BAB 3

958 166 5
                                    

Selamat Membaca

Athaya mengerutkan dahinya seraya meninggalkan warung milik Rukmi. Ia sangat yakin, jika tadi melihat Mega bersandar di balik tembok. Bayangan Wanita itu jelas Athaya hafal. Senyum tipis tersungging, saat ia menduga bahwa wanita itu pasti mencuri pandang ke arahnya tadi.

Persis yang selalu wanita itu lakukan sejak dahulu kala jika bertandang ke rumah orang tuanya untuk bercengkrama dengan kakaknya Adithy. Di segala kesempatan, ia berulang kali mendapati saat-saat Mega mencuri pandangan ke arahnya. Itu juga yang membuat ia merasa wanita itu dulu menaruh rasa yang sama dengannya. Namun, Athaya menelan kenyataan pahit saat wanita itu menolaknya dan memilih untuk kembali ke Hongkong. Padahal jelas sekali, jika Athaya yang masih berusia 20 tahun di kala itu juga tidak bisa diremehkan.

Ia sudah memiliki penghasilan sendiri sebagai seorang programer. Mega tidak perlu khawatir akan kelaparan jika menerima lamarannya kala itu. Akan tetapi, yang lebih melukai perasaan dan harga dirinya sebagai pria adalah wanita itu menolaknya karena menganggap perbedaan status sosial dan usia yang menjadi penyebabnya. Seumur-umur, hanya Mega seorang yang pernah menolaknya. Padahal impian untuk menikahi wanita itu sudah ada dalam benak Athaya bahkan sejak ia duduk di bangku kelas dua SMA.

Athaya mendesah panjang saat kembali mengingat kekecewaannya dan kegagalannya dalam membina rumah tangga bersama dengan Dama. Athaya tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kegagalan rumah tangganya yang dipicu karena Dama yang kedapatan berselingkuh. Namun, jelas andilnya lebih besar di sini. Ia merasa tidak bergairah saat bersama dengan istrinya itu. Dama adalah teman sekolahnya dan Athaya mengetahui jika Dama telah menyukainya sejak SMP. Jadi, begitu wanita itu menginginkan untuk menikah dengannya. Athaya yang kala itu sakit hati dengan penolakan Mega, akhirnya menyetujui hal itu.

Kesialan yang dirasakan oleh Mega tidak berhenti sejak bisa melihat penampakan Athaya di warung ibunya tadi. Karena begitu Athaya pergi sepupu pria itu yang bernama Cavero dan Enzi mendatangi warung ibu Gandes. Lantas, kali ini bertemulah mereka dengannya.

“Loh, ada Mbak Mega rupanya? Lama sekali nggak kelihatan. Sudah lima tahun kalau nggak salah. Oh pantas saja tadi Athaya lama banget baru sampai rumah. Betah dia di warung ketemu Mbak Mega.”

Asumsi Cavero membuat Mega merasa harus meluruskan hal itu. Jelas, dirinya tidak ingin menjadi bahan perbincangan. Tidak hanya bagi warga kampung yang menganggapnya sebagai perawan tua atau bahkan dikira telah menjadi janda muda terlebih di dalam keluarga pria itu. Demi Tuhan, dia masih 30 tahun belum menjadi wanita uzur. Jaman sekarang, bahkan lebih tua darinya banyak yang baru melepas masa lajangnya. Toh, jodoh siapa yang tahu. Semuanya adalah rancangan misteri Ilahi.

“Tidak. Kami tidak bertemu.”

“Mbak Mega belum ada di warung ya tadi?” Cavero masih tidak mau kalah dan berusaha mengobati rasa keingintahuannya.

“Tidak juga, hanya saja kami tadi tidak bertemu. Kalian mau beli apa ini?” ujar Mega yang sejurus kemudian mengalihkan pembicaraan.

“Kami mau dua mie kuah dan teh tawar panas.” Kali ini Enzi yang menimpali. Pria tampan itu tahu jika Mega pasti merasa kurang nyaman ketika disinggung tentang Athaya.

“Di rumah tidak ada makanan?” tanya Rukmi seraya tersenyum kepada kedua pria muda tersebut.

“Ada, Bu, tapi kami kangen mie kuah buatan Ibu. Jarang-jarang kami datang ke sini,” jawab Cavero seraya melirik pada Mega yang memunggunginya.

KAMU MILIKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang