Matahari

8 1 0
                                    

Diandra membanting belanjaan ke sofa bertepatan dengan keluarnya Vera dari kamar mandi bawah. Vera yang menyadari wajah dongkol Diandra seketika menarik lengan gadis itu dan mengajaknya bicara.

"Lo pasti berantem sama Theo ya", cecar Diandra tak sabar.

"Harus ya gue jelasin", balas Diandra acuh.

"Ya harus dong, perubahan mood lo ini udah kacau banget, Di. Pasti masalahnya gede nih"

"Tau ah gue mau keatas"

Diandra berlari ke tangga meninggalkan Vera dengan kening mengernyit penasaran. Tak lama kemudian muncullah si tersangka Theo dengan wajah berseri-seri. Sungguh sangat bertolak belakang dengan mood Diandra barusan.

"Bikin masalah apalagi sih ?", tanya Vera sebal.

Theo terkekeh geli seraya mengambil belanjaan di sofa. Ia melangkah ke ruang makan meninggalkan Vera. Vera yang makin penasaran seketika mengikuti langkah Theo.

"Berantem apalagi sih? Diandra nih kalo ngambek bikin kikuk suasana tau", omel Vera membuat Theo menghentikan kegiatannya mengeluarkan barang belanjaan ke meja dapur.

Theo menghela nafas sejenak sebelum menjawab, "Vera, lo nggak usah khawatir ya, se ngambek-ngambeknya Diandra, gue pasti bisa nanganin, lo tenang aja, mending sekarang lo bantuin gue beberes ya"

"Tetep aja Theo, tadi tuh muka Diandra bener bener dongkol banget tau nggak, gue aja sampe takut liatnya"

"Gini aja, lo bantu beberes belanjaan ini, terus ajak Stella sama Kirana masak dulu ya buat makan malam, gue mau urusin Diandra"

"Hmm oke oke. Inget ya jangan makin bikin dia emosi"

"Tenang aja Nyonya Edo, serahin semua sama gue, gue ahlinya"

Sepeninggal Theo, wajah Vera memerah, ia sangat tersipu mendengar sebutan "Nyonya Edo" yang baru saja disebutkan Theo padanya.

"Apaan sih, Nyonya Edo, ceileh", celetuk Vera sambil senyum-senyum malu.

***

Pintu itu diketuk berulang kali oleh Theo, tapi tetap saja tak ada tanggapan dari Diandra. Semakin keras Theo mengetuk pintu itu, semakin malas pula Diandra membukanya.

"Di, buka bentar aja, please, ya buka ya, Sayang", Theo masih sangat berusaha membuat Diandra membukakan pintu untuknya, namun Diandra tetap bersikukuh.

"Ya udah kalo gitu aku tunggu di bawah ya, makan malam ya, Di"

Diandra tetap tak berkutik dari posisinya, ia tetap bersandar di kasur. "Terserah", katanya acuh.

Sejam berlalu, hari sudah malam, Diandra mulai merasa lapar, perutnya serasa memekik meminta haknya untuk segera diberikan.

"Tengsin banget gue turun, ih tapi gimana lagi nih perut susah banget sih diajak kompromi"

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Diandra memilih turun ke ruang makan. Ternyata semua orang sudah berkumpul, Diandra yang terakhir datang.

"Akhirnya Ibu Ningrat satu ini luluh juga", celetuk Gerry membuat seisi ruang melotot ke arahnya.

"Bisa diem nggak lo?", omel Vera membuat Gerry seketika terdiam.

"Sini, Di. Yuk makan dulu",ajak Stella membuat Diandra menurut.

Tak beberapa lama tiba-tiba ponsel Diandra berdering, "Halo, Ma?"

"Di...", panggil Mamanya sambil terisak.

"Ma kenapa ma ?"

"Oma masuk RS"

***

Tidak ada yang menyangka kepergian Oma begitu cepat. Serangan jantung yang menimpa Oma seperti mimpi buruk bagi Ratih, Diandra dan Edo. Oma yang rasanya baru kemarin bercanda tawa dengan mereka kini harus menghadap Sang Kholik lebih dulu. Setelah pemakaman, tak ada yang mampu membendung tangis Ratih, Diandra bahkan Edo. Mereka bertiga pun kemudian hanya melamun memandangi kuburan Oma. Ratih yang kerap memeluk erat batu nisan itu membuat Diandra histeris. Ia tak menyangka Oma secepat itu meninggalkan mereka.

"Ada banyak tamu di rumah, mari pulang dulu nggih, Mbak", ajak Bik Suri lirih, pembantu Oma yang sudah puluhan tahun melayani majikannya itu.

Mereka pun memutuskan pulang. Disambut para tamu yang sudah menanti kedatangan Ratih untuk menyampaikan rasa duka cita. Usai menemani mamanya menemui para tamu, Diandra memilih ke belakang, ia melangkah ke taman yang sedari kecil menjadi tempatnya bermain dengan Oma. Memori itu terus berputar di otaknya dan kembali membuat gadis itu sesenggukan. Tak lama, Theo duduk di sebelah Diandra. Ia menyodorkan beberapa lembar tissue pada gadis di sebelahnya itu. Setelah itu Theo tak bersuara, ia hanya terdiam dan memandangi Diandra. Tak berucap sepatah katapun, seperti membiarkan Diandra fokus dengan tangisannya. Beberapa saat berlalu, ponsel Diandra berdering. Kemudian tampaklah teman-temannya di layar ponsel tersebut.

"Turut berduka cita ya, Di. Maaf ya kita gak bisa kesana", ucap Vera disusul anggukan teman-temannya yang lain.

"Yang tabah, Di. Oma udah tenang di surga", Stella pun ikut menimpali.

Sambil terisak Diandra menjawab ucapan teman-temannya itu, "Ma...makasih, maafin Oma ya"

Setelah vidcall dengan teman-temannya, Diandra menatap Theo. Tiba-tiba ia mengajak berbicara cowok di sebelahnya itu.

"Makasih, Theo", ucap Diandra lirih. Ia sungguh berterima kasih atas kunjungan Theo, bahkan Theo ikut membantu Diandra, Ratih dan Edo sejak di rumah sakit sampai pemakaman Oma.

Theo tersenyum, "Di", Theo menggenggam telapak tangan Diandra dan menatapnya dalam, "Pegang omongan aku, apapun nanti yang kamu alami, entah suka atau duka, aku janji akan selalu ada disamping kamu. Gunain aku buat apapun kebutuhan kamu. Karena kamu matahari buat aku. Aku nggak akan pernah biarin matahariku tenggelam sendirian"

Diandra tertegun, ia tidak menjawab. Ia hanya menatap Theo dengan datar. Sore itu pun menjadi jawaban bagi Theo bahwa se kaku apapun Diandra, dia tetap perempuan yang selayaknya perempuan. Berhati lembut, mempunyai sifat lemah di waktunya. Dan butuh sandaran ketika hal buruk menimpanya. []

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RIGIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang