Karet dan Senja

7 0 0
                                    

Memang baginya menjalani takdir sepi nan redup membuatnya merasa candala.
Candala akan hal-hal yang ia sendiri pun tak tahu apa itu. Yang dirinya tahu bahwa setiap harinya ia masih diberi kesempatan untuk mengisi lambung keringnya. Ironis bukan.

Tidak seperti kebanyakan orang memang, ia sangat bagus dalam memutar balik sudut pandangnya. Mencoba memandang hidup menjadi seperti apa yang dia inginkan. Bukan membiarkan hidup menelan serpihan-serpihan jiwanya ke dalam circle yang memuakkan.

Ia tahu, hanya dengan berbekal karet gelang yang dililitkan menjadi satu bersama kaleng bekas biskuit takkan mampu membeli harga dirinya yang telah lama menjadi keset. Berjalan menyusuri trotoar jalanan yang berasap tanpa alas kaki yang membalut tumitnya. Apalagi kau tahu bahwa trotoar Lebak Bulus —tempat ia mengabdi sangatlah ingar bingar oleh bisingnya kendaraan yang meruak hebat.

Ya, Diary Depresiku dari Last Child merupakan lagu yang sering ia bawakan bersama kumpulan karet berbaris sejajar setianya. Selain karena dirinya memang pengagum terberat Last Child, lagu tersebut sangat merepresentasikan bagaimana hidupnya yang saat ini ia jalani.

Tidak, ia tidak memaknainya sebagai broken home karena ia bahkan tak mengenal siapa orang tuanya. Ia hanya memaknainya sebagai broken life yang telah mengiringi takdir sepi hidupnya.

Bernomaden dari mobil ke mobil. Motor ke motor. Lampu merah ke lampu merah.
Tak peduli seberapa sering ia menyanyikan lagu tersebut dibandingkan lagu Last Child yang lainnya. Mungkin karena dirinya sangat cocok menyanyikan lagu yang bertema kelam dan didukung dengan suaranya yang lumayan. Melalui kedua penunjang itu ia mampu memenuhi bungkus permen walau hanya dengan beberapa uang 500 rupiah.

Namun akhir-akhir ini ada yang berbeda dengan hidupnya. Apalagi saat senja mulai menurunkan tirai kemuningnya dan disusul dengan rapatnya jajaran kendaraan. Pemuda dengan motor matic merahnya yang setia ia jumpai beberapa hari belakangan ini setiap sore.

Bagaimana ia tak setia bersua dengan pemuda itu hanya karena ketulusan dan kebaikan yang mampu ia rasakan bagai magnet. Bungkus permen itu sekarang dipenuhi tidak hanya dengan uang 500 rupiah saja, bahkan yang berwarna hijau kini bersemayam di sana. Bukan masalah berapa banyak yang pemuda itu berikan. Tapi konsistensi waktu dan jumlah pemberian yang membuat pemuda itu terasa precious bagi dirinya.

Sepenggal Pancarona Kisah [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang