satu

32.6K 2.5K 71
                                    

KEHENINGAN mewarnai ruangan kepala divisi civil engineering siang ini. Ketika Rara lebih memilih memelototi kertas yang terbuka di atas meja kerjanya daripada mengobrol dengan Sabto, koleganya dari mechanical engineering.

"Awas! Jangan dipelototin terus kertasnya. Sobek, lho," Sabto berusaha mencairkan suasana, melihat betapa seriusnya gadis yang dia kenal sejak diterima menjadi pegawai baru di Track Construction ini.

"Aku nggak cuma pengen bikin kertas ini sobek, Sab. Kalau bisa malah keluar api dan kukirim langsung ke ruangan Pak Hilmy," balas Rara geram, menyebut nama kepala cabang di tempat mereka bekerja ini.

"Emangnya debus?" Sabto langsung ngakak.

"Pak Hilmy memang layak banget disantet, kok!" seru Rara berapi-api. "Nih orang waras nggak sih? Masa iya aku disuruh bertanggung jawab pada hasil estimsi biaya kosntruksi terbaru? Kayak jabatanku setara direksi aja. Bukan cuma itu, malah di surat ini disebutin kalau hasil revisi hitunganku itu bikin progres pekerjaan menurun. Ini nih tuduhan serius lho!"

"Kalau sampai dibikin surat resmi gitu, emang jatuhnya serius banget, Ra."

"Tuh, kan? Aneh, kan? Pak Hilmy yang menginstruksikan pengukuran ulang di lapangan. Pak Hilmy juga yang menginstruksikan untuk dihitung ulang berdasarkan hasil pengukuran terbaru. Kalau sekarang ternyata biaya konstruksinya jadi lebih mahal, kok jadi aku yang salah? Ini kan jadinya kayak orang belanja di supermarket. Pas ditotal ternyata belanjaan melebihi budget, yang disalahin kasirnya. Dasar orang gila!"

Sabto semakin terbahak-bahak. Jangan tanya bagaimana Rara kalau lagi senewen. Ngomel-ngomelnya judes tapi lucu.

"Emang sudah ditandatangani?" tanya Sabto heran. "Maksudku biaya konstruksi revisi itu. Mau dibikin kontrak ulang atau gimana?"

"Ya belum lah. Boro-boro. Itu baru draft. Belum resmi. Kronologinya itu, Pak Hilmy telepon aku aja, nanyain, Ra, estimasi biaya berdasarkan data ukur terbaru berapa? Ya aku bilang aja, estimasi biaya naik hampir enam ratus miliar, Pak. Udah. Eh, sekarang muncul surat kayak gini. Kan aku jadi beneran pengen cekek tuh orang!"

Hari ini Rara terlihat manis dalam seragam kerja abu-abu tua membalut tubuhnya yang ramping dan rambutnya yang sebahu diikat rapi di tengkuk. Setelah sembilan tahun Sabto mengenalnya, gadis itu seolah tidak berubah. Penampilannya masih sesederhana dulu. Sama sekali tidak menunjukkan jabatannya yang sudah cukup tinggi dan membawahi lebih dari dua puluh orang anak buah.

"Udah nuduhnya ngasal, eh sekarang pakai undang orang pusat segala. Asli, bikin gedeg! Maunya apa sih? Cari perkara banget deh Pak Hilmy kalau sampai mengundang orang-orang Jakarta. Apa dikira mereka itu bego? Orang pusat juga paham kali, kalau orang kayak aku nggak mungkin punya wewenang yang akan membuat progres pekerjaan nyungsep!"

"Masalahnya kamu yang ngitung semua biaya itu, Ra. Dan Pak Hilmy kaget, kok bisa biayanya membengkak. Bikin nilai progres pekerjaan kebanggaan beliau jadi nge-drop."

"Iyalah! Progres cuma tiga ratus miliar. Kalau diperhitungkan terhadap biaya awal emang lumayan. Tapi kalau pakai parameter biaya estimasi, tentu saja persentasenya jadi turun. Gimana sih, mikirnya Pak Hilmy ini?"

"Kali aja Pak Hilmy menganggap kamu salah hitung," kata Sabto.

"Salah hitung dari mananya, Om? Kalau hitunganku salah, artinya orang lapangan juga salah. Data kan dari mereka? Lagian yang namanya estimasi, ya belum fixed dong. Dasar sumbu pendek, belum apa-apa udah meledak!"

"Yah, begitu deh. Kamu kan tahu sendiri, gimana Bos kita ini."

Punya atasan ajaib seperti Pak Hilmy memang bikin hidup serasa naik roller coaster. Sekarang kita dilambungkan tinggi-tinggi, tunggu beberapa menit kemudian akan diempaskan ke titik terendah. Seperti nasib yang akan Rara hadapi. Dan rumor yang beredar menyebutkan, kalau Pak Hilmy sudah mulai mencari gara-gara dengan orang tertentu, artinya karier si orang yang bersangkutan akan segera berakhir. Se-gesrek itu memang orang nomor satu di Track Construction cabang tiga ini.

"Tapi kamu nggak khawatir kan, dengan risiko dipecat, Ra?"

Wajah Rara langsung mendung. "Nggak tahu, deh! Pak Hilmy berdosa banget kalau sampai pecat aku gara-gara urusan ini. Karena aku nggak salah," keluhnya, membayangkan masa depannya yang suram. "Semua urusan ini benar-benar nggak masuk akal!"

"Mau dibilang masuk akal apa nggak, tapi kenyataannya Pak Hilmy udah mengundang orang-orang dari kantor pusat, Ra. Dan mereka sedang dalam perjalanan ke sini. Tadi aku sempat ketemu driver yang berangkat ke bandara buat jemput mereka."

"Hih! Pak Hilmy nggak banget deh, cara mainnya. Ini sengaja menjebak aku! Dengan pemberitahuan mendadak kayak gini, rasanya aku kayak dijorokin suruh ngadepin orang pusat."

Sabto memandang Rara dengan iba. Melihat betapa tertekannya gadis ini. "Kamu tahu nggak, siapa saja orang pusat yang akan datang?"

Rara menggeleng. "Ada di lampiran surat pemberitahuan ini. Tapi aku belum baca."

"Orang-orang pusat sekarang semua orang baru. Setelah Track Construction dibeli keluarga Dhanubrata, manajemennya dirombak habis. Termasuk orang-orangnya."

"Iya, manajemen pusat yang dirombak. Di cabang kayak di sini kan, belum. Jadi kita masih memakai sistem lama yang mbulet nggak keruan semaunya Pak Hilmy."

Rara membalik kertas di hadapannya. Lalu keduanya membaca isi lampiran tersebut bersama-sama. Sabto terlalu fokus pada isi suratnya sehingga tidak menyadari perubahan ekspresi di wajah Rara.

"Kan? Orang baru semua. Nggak ada yang kenal," gumam pria itu sambil menunjuk pada tiga nama yang tertera di lampiran surat. "Pak Hilmy benar-benar serius kali ini, Ra. Jabatan orang-orang yang akan ke sini tidak main-main. Kamu harus benar-benar siap untuk ... Ra ... Rara ...," Sabto menoleh, menyadari gadis itu terdiam dengan cara yang tidak biasa.

Wajah Rara terlihat tegang.

"Kamu kenal mereka, Ra?"

Rara menarik napas panjang. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan daftar nama yang dimaksud oleh Sabto. Havez Alhamid, staf direktur keuangan dan legal, serta Heru Santoko, staf departemen infrastruktur wilayah timur, adalah nama biasa yang tidak terlalu berarti bagi Rara secara pribadi. Kecuali posisi mereka di perusahaan yang akan menentukan jenis jawaban apa yang akan diharapkan dari Rara nanti.

Namun nama ketiga, Rahman Hartala, direktur operasional infrastruktur Track Construction Pusat, membuat Rara tergelitik. Karena nama itu mengingatkannya pada seseorang. Mungkinkah ini orang yang sama, ataukah orang lain yang kebetulan memiliki nama yang sama dengan seseorang yang pernah dikenalnya?

Dan Rara lebih yakin pada opsi pertama. Karena komposisi nama Rahman Hartala sama uniknya dengan komposisi nama Asra Najah, namanya sendiri. Dan peluang bertemunya dua nama ini juga sama langkanya karena melibatkan probabilitas sejumlah 260 juta penduduk Indonesia dikuadratkan. Tetapi biasanya Tuhan memang punya rencana sendiri, bukan? Karena dulu, sebelas tahun yang lalu, kedua nama ini pernah bertemu.

Rara mengangguk ragu-ragu. Menunjuk ke nama pertama di dalam daftar itu. "Rahman Hartala. Kemungkinan besar ini adalah mantan dosenku. Sebab namanya sama."

"Jadi kalian sudah saling kenal?"

Aku nggak mungkin melupakan nama itu. Meskipun pria itu mungkin sudah lupa.

Sabto menatap Rara. Tetapi gadis itu berpaling dengan ekspresi galau yang telihat jelas di wajahnya. "Ra? Kenapa?"

Rara menggeleng. "Nggak tahu. Bisa jadi dia orang yang berbeda," jawabnya tak yakin.

Kalau benar ini Rahman Hartala yang 'itu', berarti kehidupan pria itu sekarang jauh lebih baik. Jabatannya sungguh tidak main-main di perusahaan multinasional sekelas Track Construtcion. Apalagi bila dibanding dulu, ketika pria itu hanya seorang dosen di PTN kota kecil. Dosen tampan idola para wanita, yang harus mengundurkan diri karena terlibat skandal dengan salah satu mahasiswi peserta kelasnya.

"Orangnya gimana, Ra? Baik apa nggak? Mungkin kamu bisa ...."

Bisa apa? pikir Rara sinis. "Aku sudah lupa," katanya berbohong.

***

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang