sebelas

12.9K 2.4K 119
                                    

RARA memasuki ruangan civil engineering dengan perasaan campur aduk yang berusaha dia sembunyikan dari anak buahnya.

"Dari mana, Ra?" tanya Didonk, deputinya.

"Rapat sama Pak Hilmy," jawabnya. "Aku di ruangan, ya. Sementara tolong jangan ganggu. Bantu aku atur tim aja," katanya sambil memasuki ruangan pribadinya.

Dan di sinilah Rara sekarang. Duduk seperti patung di belakang meja kerjanya yang berantakan. Harga diri melarangnya menyesali apa yang sudah dia ucapkan di hadapan Pak Hilmy. Tetapi realita menamparnya dengan pertanyaan: Ra, kalau kamu beneran dipecat dan jadi pengangguran, lalu apa yang tersisa dari hidupmu? Gila kamu, Ra, kalau sampai mempertaruhkan karier hanya karena lepas kendali!

Ya Tuhan! Aku memang bodoh! Karena kalau dia sampai kehilangan pekerjaan sekarang, ini seperti mewujudkan ketakutan terbesarnya selama ini. Di usianya yang ketiga puluh tahun, karier telah menjadi bagian paling penting dalam hidup Rara. Di saat teman-teman sebayanya telah masuk ke fase kehidupan yang lebih kompleks dengan pernikahan, gadis itu justru hanya bisa menikah dengan pekerjaan. Tetapi mau bagaimana lagi? Bekerja adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan setelah usahanya mendapatkan pasangan selalu berujung kegagalan.

Berkali-kali Rara diingatkan bahwa bagi seorang perempuan, memiliki karier cemerlang bisa jadi penghalang untuk mendapatkan pasangan, karena akan semakin sulit untuk mencari calon yang sepadan. Rara setuju kok dengan stigma itu. Karena dia meyakini kalau dua orang yang berpasangan harus berada dalam satu frekuensi agar tidak timpang. Jadi wajar kalau perempuan seperti itu akan sulit mencari pasangan yang bisa menjadi partner dengan saling mengimbangi.

Status Rara memang membuatnya rentan pada rundungan tentang pasangan. Mungkin karena usianya dianggap kelewat matang untuk tetap melajang. Mungkin juga karena dia sudah bekerja selama sembilan tahun di salah satu perusahaan multinasional bonafide, sehingga membuat para cowok takut dan minder. Rara pernah membahasnya dengan Andy yang sekarang sudah menikah dan menjadi ayah dari seorang putri yang lucu.

"Kantormu itu sangar, Ra," komentar Andy. "Hanya dengar namanya saja sudah kebayang bidang kerjanya apa. Bayangin kamu yang udah biasa bekerja bersama pria, bikin para cowok jiper, tahu? Karena ntar kesannya malah cowoknya yang kamu lead, bukan cowok yang nge-lead kamu. Padahal kamu cewek."

"Lalu aku harus bagaimana, Ndy? Apakah aku harus menurunkan ability-ku agar mendapatkan pasangan? Apakah aku harus stuck di level biasa-biasa aja dan berhenti men-develop personality-ku, biar kalian para cowok tidak insecure dan cukup percaya diri untuk mendekatiku? Ha! Teori dari mana itu?" bantah Rara tidak terima.

"Tapi realitanya emang begitu, Jeng!"

"Aku paham kok dengan situasi pasar perjodohan. Masalahnya aku sendiri juga mulai terjebak dalam kondisi yang memaksaku untuk semakin selektif dalam memilih calon pasangan. Harus seimbang secara mental maupun finansial. Tidak mungkin dong, aku tertarik pada pria childish dan tidak mandiri. Dan kalau sudah nggak tertarik, bagaimana bisa menjalankan hubungan yang melibatkan asmara? Karena aku yakin percikannya aja nggak ada."

"Hati-hati Ra, kalau ngomongin finansial. Ntar kamu dibilang matre, lho."

"Ini bukan urusan matre. Tetapi memiliki sumber penghasilan yang jelas itu bisa digunakan untuk mengukur derajat tanggung jawab pria sebagai calon kepala keluarga. Aku berharap ideal ya, pasanganku ntar sesusia. Atau lebih tuaan dikit nggak apa-apa. Jadi aneh kan, kalau ada pria usia tiga puluhan yang belum mampu mencukupi basic need-nya sendiri?"

"Kok jadi ruwet sih, Ra?"

"Kalau nggak ruwet, aku nggak jadi jomlo kali! Lagian supply and demand buat perempuan seusiaku udah nggak imbang. Susah. Cowok-cowok seusia, kayak kamu, udah pada nikah dan punya anak."

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang