Prolog

29 5 0
                                    

Riuh ricuh ibu kota memekakkan telinga. Asap kendaraan mengepul, membuat siapa saja akan terbatuk apabila menghirupnya. Matahari berada tepat diatas kepala, siapapun akan terbakar jika berdiri dibawahnya dalam waktu yang lama.

"Makasih Pak." Sopir angkot mengambil uang dari tangan laki-laki berkulit putih yang lebih cocok dipanggil Mas atau Dek ketimbang dipanggil Bapak.

Laki-laki itu tersenyum manis, bibir merahnya melengkung seperti sudah mahir dalam melakukannya.

"Bapak artis ya? Kok ganteng banget," kata sopir angkot yang nampak begitu penasaran.

"Bukan."

"Kalau begitu pasti orang kaya, pasti terkenal ya," katanya lagi sambil mengeluarkan ponsel yang nampak jadul dan murahan. "Saya mau minta foto boleh ya," lanjut sopir angkot yang dibalas anggukan dan tawa kecil sang lawan bicaranya.

Satu foto, dua foto, tiga foto

Si sopir bertubuh gembul dan kumis yang tebal ini tidak henti-hentinya mengambil foto mereka berdua.

"Papa, ayo cepat, panas nih," ujar seorang anak perempuan berusia 5 tahunan, dia menarik tangan Papanya.

"Iya Pa, Deon juga kepanasan nih," timpal seorang anak laki-laki yang seumuran dengan anak perempuan tersebut. Bahkan wajah mereka tampak mirip.

"Sudah dulu ya Pak, anak saya rewel," Pamit laki-laki itu kepada sopir. Kemudian pergi dengan menggendong kedua bocah kecil yang sudah memerah akibat kepanasan.

Turun dari angkot bukan berarti sudah sampain tujuan, laki-laki bertubuh jangkung itu masih perlu berjalan kaki sambil menggendong dua malaikat kecilnya melewati gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati sebuah motor.

"Buuuk ada artis."

"Iyaa itu artiss!"

Teriak bocah-bocah kampung dengan sangat norak, menciptakan kegaduhan yang membuat para orang tua dan kebanyakan para gadis perawan keluar dengan menggenggam erat ponselnya. Laki-laki itu tersenyum, sudah biasa melewati situasi ini.

"Masya Allah, nak Soobin!" Salah seorang dari kerumunan emak-emak mendatangi laki-laki yang dipanggil Soobin itu kemudian memberi kode kepada orang-orang untuk jangan mendekat.

"Udah lanjut jalan aja, pasti capek banget setelah perjalanan jauh," ujar emak-emak lain seolah sangat mengenal Soobin.

Soobin mengangguk kemudian pergi dengan senyuman yang masih menempel di wajah tampannya, membuat dua lesung pipi disisi kanan dan kiri.

"Papa, kenapa teriak liat kita?" Anak perempuan Soobin berceletuk.

"Itu tandanya mereka sayang sama kita, Dena."

"Papa, kenapa nggak naik mobil aja? Dean capek tau naik angkot terus jalannya panjang banget," anak lelakinya turut menimpali.

Soobin tersenyum, tidak menjawab pertanyaan terakhir Dean dan memilih mempercepat langkah kakinya agar cepat sampai. Ada rasa sedih kenapa anak laki-lakinya meniru sifat buruk Soobin. Terutama masalah fisik, kedua anak kembarnya itu dominan lebih mirip padanya.

Kebanyakan orang tua suka merebutkan tentang siapa yang wajahnya harus dijiplak anaknya. Tapi berbeda dengan Papa muda ini, dia begitu kesal kenapa wajah tampannya diturun anak-anaknya.

Tapi bukan wajah tampannya saja yang jadi alasan kenapa ia kesal. Ada hal lain yang terlalu sakit untuk dipublikasikan. Kisah indah yang akhirnya harus pupus oleh takdir.

"Dean, Dena," teriak perempuan yang rambutnya sudah memutih. Disusul laki-laki berperut buncit dan mengenakan sarung.

"Mereka siapa Pa?"

"Nenek sama Kakek."

"Nenek sama Kakek kan sudah meninggal."

"Kalian peluk mereka ya," ujar Soobin, menyerah dengan kedua anaknya yang terlalu banyak tanya.

Dean dan Dena memeluk Kakek Neneknya. Soobin yang melihat itu semua meneteskan setetes air bening yang membasahi pipinya. Dia terlihat rapuh, matanya menutup rapat,berharap rasa sesaknya tidak sesakit ini.

Kakek menghampiri Soobin, memeluknya sambil berbisik, "terima kasih."

Soobin menangis semakin kencang. Bahkan kini kedua anaknya terpaku melihat sosok Ayah yang dikenalnya begitu berwibawa dan kuat menangis kencang seperti anak gadis.

Mereka duduk diruang tamu. Soobin masih menahan sesak didadanya terutama setelah masuk ke rumah kecil namun rapi dan minimalis ini tidak berubah sedikitpun. Bahkan beberapa foto yang dipajang masih sangat sama seperti dulu, hanya saja kini lebih banyak foto Dean dan Dena.

"Saya minta maaf, Ayah," kata Soobin tanpa mengelap air matanya yang jatuh.

"Tidak ada yang salah, jangan minta maaf," jawab Kakek sambil menepuk bahu kekar Soobin.

"Masa lalu saya begitu buruk, sehingga membuat anak Ayah dan Bunda tersiksa."

"Itu cuma masa lalu, ndak usah dijadikan memori buruk, dijadikan pelajaran saja," Nenek menimpali dengan senyum, tangannya sibuk mengupaskan apel untuk Dean dan Dena.

"Kami juga minta maaf. Anak kami pergi ninggalin nak Soobin, jadinya ngerepotin nak Soobin dengan mengurus Dean dan Dena sendirian."

"Tidak Yah, saya sama sekali tidak direpotkan. Saya bahagia pernah bersama Mama Dean dan Dena."

"Kami senang sekali mendengar kabar Nak Soobin sudah berganti pekerjaan yang lebih layak. Sekarang semakin sukses ya, Alhamdulillah."

"Bang Jun nggak pernah main Bun?"

"Dia sibuk sama kerjaan barunya. Istrinya kan juga baru melahirkan, besok kita kesana sama-sama ya."

Soobin tersenyum, hari itu Soobin, Dean dan Dena menginap di kampung halaman wanita yang mereka cintai. Meski kini sosoknya telah dileburkan waktu, bayangannya masih hangat memeluk mereka.

Soobin mencintai wanita itu, tapi juga membencinya. Dia tidak pernah menuruti perkataan Soobin, selalu egois pada pilihannya yang keras kepala. Membiarkan Soobin menderita sendirian, menghancurkan sosok lelaki tangguh menjadi lemah dan rapuh.

"Lo jahat banget,harusnya lo minta maaf dulu..." lirih Soobin dalam keheningan.

HAMADRYAD | Choi Soobin✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang