tujuh

12.2K 2.3K 103
                                    

RAHMAN Hartala masih setampan pria yang diingat Rara. Waktu sebelas tahun terbukti tidak melunturkan pesonanya.

Siang ini pria itu terlihat santai, menyandarkan punggung dengan rileks dan menumpangkan sebelah kaki di atas kakinya yang lain. Tetapi sepasang matanya yang bersinar tajam menatap Rara dengan serius. Membuat gadis itu harus berusaha keras agar tidak grogi, dan menjaga sikapnya tetap tenang serta meyakinkan.

"Sepertinya Pak Rahman sehat dan baik-baik saja," kata Rara, sopan dan formal.

"Seperti yang kamu lihat," Rahman mengedikkan bahunya. "Kamu pasti nggak nyangka kan, kalau kita ketemu lagi?" tanya pria itu sambil tersenyum tipis.

"Ternyata kalian sudah saling kenal," komentar Pak Hilmy kering.

Rara menoleh kepada pimpronya. "Saya dulu mahasiswanya Pak Rahman, Pak."

"Benar," sahut Rahman pendek tanpa mengalihkan pandangan dari sang kadiv.

Sialan, Pak! Jangan bikin saya mempermalukan diri dengan salah tingkah!

"Sendirian? Tim kamu nggak ikut?" tanya Rahman lagi.

Sebelum Rara sempat bereaksi, Pak Hilmy sudah menyela duluan. "Rara selalu datang sendiri. Timnya jarang diajak!"

Kalimat itu diucapkan bukan dengan nada bergurau. Ketika Rara menoleh pada atasannya itu, terlihat ekspresi jengkel di wajah Pak Hilmy. Sepertinya rapat kali ini memang tidak akan menyenangkan.

"Emang sengaja nggak diajak, atau gimana?" tanya Rahman tenang.

Tetapi Rara paham pada makna pancingan di balik pertanyaan itu. "Saya baru terima undangannya beberapa jam yang lalu. Tim saya sudah telanjur menyebar ke lapangan," Rara berusaha menjawab selogis mungkin agar tidak terkesan sekadar mencari alasan untuk pembenaran.

"Pasti Rini ini!" sahut Pak Hilmy jengkel. "Sudah dibilang untuk mengabari divisi civil engineering jauh-jauh hari!"

Salahkan saja semuanya, Pak! Seolah kita masih hidup di zaman batu yang nggak kenal teknologi HP aja! Ih, beneran Pak Hilmy nyebelinnya keterlaluan! "Kalau memerlukan kehadiran seluruh tim, akan saya panggil mereka sekarang juga. Nggak susah, kok," kata Rara menjaga intonasinya tetap datar untuk menyembunyikan gertakan kepada pimpronya.

"Nggak usah!" bentak Pak Hilmy. "Kelamaan!" tambahnya dengan kasar.

Hm .... Ada apa dengan emosi ini, Pak Hilmy? "Ya sudah, berarti kehadiran saya dianggap sudah cukup," Rara memutuskan tanpa basa-basai.

Rahman menunduk untuk menyembunyikan senyum yang tersungging di sudut bibirnya. Dari dulu, gadis ini selalu membuat perasaannya tergelitik. Sayang, kehadirannya bersama tim kali ini bukan untuk reuni. Tetapi menjadi mediator yang akan menjebatani perselisihan yang terjadi di cabang ini. Hanya dengan mengamati interaksi antara Rara dan Pak Hilmy, dan cara pimpro membentak kepala divisinya, Rahman bisa menyimpulkan betapa buruk pola komunikasi mereka. Juga indikasi tidak sehatnya hubungan kerja di antara mereka.

Kamu berada di sisi yang mana, Ra? Jangan bikin situasi menjadi sulit karena kamu salah memihak!

"Karena yang hadir sudah komplet, kita mulai saja," kata Rahman memutuskan.

"Bentar, Pak Rahman!" Havez menginterupsi dengan cengiran tengilnya yang khas. "Bukan hal penting sih. Tapi kasih dong, kami ini kesempatan buat kenalan sama cewek legend dari cabang tiga ini. Masa iya, jauh-jauh ke sini langsung meeting aja. Ya nggak, Asra?" Havez tertawa jail pada Rara yang memandangnya tanpa senyum. "Eh, bener kan, kalau gue panggil Asra? Gila, masih muda banget."

Rahman mencebik. Rara memang masih sesederhana dulu. Tetapi jauh lebih tegas. Istilah yang sengaja dia perhalus karena tidak tega menyebutnya judes. Dan gadis itu menanggapi gurauan Havez dengan lirikan tajam tanpa senyuman.

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang