Second (둘째)

57 13 0
                                    

"Yakk.. eomma ini suka marah-marah tapi tetap saja cantik, haishh.. mingyu pernah mengira eomma itu kakakku." Celoteh Jimin setelah melihat ibunya yang mengumpat tidak jelas.

"Andai eomma itu kakakku, mungkin Mingyu sudah melangkah ke depan meminang eomma", lanjutnya

"Aduh.. aduh.." Sontak Jieun menjewer kuping Jimin, "sudah sana, jangan melantur,bereskan barang-barangmu mu, ibu akan ke supermarket sebentar".

Jimin yang melihat ibunya perlahan menghilang dari balik pintu, lantas ia tahan. Jieun yang tersentak saat anaknya memegang tangannya menatap putranya bingung, matanya berkaca-kaca menatapnya seolah mencegahnya untuk pergi.

"Mulai besok aku sudah di Seoul, apa eomma tidak apa-apa?? Se-sebenarnya aku takut eomma kenapa-kenapa kalau aku pergi jauh."

Jieun membelalakkan matanya mendengar pertanyaan putranya yang tiba-tiba. Jujur, ia tak rela berjauhan dengan putra satu-satunya ini. Dengan banyak kekhawatiran dihatinya bisa membuatnya ragu melepas Jimin, namun ia tahu Jimin juga ingin seperti siswa pintar lainnya, belajar di sekolah elit dan mumpuni. Ia tak ingin larut dalam kesedihan, ia harus kuat demi anaknya. Perlahan ia tersenyum dan menjitak kepala Jimin.

"Aduhh eomma!!"

"Hehhh.. dasar anak cengeng, sejak kapan jadi dramatis begini. Kau pikir eomma akan bunuh diri kalau kau pergi?? Aishh.. eomma harus belanja banyak makanan untuk bekalmu di perjalanan besok, jangan menghambat, tunggu di rumah saja". Setelah mengatakan itu, Jieun segera pergi.

"Ck, aishh..menyesal sudah aku bertanya seperti itu." Umpat Jimin.

-

Pagi ini, Jimin telah tiba di Guro-gu, Seoul. Ia segera menuju alamat yang sudah tertera di undangan nya. Ternyata sudah ada petugas yang menyambut dan beberapa siswa pilihan pertukaran pelajar juga sedang mengantri di depannya. Kenapa ia lokal sendiri? Yups, siswa di sekitarnya ini berasal dari luar negeri.

Ia mendapat nomor 49 di lantai dua untuk kamar asramanya. Teman sekamarnya adalah kakak senior, namanya Jung Taemin. Setelah perkenalkan singkat, Jimin mampu berasumsi bahwa temannya ini adalah seseorang yang cuek dan pendiam.

-

Sore hari, Jimin memutuskan untuk jalan jalan ke sekitar tepi jalan Seoul sekedar memandang indahnya petang di sebuah ibukota. Seketika atensinya tertuju pada sebuah perkelahian di gang sepi tepi jalan. Dengan rasa iba, ia nekad menarik seorang lelaki yang akan dilayangkan kayu balok ke kepalanya oleh beberapa gerombolan pemuda. Salah seorang kawanan tersebut emosi pasalnya lemparan kayunya meleset akibat targetnya ditarik oleh seseorang. Dengan rasa tidak terima ia mulai mengambil ancang-ancang untuk menghajar sang pelaku. Jimin sedikit panik, karena merasa dirinya mulai dikepung beberapa orang tersebut. Satu sosok yang ia waspadai telah memajukan langkahnya, tatapannya sangat tajam, rahangnya tegas, giginya menyerngit sambil mengumpat padanya.

"Kurang ajar kau bocah, coba coba jadi pahlawan kesiangan hah?". Ucapnya tengil

Jimin hanya menunjukkan smirknya. Mereka mulai beradu tatap. Setelahnya sebuah bogeman yang hampir menyapa mukanya ia tangkis dengan dua tangannya. Merasa ada perlawanan dari sang pelaku, Jimin semakin memperkuat pertahanannya. Temannya yang lain pun ikut turun tangan menghajar jimin dari belakang. Dengan sigapnya ia menghindar. Naas, lengannya memar  setelah mendapat pukulan besar dari salah satu kawanan tersebut yang tak dapat ia elak satu persatu. Sebelum perkelahian itu berlanjut, sirene polisi mengagetkan mereka. Gerombolan itu mulai pergi meninggalkan jimin.

"Bangunlah, kau tak apa? luka di wajahmu sangat parah?"

"Ahh gwenchana, terima kasih sebelumnya, tapi kau salah jika kau menolongku, mereka akan mengganggumu"

Treason [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang