Vote

34 4 0
                                    

Theo memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah Diandra. Perlahan cowok itu turun dari mobil, lalu ia sandarkan punggungnya di tubuh mobil merahnya itu. Ia tau jarum jam sudah menunjuk pukul dua dini hari, tapi karena sepulang dari kongkow, dia malas kembali ke apartemennya, jadi dia kesini. Sebenarnya sih ada alasan lain, dia sedang merasa kesepian dan tentu saja sangat merindukan Diandra.

"Diandra udah tidur belum ya. Ah pasti udah lah, jam dua gini",katanya berbicara pada diri sendiri.

Theo merogoh saku celananya, mengambil bungkus rokok disana. Diambilnya satu batang dan ia hidupkan. Theo sedang gelisah. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia harus berpikir keras bagaimana cara mendapatkan hati seorang gadis. Dia benar-benar heran dengan dirinya sendiri. Padahal Diandra hanyalah gadis sederhana yang tidak bisa dibandingkan dengan mantan-mantannya yang cantik-cantik dan stylish, tubuhnya tinggi kurus, kulitnya memang putih, tetapi penampilannya biasa saja. Kemeja kotak-kotak atau garis-garis yang menjadi pakaian kesehariannya, rambut panjang tak beraturan yang selalu digulung dan dijepit sekadarnya, sepatu converse putih yang talinya kerapkali lepas sebelah, dan tas ransel kecil yang biasa ia bawa kemana-mana. Ciri khas gadis itu terus saja menari-nari di fikiran Theo. Theo benar-benar tak habis pikir. Ada jutaan gadis yang jauh berada diatas Diandra dan tanpa diminta sudah pasti berebut mendapatkan hatinya. Tetapi, kenapa dia justru tertarik pada Diandra, yang begitu jengah melihatnya barang semenit saja.

Dulu, ketika masih suka gonta-ganti cewek, ia sangat mudah sekali meluluhkan hati para gadis, hanya dengan trik-trik romantis yang selalu jadi andalannya, hanya hitungan hari gadis-gadis itu akan bertekuk lutut di hadapan Theo. Tapi kenapa triknya sama sekali tidak mampu menggoyahkan hati Diandra ? Dia sampai rela bertindak aneh, menjatuhkan harga diri, demi Diandra yang sangat susah dijatuhkan. Diandra adalah gadis yang pertama kali mengacuhkannya, berkata ketus padanya dan menamparnya di tengah umum. Satu-satunya gadis yang pernah dan berani melakukan itu hanyalah Diandra.

Sejam berlalu, ia mulai merasakan kantuk yang menyerang perlahan. Ketika Theo hendak berbalik masuk ke mobil, matanya menangkap sesuatu. Lampu kamar atas dihidupkan. Theo yang penasaran, tetap berdiri mematung di tempatnya. Menunggu jawaban, siapakah kira-kira yang menghidupkan lampu itu.

"Apa itu Diandra ya? atau Edo? Atau....",belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Theo melihat jendela kamar itu dibuka lebar. Sosok Diandra muncul dari balik jendela. Wajah mengantuknya begitu jelas dari posisi Theo, karena gadis itu berulang kali menguap. Kemudian ia tampak duduk di kursi yang lokasinya tepat di depan jendela. Theo dapat melihat jelas, di depan kursi itu ada tumpukan buku yang menjulang. Pasti di depan kursi itu ada meja belajar, batin Theo. Cowok tersebut dapat melihat bagaimana Diandra mengambil buku itu satu- persatu lalu membukanya. Untungnya, Diandra tak mengetahui keberadaan Theo. Mungkin gadis itu terlalu sibuk dengan tugasnya, karena ia mulai menggerakkan jemari dengan pulpen. Theo jadi teringat saat dia bangun sepagi itu kala menjadi mahasiswa, demi meraih gelar cumlaude.

Setelah cukup lama memandangi gadis kecintaannya itu, Theo memasuki mobil.

"Hebat banget lo, Di. Bisa jadi obat kesepian, bisa jadi obat tidur juga. Jadi pengen gue bawa pulang. Untung aja gue masih punya iman.",gurau Theo pada dirinya sendiri yang kemudian melenggang pergi secara perlahan.

***

Pagi itu, seharusnya menjadi hari terdamai dalam hidup Diandra. Karena ia libur kuliah dan tak ada tugas yang menghantuinya, namun segala harapan itu sirna tatkala mamanya berteriak menyuruh anak gadis satu-satunya itu belanja ke supermarket dekat perumahan.

Diandra melangkah tak bersemangat menuju motor maticnya. Padahal, pagi ini dia sudah berencana tidur sampai nanti siang karena semalam dia begadang gara-gara tumpukan tugas dan deadline. Tapi musnah sudah rencana itu. Setelah memasukkan rentetan barang yang dituliskan mamanya pada kertas, Diandra memacu kakinya menuju kasir. Tiba-tiba seseorang menyerobot antriannya. Setelah ia menoleh untuk mengetahui orang yang sudah berani merecokinya itu, Diandra langsung membanting belanjaannya ke meja kasir dengan kesal, hingga membuat kasir supermarket itu shock.

"Lo lagi lo lagi, kapan sih lo nggak muncul di depan gue",gerutu Diandra spontan.

Theo tak menggubris kalimat Diandra, dan malah menghadap ke kasir seketika, "Mbak, kita berdua cocok nggak, Mbak?",tanya Theo sambil mengarahkan telunjuk pada Diandra dan dirinya untuk memberi simbol supaya kasir itu paham siapa yang dimaksud Theo.

Kasir itu sempat melongo mendengar pertanyaan Theo. Entah demi melegakan hati Theo atau memang berbicara jujur, si kasir mengangguk mengiyakan pertanyaan Theo seraya melempar senyum ramah.

"Total belanjaan saya berapa, Mbak?",tanya Theo pada kasir yang belum pulih dari kesadarannya karena pertanyaan aneh yang diajukan Theo tadi.

"Jadi totalnya 86.000, Mas.",ujar kasir setelah menghitung total belanjaan Theo. Theo membuka dompetnya lalu menyerahkan empat lembar seratus ribuan.

"Kembaliannya buat belanjaan pacar saya ya, Mbak. Oh iya, belanjaan ini hadiah buat Mbak, karena udah kasih vote buat saya tadi. Makasih ya",kata Theo sambil menyerahkan belanjaannya pada kasir. Setelah melempar senyum ramah, ia melenggang pergi, meninggalkan Diandra dan kasir yang sama-sama masih tercengang.

***

Sesampainya di depan rumah, Diandra kembali melihat Theo. Cowok itu tengah bersandar pada tubuh mobilnya dengan posisi yang amat keren di mata setiap wanita, kecuali Diandra. Ia masukkan kedua tangannya pada saku celana. Apalagi setelan yang ia kenakan sangat sesuai dengan tubuh gagah dan kulit putihnya. Tubuhnya, ia balut dengan kaos hitam polos dipadu celana jeans selutut. Sambil memasang senyumannya yang melelehkan, sepertinya tak akan ada perempuan yang mampu mengelak ajakan kencan cowok itu. Kecuali Diandra.

Theo menghampiri Diandra, lalu dengan sekali gerakan ia mengambil alih seluruh belanjaan gadis itu dan dibawanya ke dalam rumah Diandra.

Diandra yang mulai berang, lekas memarkirkan motor lalu tergesa-gesa melangkah masuk, hendak mencaci-maki cowok yang sudah semena-mena itu.

"Pagi, Tan",sapa Theo dengan senyuman hangatnya. Kemudian diletakkannya belanjaan itu di meja ruang tamu. Ratih yang sempat mengintip isi kresek tersebut mencecar Theo seketika.

"Pagi juga, Nak Theo. Loh, kok Nak Theo yang bawa belanjaan tante? Diandra mana?",cecar Ratih yang kemudian disusul kedatangan Diandra.

"Loh, Di? Kok belanjaannya Theo yang bawa?",kali ini pertanyaan itu jelas ditujukan pada Diandra. Namun, yang dilempar pertanyaan justru membisu. Diandra malah sibuk menujukan tatapan sinisnya pada Theo.

"Tan, saya sama Diandra cocok nggak?"

Ratih bingung dengan kalimat itu. Namun, ia mengangguk refleks meskipun pertanyaan Theo masih ia cerna maksutnya.

"Nah, ini hadiah buat Tante karena udah kasih vote. Makasih ya, Tan. Saya pamit dulu ya, Tan."

Theo mencium tangan Ratih untuk berpamitan, kemudian kembali lagi ia melontarkan rentetan kalimat yang membuat Diandra maupun Ratih terpaku seketika.

"Tan, saya minta tolong boleh?",Theo menjeda kalimatnya sejenak, lalu menatap Ratih dengan serius.

"Untuk hari ini, izinin Diandra istirahat dulu ya, Tan. Kalo tante mau minta tolong apapun, suruh saya aja, saya siap. Kasihan Diandra habis begadang ngerjain tugas soalnya, Tan. Ya udah gitu aja, permisi, Tan. Wassalamualaikum"

Theo melangkah pergi, tak lupa ia lempar senyuman hangat ketika melewati Diandra yang mematung di tempatnya.

"Di? Kamu jadian sama Theo ya?",tanya Ratih, sepeninggal anak muda yang baru saja membuatnya terheran-heran itu.

Diandra maju beberapa langkah hingga berdiri tepat di hadapan mamanya.

"Ma...",panggilnya dengan tatapan serius, "Kayaknya rumah kita disadap"

Ratih tercengang. []

Jangan lupa vommentnya ya :) Kalo di vomment, saya usahakan lanjutannya dipercepat :) ditunggu ya lanjutannya. Terima kasih.

Septa,
3 Juli 2017

RIGIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang