[2] mimpi

161 38 7
                                    

Tiga jam perjalanan lelah dan membosankan. Seharian melihat El yang asik dengan handphone nya sedangkan Mona yang asik dengan boneka beruang menyeramkan miliknya. Serta siswa dan siswi yang tertidur lelap sepanjang jalan. Sedangkan aku lupa mengecas handphone dari rumah. Malangnya nasibku.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidur seperti siswa dan siswi lainnya. Ku pejamkan perlahan keduanya. Rasa ngantuk sepertinya sudah mulai timbul. Namun, selalu saja tak bisa. Tak lain dan tak bukan aku mengambil cemilan dari ranselku agar tak bosan. Melahap nya potongan demi potongan.

Tak jelang beberapa waktu, setelah makanan ku habis. Rasa lapar pun hilang. Dan kini ku lihat semua orang pada tertidur termasuk Mona dan El. Hanya pak supir dan aku saja tinggal dengan mata terbuka.

Ya sudah, berdiam diri dengan kebosanan. Tapi, tiba tiba ada seseorang yang menarik ku dari belakang. Aku tak kenal dia. Bahkan dia sepertinya bukan siswa sekolah kami. "si-siapa kamu?"

"loh? Aku anak dari Pak Supir," katanya hingga membuatku tak heran lagi.

"kenapa kamu menarikku?" tanyaku.

"kamu salah satunya," katanya. Pertanyaan yang ku ajukan bahkan tak ada kaitannya.

"a-apa?"

"coba kamu perhatikan jendela bis ini satu persatu," katanya dengan nada sendu.

"kenapa? Pemandangan nya indah 'kan?" ucapku benar benar heran dengan anak satu ini.

"perhatikan sekali lagi!" pintanya menekan suaranya.

Awalnya tampak biasa saja dengan pemandangan pemandangan yang indah. Namun, setelah ku perhatikan dengan detail tampak tangan tangan puntung yang bergantungan. Jantungku hampir putus di buatnya. Rasanya ingin meninggalkan bis ini atau lenyap dan berfikir ini hanya mimpi. Tapi, entah angin apa yang membawaku mendekati jendela itu. Badan ku terasa di tarik kesana. Mencoba menahan diri namun nihil. Tak seorang pun yang bangun saat ini. Mau minta tolong mulutku serasa terbungkam.

Akhirnya aku pasrah. Aku pasrah jika harus mendekati sekumpulan tangan tangan yang berdarah segar itu. Yang membuatku hampir pingsan saat itu ketika jendela kaca terbuka sendiri. Kepalaku serasa di arahkan keluar jendela. Takdir ingin membunuhku? Tangan tangan kotor itu memegangi kepala, mata, serta mulutku. Antara hidup dan mati aku benar benar takut. Sampai akhirnya sebuah truk lewat, tapi aku tak sempat mengambil kepalaku kembali dan...

"aaaaa.... " teriakku.

Tap,
Terbangun dari tidurku. Dan, semua hanya mimpi? Tapi benar benar tampak nyata! Keringat dingin bercucuran di dahi dan leherku. Teriakan ku membuat seluruh siswa terbangun. Anak tadi? Kemana anak tadi? Dan tangan tangan puntung tadi juga hilang. Semua baik baik saja. Apakah semua khayalan?

"yeee... lu kira ini konser musik bisa teriak teriak? Ah, hilang sudah mimpi indahku," ucap El membuka matanya.

"ada apa, Al?" tanya guru pengawas.

"mm... gak papa, Buk."
***

Bis perlahan mulai pelan dan berhenti. Sepertinya sudah sampai tujuan. Mona juga terbangun. Masih memegang boneka beruang nya. Lalu memegang tangan kiriku. "kakak mimpi buruk ya?"

"loh, Mona kok tau?" tanyaku heran.

"Mona juga!" ucapnya raut wajah takut.

"Mona mimpi apa?"

"Mona mimpi boneka beruang Mona hidup, yang kurus baik dan yang gemuk ingin bunuh Mona," ucapnya perlahan mulai mengeluarkan cairan tak berwarna dari matanya.

"hahaha... tuh kan. Tentang boneka mulu ih!" cengirku pelan.

"udah. Yuk bantu kakak angkat koper kita!"
***

Siswa satu persatu mulai turun dari bis. Dan yang terakhir aku dan Mona. Oh ya, juga sama El yang belakangan.

Ku tatap mata Pak Supir lamat lamat. Kemudian dengan ragu bertanya "Om, anak Om usianya berapa?"

Pak Supir menggeleng dan tersenyum lalu berkata "anak Om udah meninggal."

Tentu saja. Itu pasti arwah anaknya yang masuk kedalam mimpiku. Benar benar kejailan yang menakutkan!

Kami mengikuti arah Ibu pengawas berjalan. Dia yang menuntun kami menuju hotel penginapan. Lokasi ini cukup sejuk dengan angin sepoi sepoi menggerakkan rambut rambut kecilku. Suasana yang menyegarkan ini terbuyar karna El menceritakan hal aneh lagi.

"Al, katanya orang yang diwarisi penglihatan itu sampai kesini pasti mereka merasakan hal aneh dalam perjalanan. Mulai dari gangguan jin, dan hal mistis lainnya. Karna para jin disini gak suka kalau ada pewaris
baru yang dapat melihat mereka. Mereka berusaha membunuh mental si pewaris. Kemudian, baru fisiknya. Wah, kasian bagi yang mewarisi itu. Pasti bakal kejang kejang gak sanggup," jelas El.

Aku mengingat kejadian awal aku kesini. Di ganggu oleh anaknya Pak Supir. Eh, tapi itukan hanya mimpi. Jadi, berarti tak nyata. Bukan akulah orang itu. Tak mungkin. Kakiku mulai bergetar. Kemudian melihat siapa lagi orang yang ketakutan seperti aku disini.

"El, ka-kamu bilang ada dua orang yang terpilih ya?" tanyaku ragu. Benar benar kaku.

"iyaps. Aku yakin dua orang terpilih itu sekarang pasti dalam keadaan ketakutan," ucapnya melirik setiap siswa disini. Namun, aku berusaha tak menampakkan kegelisahan ku di depan El.

"semoga aku bukan salah satu orang terpilih itu."
***

Sesampainya di hotel dekat pantai. Kami meletakkan koper dan barang barang kami kekamar nomor 03 setiap kamar berisi empat orang. Di kamarku ada Aku, Mona, El, dan juga Ray. Ray adalah siswa pendiam di kelasku. Tak sedikit pun mau bicara pada kami. Bahkan, dia ikut acara perpisahan ini karna dipaksa oleh guru pengawas. Sedangkan, di kamar sebelah nomor 02 berisi kamar perempuan. Basmalah, Quin, Sandrina, dan Aqela. Tak cukup waktu bila aku menceritakan kamar lainnya bukan?

Aku meminjam carger El untuk mengecas ponselku. Kemudian merebahkan tubuh diatas kasur putih lembut milik hotel. Tak lama kemudian Mona mengadu "Kak, harusnya aku gak jadi ikut aja ya, gak ada temen main."

"siapa suruh ikut?" ucapku dalam keadaan tangan terlentang.

"Al, mending Mona ajak main tu sama anak perempuan nya," usul El. Ide yang sangat bagus.

Aku dan Mona pun berjalan menuju kamar sebelah. Belum sempat aku mengetuk pintu kamar, sudah ada suara yang mengatakan "tidak terima tamu!" ku kira itu suara salah satu dari mereka.

"ayolah! Kali ini aja buka!" ucapku keras menjerit.

"gak bisa, ini khusus cewe!" kata salah satu dari mereka.

"bukan aku, tapi Mona. Mona 'kan cewe!" setelah kata itu ku ucapkan mereka baru mau membuka pintu.

"aaaa... manisnya!"
"adik manis ayo masuk"
"jadi adek aku ajalah"

Mereka berempat tampak senang. Aku jadi tenang melepas Mona bersama mereka. Kemudian aku pergi dan kembali ke kamarku.

Next?

INDIGOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang