. Sejak saat itu kita sering pergi main ke rumah satu sama lain. Tapi pas umur delapan tahun Enzi harus pindah," jelas Allura sambil memakan sate nya.
"Orang tua lo kerja apa?" Tanya Vani sukses membuat Allura menghentikan aktivitas makannya dengan tatapan sendu.
Givano yang duduk di sebelah Allura melihat perubahan raut wajah sang sahabat. Lelaki itu menggenggam tangan Allura berusaha menguatkan dan menenangkan gadis itu. Tatapannya menatap semua teman-temannya supaya tidak melanjutkan pertanyaannya.
"Ayna ke toilet dulu ya Enzi," ucap gadis itu kemudian pergi tanpa menatap teman-teman barunya.
"Tolong jangan bahas orang tua Ayna di depan Ayna," pinta lelaki itu lirih.
"Kenapa?" Tanya Adit, Adelard, Kai, Evans, Alan, Ari, Paula, dan Vani serentak.
"Orang tua Ayna meninggal beberapa hari yang lalu. Sebenarnya mereka mau liburan ke sini sekaligus ngerayain ulang tahun gue sama Ayna di sini. Tapi mereka terlibat dalam kecelakaan jalan tol waktu itu. Ayna sama adiknya langsung di suruh loncat keluar dari mobil. Sementara orang tuanya nggak sempat keluar. Jadi gitu, mommy sama daddy terlibat kecelakaan beruntun di jalan tol. Apalagi mobil mereka tepat mobil pertama yang menabrak truk yang berhenti tiba-tiba itu. Mereka juga sempat ditangani sekitar tiga jam dan meninggal," jelas cowok itu lirih.
"Jadi Allura sama adiknya yatim piatu?" Tanya Alan yang diangguki oleh Givano.
"Jadi dia tinggal sama siapa?" Tanya Adelard yang mulai penasaran.
"Ayna sama adiknya tinggal di rumah gue. Mama sama papa yang nanggung semua kebutuhan mereka," jawab Givano lagi.
"Bukannya kita kepo ya. Tapi kelakuan lo ke Allura beda dengan kelakuan lu sama cewek-cewek lu, lu suka sama Lura?" Tanya Adit membuat Givano tersedak.
"Heh cabe!"
Perbincangan antara remaja itu terhenti ketika melihat seorang gadis membentak Allura. Gadis itu mendorong Allura hingga gadis itu tersungkur membuat Givano naik pitam.
"Diana!"
Givano langsung menghampiri Allura dan gadis bernama Diana itu. Jika ditanya kenapa Givano kenal sama Diana, itu karena Diana adalah mantan Givano yang baru saja diputuskannya.
"Apa-apaan lo ganggu sahabat gue?" Semua mata tertuju pada tiga remaja itu.
Givano menatap Diana tajam. Tatapan yang hampir tak pernah dia tunjukkan. Sementara Allura berlindung di balik punggung sahabatnya.
"Karena aku benci sama cewek cabe ini! Dia caper sama kamu! Sampai-sampai kamu putusin aku demi dia! Padahal dia anak baru di sekolah ini. Tapi dia sok kenal dan caper sama kamu!" Bentak Diana membuat Allura ketakutan.
Gadis itu meneteskan air matanya. Takut dengan suasana saat ini. Dia selalu hidup di lingkungan orang-orang yang sayang padanya. Sampai-sampai hatinya tidak sanggup dengan keadaan saat ini. Givano yang paham akan pergerakan Allura menarik gadis itu ke pelukannya.
"Asal lo tau. Ayna bukan orang lain. Dia adalah sumber kebahagiaan gue. Dan jika lo berani ganggu sahabat gue, gue jamin hidup lo nggak akan tenang," setelahnya Givano menarik tangan Allura keluar dari kantin menuju rooftop.
***
"Maaf."
Allura langsung menoleh ke Givano. Baru saja kedua sahabat itu menginjakkan kaki di rooftop, Givano langsung meminta maaf entah untuk apa.
"Kenapa?" Tanya Allura. Gadis itu sudah tidak lagi menangis.
"Kalau aja aku nggak playboy dan nggak mainin hati cewek pasti kamu nggak akan di labrak sama Diana," ucap Givano lirih.
"Enzi nggak perlu minta maaf. Enzi nggak salah apa-apa. Tapi boleh Ayna minta satu hal?" Tanya Allura lembut.
"Apa?"
"Stop mainin hati cewek. Wanita itu bukan untuk mainan. Ingat mama sama Ayna. Gimana kalau Ayna dipermainkan sama cowok? Enzi marah nggak?" Tanya Allura.
"Awas aja tuh cowok! Aku buat dia nggak bisa nafas lagi!" Allura terkekeh melihat Givano yang menggebu-gebu.
"Makanya jangan mainin hati cewek," pinta Allura diakhiri dengan kekehan kecilnya.
"Iya! Aku janji," ucap lelaki itu menautkan kelingkingnya dengan kelingking Allura.
Mereka sibuk bercanda ria. Tertawa bersama seakan tidak ada kesakitan dan penderitaan yang menimpa mereka.
"Gue nggak nyangka hidup Allura sesedih itu," ucap Ari lirih.
Sebenarnya teman-teman mereka menyusul Givano dari tadi. Mereka sempat mendengar semua pembicaraan dari dua sahabat itu.
"Kayaknya cuma Allura yang bisa bikin Givano tobat. Bagus deh. Nggak ada yang jadi korban dari Givano. Nggak ada lagi cewek yang nangis-nangis di depan kelas kita," ucap Evans yang diangguki oleh teman-temannya.
To be continue :)
KAMU SEDANG MEMBACA
AlGiv: 1 Januari
Teen Fiction"Aku suka sama kamu." "Tapi kan kita sahabatan?" "Emang kalau sahabatan nggak boleh pacaran?" *** AlGiv, singkatan dari Allura dan Givano. Sepasang sahabat yang lahir tepat pada tanggal 1 Januari. Tak ada yang b...