Prolog

111 15 15
                                    

[ focus on raffa ]

Anak lelaki itu berkendara sudah selama 15 menit. Menerobos dinginnya angin malam demi tujuan yang tak pasti. Tidak ia hiraukan suara klakson di sekitar, yang mungkin memperingatkannya untuk berhati-hati. Semakin jauh, suasana semakin sepi. Namun, suara di kepalanya justru semakin ramai. Pertama hanya suara berisik yang entah apa itu dan darimana asalnya. Berganti dengan canda tawa di meja makan saat makan malam. Kemudian, berganti kembali dengan omelan Papa ketika ia ketahuan membolos dua tahun lalu. Suara nasihat Papa setelah ia dimarahi untuk yang ke sekian kalinya akibat pulang terlalu malam. Sekarang terdengar jelas tangisan pilu Mama beberapa menit lalu. Merintih lemah di samping tubuh kaku sang Papa.

Raffa tentu juga menangis, hatinya sakit. Melihat mama yang begitu lemah terduduk di lantai yang dingin. Memeluk tubuh papa dengan harapan papa memeluknya kembali. Maka, dengan hati yang kacau, Raffa memilih menghindari tatapan prihatin dan tangisan lagi di tempat itu. Ketika teman-teman yang sebelumnya mengajaknya mengobrol dan bercanda tawa datang, ia malah pergi. Kabar bahwa papa telah berpulang sangat membuat anak itu terpukul.

Beberapa kali ia hampir bertabrakan dengan kendaraan lain, beberapa kali pula ia menghindari dan berakhir dicaci agar mengendarai motor dengan benar. Tujuannya benar-benar tak tentu arah. Pikirannya hanya: pergi, menjauh, jangan lihat keadaan di rumah, jangan menangis. Padahal, dia berhak. Hal normal menangisi kepergian seseorang. Apalagi ia sangat berarti di hidup kita.

Di bangku taman pinggir kota dirinya terduduk. Menahan diri untuk tidak menangis lagi. Karena sedari di atas motor tadi air matanya tidak berhenti jatuh. Berkali-kali ia mengatur nafasnya agar tidak sesak menahan tangis. Kemudian, suara beberapa motor terdengar berhenti di dekatnya terdiam. Ia tahu, teman-temannya pasti menyusul kesini.

Salah seorang teman menepuk pundaknya pelan, dipeluknya tubuh lelaki yang sedang hancur itu dengan tulus.

“Fa, lo mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan, jangan seolah lo jadi manusia paling kuat di dunia. Tumpahin sekarang, Fa. Lo berhak.”

Saat itu juga air matanya kembali jatuh lebih deras dari sebelumnya. Tapi ia benci, ia benci tatapan prihatin ini.

“Fa, lo ada kita di sini. Jangan sungkan buat ceritain apa yang lo rasa. Jangan sungkan buat nunjukin sisi terburuk lo sama kita. Lo, gue, kita semua, sama-sama orang biasa. Kata Dale tadi, jangan jadi orang sok kuat di saat lo memang lemah.” tambah yang lainnya.

Di malam itu, Raffa kehilangan sosok superhero yang selalu jadi panutannya. Yang selalu jadi pemimpin dalam keluarga. Yang selalu mendukung apa yang ia suka. Yang bangga akan hal-hal kecil yang Raffa lakukan. Yang dengan tulus memberikan segalanya untuknya–anak laki-laki bungsunya.

Tapi, di malam itu juga ia merasakan kehangatan yang begitu indah. Ia kembali sadar, bahwa masih banyak orang yang ada di sisinya. Bahwa masih banyak kebahagiaan yang harus ia jaga. Ketulusan yang harus ia hargai keberadaannya.

Raffa sadar, bukan hanya dirinya yang merasakan kesedihan mendalam. Mama, Kak Janu, Kak Jean, keluarga besar Papa, dan orang-orang yang juga kehilangan sosok seperti Papa.

Maka mulai hari ini, ia berjanji untuk selalu menjaga senyuman Mama nantinya. Juga senyuman orang-orang ini. Raffa janji, Raffa janji untuk jaga Mereka selalu.

 Raffa janji, Raffa janji untuk jaga Mereka selalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
blue jeans | jisungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang