dua

14.5K 2.4K 68
                                    

SATU minggu sebelumnya, di kantor pusat Jakarta.

Rasa penat setelah perjalanan masih mendera tubuhnya, tetapi Rahman memaksa diri untuk hadir di kantor. Meskipun dia harus meninggalkan kenyamanan tempat tidur, serta hak cuti eksklusifnya. Bahkan sekretarisnya pun tidak mampu menyembunyikan ekspresi terkejut melihat kemunculan pria itu.

"Pagi!" sapa Rahman santai. "Ada hal menarik yang terjadi selama saya dinas lapangan?" tanyanya sambil berjalan menuju ruang pribadinya.

"Pagi, Pak! Saya pikir Pak Rahman mau istirahat dan tidak masuk kerja hari ini," sahut wanita yang menjadi bawahannya sejak dia bergabung di Track Construction ini. "Bukannya pesawat Pak Rahman baru landing dini hari tadi?"

Rahman hanya tersenyum sambil mengempaskan diri di kursi yang ada di belakang meja kerjanya. Lalu perhatian Rahman teralihkan oleh keberadaan sebundel laporan di atas meja. Dengan sticky note hijau mencolok tertempel di atasnya, yang berisi tulisan tangan Karnaka, sang direktur utama.

Ini dokumen penting, Man. Jangan pura-pura nggak lihat - K

Dengan enggan diambilnya laporan itu dan setelah beberapa detik keningnya berkerut. Kop suratnya menunjukkan dengan jelas identitas dokumen tersebut berasal dari Track Construction Cabang III, Proyek Tol Sindur Tahap I, Malang, Jawa Timur. Sialan! Rahman menggeram dengan sebal. Hanya ada dua kemungkinan kenapa sang direktur utama berusaha menggiringnya ikut campur urusan di Cabang III. Pertama, karena memang harus Rahman yang turun tangan. Kedua, karena Karnaka ingin membuatnya kesal. Bosnya paham sekali kalau Jawa Timur, terutama kota Malang, adalah daerah yang paling Rahman hindari.

"Pak," tahu-tahu sekretarisnya muncul di pintu. "Barusan sekretaris Pak Karnaka menyampaikan kalau Bapak ditunggu di ruangan Pak Dirut sekarang."

"Hm ...," Rahman mengangkat kepalanya dari laporan yang akan dibacanya. "Oke," sahutnya sambil bangkit dan berjalan menuju ke ruangan direktur utama. Begitu tiba di depan ruangan Karnaka, pria itu mengetuk pintunya yang terbuka, untuk mengabarkan kedatangannya.

Ketiga pria yang berkumpul di meja rapat yang terletak di salah satu sudut ruangan direktur utama itu spontan menoleh melihat kedatangan Rahman. Dari ekspresi mereka sudah terbayang seriusnya situasi yang dihadapi.

"Sindur, nih. Baca," Karnaka mengulurkan laporan begitu Rahman duduk di sebelahnya.

Rahman menerima dokumen yang salinannya baru dia baca di kantornya tadi. Dan fokusnya langsung tertuju pada diagram yang terpampang di bagian halaman yang terbuka. "Gimana ceritanya progres pekerjaan akumulatif bisa turun?" tanyanya pada Karnaka.

Havez dan Heru, dua pria lain yang hadir di ruangan itu tertawa pelan.

"Baru tahu dia," ejek Karnaka. "Keasyikan di Kerinci, sampai nggak update sama cabang tiga yang emang terkenal beda."

"Tapi kayak gini kan, nggak masuk akal? Ngawur! Kok bisa progres akumulatif turun?"

"Urusan dengan kantor cabang tiga emangnya ada yang masuk akal?" tanya Karnaka dengan kesal. "Kerjaan nggak beres, laporang nggak bisa dipercaya akurasinya, tiap bulan kirim progres bagus, tetapi cash flow nyungsep melulu. Jadi masih aja kantor pusat yang harus nombok untuk operasionalnya."

"Wajar. Warisan manajemen lama," komentar Heru. "Belum dapet pencerahan di sana."

Karnaka memijit kepalanya yang pening. "Cabang tiga paling susah ditembus. Mereka masih mengandalkan aturan lama karena Pak Hilmy menganggap penerapan manajemen baru akan menghambat pekerjaan proyek Sindur yang sedang on going. Jadi sengaja menunda emang."

"Alasannya pinter, ya? Kami di keuangan juga kesulitan meminta laporan dari mereka. Selama empat bulan saya pegang, setiap data yang dikirim selalu saja nggak bener," keluh Havez.

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang