Pertemuan

11 0 0
                                    

Di bawah langit Desember, salju menyentuh tanah London. Membawa dingin yang menembus rusuk. Tak satupun orang yang tengah berjalan kaki di Green Lane tak mengenakan pakaian tebal. Mantel, shall, sarung tangan, kaos kaki sudah menjadi pakaian khas mereka di tengah hawa dingin yang berusaha menembus kulit. Termasuk Zidan yang juga tengah mengenakan pakaian tebal sebagai penghalang hawa dingin menyelubungi dirinya. Setelah memarkirkan mobil, pemuda itu memacu kedua kakinya menuju restoran yang sedari tadi sudah membayanginya. Beberapa langkah lagi ia akan sampai pada tempat yang ditujunya. Laju kaki jenjangnya semakin cepat, semangatnya menggebu-gebu dan raut wajahnya berbinar-binar. Bahagianya bukan main, bak seseorang yang baru saja menang lotre. Sepanjang perjalanan dari Seven Sister hingga Green Lane, tak henti-hentinya ia berucap "Masha Allah" sebagai ungkapan kagum luar biasa dengan karunia Tuhan. Ia masih tak menyangka dirinya akan dipertemukan kembali dengan seseorang yang amat berharga baginya. Bahkan dengan jarak sedekat ini, sebab Selale Restaurant, tempat sosok yang dikenalinya itu bekerja, tak seberapa jauh dari kediamannya di Seven Sister.

Sambil merapatkan letak mantelnya, Zidan memasuki restoran yang menghidangkan masakan halal khas Turki, Timur Tengah dan Mediterania tersebut. Dilemparnya pandang ke sekeliling ruangan, namun tak ia temukan sosok yang dikenalinya. Refleks ia merogoh saku mantel dan dihubungilah sosok yang sangat ingin ia temui itu. Tak ada jawaban. Kembali lagi ia mengulangi, namun tetap tak ada respons. Ketika hendak menghubungi untuk yang ketiga kalinya, seseorang menepuknya dari belakang. Benar saja, sosok itu justru berdiri menjulang membelakanginya.

"Assalamualaikum"

"Astagfirullahaladzim, kupikir kau tak bekerja, Rus. Kupikir kau kenapa-napa. sampai aku bersuudzon",ucap Zidan yang sedari tadi cemas.

"Bukannya jawab salamku...",belum usai Rusdi melontarkan seluruh kalimatnya, Zidan sudah memeluk dirinya dengan erat. Melepas rindu yang sudah menumpuk di lubuk hatinya. Ia tidak menyangka akan dipertemukan kembali dengan sahabatnya ini.

"Dan, Zidan... renggangkanlah sedikit, tak bisa nafas aku ini",ujar Rusdi lirih dengan logat Minangnya.

"Hahaha, maaf maaf, terlalu rindu aku",timpal Zidan seraya melepaskan rengkuhannya.

"Ah apa-apaan kau ini, tau lah aku, tapi tak usah keras-keras begitu, bisa salah faham orang-orang disini, dikira homo nanti kita",dalih Rusdi membuat Zidan sontak tertawa.

"Haha, ini yang tak pernah kutemukan disini. Kelucuan kau",Zidan berlalu menuju sudut restoran yang menjadi tempat pilihannya setiap kali ia hendak makan di restoran manapun.

"Maksud perkataan kau apa, Dan?",kembali lagi Rusdi mencecar Zidan.

"Rus, ini bukan Indonesia, sekalipun aku mau bilang cinta pada kau tak akan ada yang tau artinya kan"

"Jangan begitu, kau tak tau pengalamanku. Hari pertama aku menginjakkan kaki di London, aku sempat merutuk seseorang di bandara karena menyebalkan minta ampun. Eh rupanya dia keturunan Indonesia, dia faham bahasaku. Sampai bertengkar aku dengannya"

"Haha, sialmu saja itu, Rus. Lalu bagaimana endingnya?",Zidan selalu bersemangat mendengar cerita Rusdi yang ia tau persis setiap kali Rusdi bercerita, pasti akan membuatnya tertawa.

"Untung ada yang melerai"

"Siapa?"

"Calon istriku lah"

"Serius? Kau sudah punya calon?"

"Punya"

"Siapa?"

NoorahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang