Hujan

24 2 0
                                    

"Mau sampai kapan lu nyalahin hujan terus?"

Aku melirik ke arahnya yang tepat berada di kanan. Benar apa yang kupikirkan.
Dirinya masih ingin membahas sesuatu yang sedikit pun tak ingin kubahas. Permainan apa yang sebenarnya ingin ia hantarkan. Mencuci otak kah? Sehingga aku bisa berkawan baik dengan hujan kembali?

"Gak boleh tau kayak gitu," ia menyambung perkataannya tanpa melihat ke arahku dan masih fokus menatap lekat laptopnya.

"Arah pembicaraan lu tuh kemana sih?" Aku mulai memposisikan diri untuk lebih intens terhadapnya. "Bukannya gue udah pernah kasih tau ya alasannya kenapa gue kayak gitu."

Ia menyamakan posisi sepertiku. "Gue pernah denger satu quotes kalau hujan tidak pernah datang dengan maksud yang jahat, tapi keadaan dan waktulah yang membuat kita membenci kedatangannya. Mungkin lu salah satunya."

Mendengar satu kalimat dari bibirnya membuat roda otakku berputar mencari titik terang dari kalimat tersebut. Aku tahu ia tidak bermaksud untuk menghipnotis pikiranku dengan nasihat omong kosongnya itu. Tapi pernahkah kau merasakan satu tekad yang kuat terusik oleh pengharusan bertopeng kata-kata manis dan sedikit demi sedikit akan mengikuti arusnya?

Sayangnya itu bukan aku.

"Gue gak percaya." Kuarahkan kembali pandanganku pada layar laptop yang mulai memasuki peluncuran. "Tetap saja hujan juga mendukung keadaan dan waktu turunnya."

"Mungkin lu masih belum nangkep maksud dari quotes itu." Ia masih berusaha mendobrak keyakinan yang mengakar padaku. "Di mana-mana hujan itu datang membawa rahmat. Membawa kesejukan saat gurun Sahara sedang gersang-gersangnya. Mengumpulkan kembali bulir-bulir air saat sungai Eufrat mengering. Belum lagi menghidupkan tanaman ibu gue yang sempat layu dan hampir mati. Hujan itu gak pernah salah. Mungkin kenahasan yang melanda hidup lu selama ini terjadi bertepatan dengan kedatangan hujan dan hanya itu yang selalu lu inget. Tapi pernah gak lu inget kenahasan yang terjadi di hidup lu datang tidak bersamaan dengan hujan?"

Dia ini sebenarnya sedang berpidato atau bermain permainan otak denganku sih?

Rasanya seperti dihujam ribuan anak panah tepat di sekujur tubuh. Semua cipratan saliva yang keluar dari bibirnya sangat benar dan tidak ada yang salah. Mungkin aku yang salah mendekam sekamar dengannya dalam waktu yang lama.

Namun dari sana aku mulai membanding-bandingkan mengapa nasibku tidak seindah gurun Sahara, sungai Eufrat bahkan tanaman ibunya kala hujan menyerbu. Apa hujan telah lelah menutupi semua permasalahan hidupku sehingga ia sendiri yang mulai menambahkan kepahitan perjalananku. Tak bisakah bibir ini sekali menyangkal pernyataannya.

Sepenggal Pancarona Kisah [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang