Mata yang tak ikut dikubur

1 0 0
                                        

Aku berangkat dari rumah menuju Bandung pukul 6 pagi naik bus. Perjalanan dari rumahku ke Bandung memakan waktu tiga jam. Aku terus saja menangis mengingat Bena sudah meninggal. Aku terus memegang kertas tulisan alamat rumah Bena yang diberikan Mila kemarin.

Dari terminal, aku harus naik damri untuk sampai ke rumah Bena. Belum lagi aku masuk ke perumahan mewah yang membuatku pening melihat rumah – rumah yang besar. Alamat rumah Bena yang ditulis Mila : Jl. Karang I Blok 10/5. Aku terus berjalan menyusuri jalan. Tentu saja aku berjalan sembari kebingungan. Aku tak percaya harus mencari rumah Bena sejauh ini. Semula rumahnya hanya 2 kilometer dari rumah. Sekarang, jaraknya puluhan kilometer.

Setelah aku menyasar dan bertanya kepada orang yang kutemui di mana : Jl. Karang I Blok 10, akhirnya aku menemukannya. Aku menyusuri jalan menuju rumah Bena dengan perasaan campur aduk. Malu sekaligus sedih. Malu karena aku mau bersusah payah mencari rumah Bena. Sedih karena Bena sudah tak akan kutemui lagi.

Akhirnya aku sampai di depan rumah Bena. Aku tak memencet bel, tak mengucapkan kata 'permisi'. Hanya diam saja di depan pagar rumahnya. Aku merasa lelah dan putus asa. Sekitar 10 menit aku hanya diam saja. Sesekali aku melihat jalanan, melihat mobil dan motor berlalu-lalang. Tak lama kemudian, ada seorang perempuan berusia sekitar 50-an naik motor menuju rumah Bena.

Perempuan itu melihatku dengan tatapan curiga. Ia mengernyitkan dahi dan memicingkan mata. Aku langsung ciut melihat tatapannya.

"Cari siapa, mbak ?," tanya perempuan paruh baya itu.

"Apa benar ini rumahnya Bena, Bu ?," tanyaku dengan sopan.

"Iya ini rumah Bena. Saya Mamanya," jawabnya.

"Mbak temannya Bena ?," tanya Mama Bena.

"Iya Bu. Saya teman SD dan SMP-nya Bena," jawabku lagi.

Mama Bena mempersilakanku untuk masuk. Badanku menggigil ketika aku masuk ke rumahnya. Bukan karena rumah dia yang besar, tapi karena aku takut mamanya. Tadi saja aku ditatap dengan tatapan yang tak enak. Ia masuk sebentar ke dapur dan muncul lagi ke ruang tamu dengan membawa minuman sirup coco pandan dingin, setoples cookies coklat, dan sepiring bika ambon.

"Silakan mbak," ia mempersilakanku untuk mencicipi kudapan yang ia bawa. Aku mengangguk halus dengan senyum getir. Suasana yang  begitu canggung membuatku tak berani menatap mata Mama Bena. Ia adalah tipikal ibu - ibu tegas dengan sorot mata yang tajam. Rambutnya bergaya bob dengan rambut lurus. Aku beberapa kali menghela napas untuk menenangkan diriku sembari mempersiapkan diri untuk memperkenalkan diriku pada Mama Bena.

"Perkenalkan nama saya Fara, Bu. Saya turut berduka cita atas kepergian Bena. Maaf saya telat sekali mengetahui kepergian Bena," kataku. Mataku memerah. Ingin sekali aku menangis tapi kutahan. Mama Bena melihatku dengan terkejut.

"Fara ?," tanyanya.

"Iya, Bu. Nama saya Fara," jawabku. Air mata Mama Bena meleleh. Beberapa saat kami berdua hanya diam. Suasananya semakin canggung ketika aku mendengar isakan tangis Mama Bena.

"Kamu Fara teman SD-nya Bena ?,"

"Iya, Bu. Kami teman sekelas,"

Mama Bena beranjak dari tempat duduknya. Ia pergi ke dalam. Aku semakin bingung. Kenapa ia pergi ? Kenapa setelah aku bilang kalau aku teman sekelas Bena ia langsung pergi ? Perasaan sedih sekarang berubah menjadi rasa takut. Aku takut, Mama Bena tak suka dengan kedatanganku karena mengingatkannya pada Bena.

Mama Bena kembali dengan membawa sebuah buku tulis. Sesekali ia menyeka air matanya. Ia kembali duduk. Semula yang duduknya menjauh dariku, kini ia mendekatkan duduknya denganku hingga hampir tak ada jarak.

BENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang