Perih dari sebuah penolakan menyayat lebih dalam, meninggalkan bekas-bekas luka yang tak mudah ditutup kembali walau telah keras mencoba. Mereka berkata, waktu bisa menyembuhkan. Ya, waktu. Itu yang mereka katakan. Tapi, apakah waktu datang membawa penawar? Apakah waktu bisa singgah meski hanya sekedar mengasihani dan menepuk-nepuk pundak lelahmu? Waktu hanya datang untuk berlalu, waktu hanya mampir untuk lewat. Waktu tak pernah berhenti hanya untuk memberimu tatapan pilu mengasihani.Penolakan adalah sebuah ketakutan. Ketakutan yang menggerogoti kewarasan. Menghancurkan harapan semu yang bahkan belum punya waktu untuk mengembang menampakkan kilau-kilaunya. Penolakan, adalah sebuah tamparan.
Dan dia mendapatkan tamparan itu, di saat harapan baru saja ingin merekah. Di saat titik pencarian dan penantiannya merengkuh puncak, harapan itu dipaksa terjun bebas menghantam dasar jurang hingga hancur berkeping-keping. Oleh sebuah tamparan bernama penolakan.
Ia masih ingat, malam dingin berangin itu. Ia tak bisa lupa, bagaimana ia telah menyusun naskah-naskah tak beraturan di kepalanya tentang apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan, apa yang akan mereka lakukan setelah ini.
Aku menemukanmu.
Aku menemukanmu.
Aku menemukanmu.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Apa yang harus kita lakukan?
Ia mengharap sebuah dekapan, ia menghayalkan sebuah seru kegirangan. Kau. Ini benar kau. Aku menemukanmu. Ia membayangkan sebuah percakapan panjang di salah satu meja cafe dengan ditemani dua cangkir kopi panas dan strawberry cheescake yang dihidangkan di atas piring-piring keramik cantik
Namun yang didapatnya hari itu, hanyalah sebuah tamparan yang mengingatkan betapa bodohnya ia.
Pria itu mengingatnya. Pria itu mengenalinya. Raut muka dan kilatan di matanya begitu gamblang menggambarkan, begitu lantang menjelaskan, meski tak sepatah kata yang terucap. Pria itu tak melupakannya.
Tapi dia hanya berlalu, seperti tak terjadi apa-apa. Seperti tak pernah terjadi apapun di antara mereka. Dia pergi begitu saja, tanpa kata, tanpa dekapan, apalagi percakapan dengan ditemani dua cangkir kopi di meja cafe.
Penolakan di hari itu, menyisakan sayatan dalam yang iapun tak tahu kapan akan menghilang digulung waktu.
*
Tak jarang ZheHan mendapati teman-temannya bergurau tentang sikap sok pahlawan yang begitu lekat dilabelkan orang-orang pada dirinya. Entah sejak kapan label itu menempel padanya seperti plakat papan iklan. Ia juga tak menahu, kenapa orang-orang menggagas ide untuk menjulukinya demikian. Karena yang ZheHan ingat, ia sama sekali tak memiliki kriteria satupun yang bisa diasosiasikan dengan istilah pahlawan.
Ah, apakah karena dia pernah menolong seseorang yang tak bisa menemukan alamat dan mengantarnya hingga tiba ke tempat tujuan sampai sampai ia terlambat kembali dari istirahat makan siang? Atau, apakah karena waktu itu dia pernah dengan lancang memulai pertikaian dengan klien yang telah melakukan pelecehan terhadap rekan kerjanya, hingga ia kena damprat HRD?
Tapi itu bukanlah sebuah kepahlawanan. Semua orang juga akan berbuat demikian jika berada di situasi yang sama. Bukankah begitu? Ataukah, hanya dirinya?
ZheHan tak pernah menganggap dirinya sebagai seorang pahlawan. Dia masih jauh dari itu. Meski teman-temannya tak henti mengolok-oloknya tentang sikap kepahlawanan yang membuatnya terjebak dalam masalah berkali-kali, ZheHan tak pernah mau menyebut dirinya sebagai seorang pahlawan.
Sekarangpun, masih seperti itu.
Sekarangpun, meski ia tengah berada di antara seorang wanita yang meringkuk ketakutan di belakangnya, dan dua orang pria berbadan kekar yang memasang tampang-tampang beringas di depannya, ZheHan tak merasa se-incipun mendekati kata pahlawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flame We Keep Alive【END】
RomanceZhang ZheHan hampir meregang nyawa kala ia terjebak dalam kebakaran besar yang menghanguskan apartemen tempat tinggalnya. Seorang petugas pemadam kebakaran datang menyelamatkan, menjauhkannya dari cengkeraman maut. Dan hidup Zhang ZheHan tak pernah...