Perjalanan

568 18 4
                                    

Prolog

Aku kembali Ali. aku merindukanmu. gumamku dalam hati ketika duduk di sebuah tempat di mana untuk kali pertama mata kami bertemu.

———

"Kamu masih suka menangis?"
"Masih.. Terutama ketika aku sedang mendoakan dia"
"Kamu doain Ali?"
Aku mengiyakan, memang benar, semenjak perpisahan itu aku malah dengan rutin mendoakan Ali.
"Kamu doain dia apa?"
"Apa pun untuk bahagianya dia."
"Kamu hebat"
"Enggak.." Jawabku dengan suara yang tenang. "Ketika kamu mencintai seseorang, maka kebahagiaan seseorang yang kamu cintai akan lebih berarti dibandingkan dengan bahagianya saat masih bersama kamu. Doakan dia, sekali pun aku tahu di hari-hari bahagianya saat ini, namaku sudah terhapus penuh.." aku tersenyum selagi mengucapkan kalimat tersebut.

Aku rindu kamu, Ali namun bersumpah jika mencintaimu, mengharapkanmu kembali, sudah tidak ada di daftar inginku.

1.
Perjalanan

Waktu telah berjalan cukup lama sampai akhirnya aku kembali membuka catatan lama. Yang kupikir ceritanya telah selesai. Meski ternyata tidak pernah benar-benar selesai. Aku masih duduk di sini, di tempat yang sama dan kali ini mulai menangis. Ada kesedihan yang begitu menusuk. Ada hal-hal yang akhirnya membawaku ke tempat yang sama. Perasaan yang kupunya, gagal diaminkan oleh mereka yang kuanggap mampu menerima segala kekuranganku. Mereka yang datang dan menjadi pengisi, pada akhirnya tidak pernah benar-benar menetap. Rasanya menetap pada keyakinan untuk menyendiri dalam waktu yang cukup lama adalah sebaik-baiknya pilihan.
Kali ini aku akan melanjutkan perjalanan. Mungkin sendirian, mungkin juga dengan beberapa teman. Namun kupastikan jika nantinya aku memang hanya akan kembali dengan diriku sendiri. Mati tidak membawa teman. Iya, mantra itu melulu kuulang; entah untuk sekadar menyenangkan diri sendiri atau memang kenyataannya begitu.

Jakarta, 2019.

"Memang sulit banget ya?" aku meneguk secangkir air dingin yang sudah kutuang berulang kali sehabis kelelahan keliling Jakarta dengan Fahira, sahabatku sedari SMA. pertanyaan barusan pun datang dari bibirnya yang memang terlalu polos.
"Susah apa?"
"Ngelupain Ali?" sial, kenapa harus sebut namanya dengan suara lantang? Batinku. Aku menggeleng. "Aku pun nggak ada niat mau melupakan" kini gantian Fahira yang geleng-geleng.
"Sialan. Terus daritadi aku nemenin kamu itu dengan tujuan apa? Mengenang ceritamu sama si Ali?" kali ini aku tertawa mendengar Fahira menyebut kata sialan.
"Nggak... itu, ya aku memang mau cari bahan aja untuk tulisan baru"
"Dengan keliling jakarta, bengong dan senyum-senyum sendiri? Yang kupikir itu caramu untuk move on, ternyata salah?"
"Iya dan enggak.."
"Tiga tahun tuh nggak cukup ya, Kay?"
Aku melemparkan tubuhku dengan santai ke atas kasur kost Fahira yang penuh dengan bantal-bantal besar warna hitam. Harapanku sudah terbang jauh sekali. Mungkin saat ini sudah kembali hinggap di kota Jogja, atau di mana entahlah aku sudah tidak mau mencari tahu lebih jauh. Hari ini aku kembali mengingat moment-moment yang pernah aku lewati bersama dia. Seseorang yang membuatku menjadi selemah ini.
"Aku nggak pernah berniat untuk menyimpan dia selamanya kok. Tapi entah kenapa. Ke mana pun aku pergi, dengan siapa pun aku jalan, pikiranku pada akhirnya hanya bisa kembali ke dia. Meski ya, aku sadar kalau dengan menjadi bodoh begini, keadaan akan tetap begini. Jarak akan tetap ada dan untuk kembali sama dia sudah nggak mungkin" aku menghelakan napas. Menyilangkan kedua tanganku ke atas dada dan mencoba untuk memasang senyum paling tulus yang pernah kuukir.
"I forgive you, Ali. i forgive you, myself" ini mantraku yang lainnya. Sekuat itu rasanya; aku butuh segenap ketulusan untuk benar-benar bisa memaafkan atas apa yang pernah aku rasakan.
"Kamu sadar nggak sih, dengan begini kamu hanya bikin Ali tuh semakin kuat di sana? Dia punya kamu yang selalu bersedia mendoakan dia, sayang sama dia. Sementara di sana? Apa dia merasakan dan melakukan hal yang sama? Ali itu laki-laki dewasa. Dia nggak mungkin buang waktu hanya untuk nunggu kamu"
"Pun aku nggak mau ditunggu sama Ali, Ra." jawabku dengan lemas dan yakin. Aku tidak ingin kembali sama Ali, aku hanya senang hidup dengan caraku yang begini.
"Ra, aku sayang dan cinta sama Ali. tapi dengan keadaan kita yang begini aku sudah merasa cukup. Aku bisa melakukan banyak hal yang bahkan diluar dugaan, yang dipandang hebat oleh siapa pun, itu karena luka yang pernah dikasih Ali. aku bisa menjadi kuat dan menguatkan, itu karena ceritaku sama Ali. hanya karena aku masih menyebut namanya, mencintai dia, bukan berarti aku mau dia kembali ke dalam hidupku"
Fahira diam. Wajahnya yang polos malah menguarkan senyum yang penuh dengan segan. "Maafin aku ya Kay. aku cuma mau kamu bahagia dan nggak lagi mikirin Ali"
"Aku sudah bahagia. Lebih bahagia dari saat kita masih bersama, Ra. aku bahagia bisa menjadi aku yang sekarang" aku menjawab dengan nada tenang. Rasanya memang sulit untuk menjelaskan tentang apa yang aku rasakan terhadap siapa pun. Aku hanya gemar menyimpan dan mengulang ceritanya. Namun dalam nyata, aku sudah menutup buku, percayalah.
"Kamu nggak usah khawatir kalau aku akan menjadi gila karena Ali. temanmu yang satu ini, Kayana Larasati, bisa punya kekuatan super, menulis sebanyak apa pun, karena pernah punya Ali di dalam hidupnya. Kalau saat ini aku masih sendiri, percayalah kalau ini memang mauku. Bisa jadi ini sudah diatur sama Tuhan, bukan karena aku masih berharap Ali kembali"
Aku paham betul jika banyak dari teman, kerabat yang khawatir sebab hingga hari ini aku masih saja sendiri. Mereka menganggap jika yang kulakukan saat ini karena luka yang diberikan oleh Ali. adalah Ali seseorang yang menjadi jembatan dalam membentuk aku yang saat ini dilihat hebat oleh beberapa mata yang melihat. Ada ketakutan tersendiri ketika sampai hari ini masih saja menyebut namanya. Lebih parah lagi, aku masih saja menceritakan tentang Ali dan segala luka-luka yang ia berikan; yang kuanggap telah menghebatkan aku yang sempat lemah perkara cinta.
"Kay, janji tapi ya dalam waktu dekat kamu harus punya pacar baru?" Fahira memandangku dengan wajahnya yang memelas. Aku tidak habis pikir kenapa sampai ia melakukan itu. Apakah di matanya dan yang lainnya, aku terlihat begitu mengenaskan atau bagaimana? entahlah.
"Kenapa aku harus buru-buru punya pacar?"
"Supaya kamu move on. Supaya kamu sembuh"
Aku tertawa kecil. Membalikkan badan sehingga wajahku menyentuh bantal, lagi-lagi menghelakan napas dan menggenggam jemariku dengan erat.
"Untuk sembuh dan selesai mencintai seseorang itu nggak harus dengan punya pasangan baru. Aku malah kasihan sama mereka yang kujadikan jembatan untuk aku sembuh. Lebih baik aku sendiri dulu.. Nggak tau sampai kapan. Aku lebih mau jalin hubungan sama diriku sendiri sebelum memulai hubungan dengan orang lain" aku tersenyum. Kuyakin yang mengatakan itu adalah sisi terbaik dan paling tulus dari dalam diriku. Selama beberapa tahun belakangan, aku seperti mempunyai dua sisi. Satu di antaranya selalu mengaku lemah dan kalah sementara yang satunya selalu mengaku menang dan mampu untuk menjadi kuat; menopang beban-beban yang ada.
"Bisa-bisanya kamu sembuh tanpa pacar baru..."
"Cara orang menyembuhkan luka memang berbeda-beda, Ra. mungkin caraku ya dengan sendiri, mencintai aku dulu"
"Kalau aku sih mesti punya pacar, atau seengaknya gebetan baru" Celetuk Fahira, ia yang memang jarang melajang meski baru putus.
"Hmm ya mungkin aku akan sampai ke sana pada akhirnya... tapi untuk saat ini. Sendiri dulu"
"Iya, Kay. asal kamu nggak menjadi gila setelahnya"
"Hmm liat aja nanti Ra"
Kami berdua tertawa. Fahira itu salah satu sahabatku di SMA. sebenarnya aku tidak punya banyak sahabat selagi di sekolah. Aku, Fahira dan Kirana adalah tiga orang aneh yang pada akhirnya memutuskan untuk menjadi sahabat. Kirana masih menetap di Jogja, mengurus kafe dan pacar-pacar bulenya, sementara Fahira, beruntung dapat diterima di salah satu Bank BUMN di Jakarta, Kota. dan aku, Kayana Larasati, saat ini sedang menikmati duniaku yang masih sama semenjak tiga tahun silam. Aku masih menulis, dan beruntung bisa dipanggil sebagai seorang Penulis. Hari ini aku telah menerbitkan tiga buku saja dan di antaranya adalah kisahku dengan Ali, yang dengan gila dan sengaja memang kuberi judul "ALI" buku yang bahkan ia tidak pernah baca namun pada akhirnya mampu mengubah perasaannya. Ia sudah membenciku semenjak buku itu diterbitkan. Ini sudah tahun ketiga semenjak perpisahanku dengan Ali. sudah banyak kisah yang dilewati dan salah satunya adalah kembalinya ia ke dalam hidupku namun hanya untuk sekadar memaki, tidak lebih dari itu. Dan terhitung hari ini, aku akan menceritakan tentang perjalananku yang semenjak kehilangannya, kehilangan Ali.

Kayana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang