Jogjakarta, 2017.
Bagian satu: Mata Pisau.
Tidak pernah dalam hidup biasanya aku mendapatkan apa-apa yang telah disemogakan. Semua hal yang kuharapkan biasanya hadir, berbanding terbalik dengan nyata. Meski yang tidak kuharapkan, tidak melulu tentang keburukan. Banyak hal baik berdatangan meski tak pernah kususun dalam agendaku. Salah satunya adalah bertemunya aku dengan seseorang yang pada akhirnya mampu menjadi sebuah lampu; cahaya besar yang menuntun aku untuk menemukan apa, siapa yang disebut "Aku" seseorang yang dalam nyata dan imajiku begitu sempurna. Ia adalah sosok yang begitu indah bila dipandang mata, suaranya menggemaskan serta peluknya menenangkan. Aku bertemu dengannya, hari ini dan taukah kau jika meski baru satu hari menemui matanya, aku sudah duluan jatuh cinta? Mohon jangan disalahkan.
Jogjakarta berhasil menjadi pelarianku untuk menulis dan mewujudkan impian. Entah apakah mimpiku terlalu sederhana atau memang ternyata hal-hal baik tidak melulu bicara tentang kemewahan dan apa yang tak dapat dijangkau dari jarak yang dekat. Aku pernah bermimpi untuk memiliki kedai kopi, tapi, hari ini masih sebatas bekerja dengan orang lain. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan yang sudah kuidamkan sedari masih duduk di bangku sekolah. Sebatas menjadi seorang barista di kedai kopi miliki Paman dari sahabatku selagi SMA, Kirana. Sebenarnya menjadi barista bukanlah pekerjaan utama. Tentu ada tujuan lain mengapa aku bisa sampai ke Jogjakarta, aku ingin menemui penerbit yang akan menerbitkan buku pertamaku. Sebuah buku yang telah kutulisa dengan kehati-hatian, sebuah buku yang sedikit banyak menceritakan tentang betapa aku telah mencintai seseorang yang salah. Seorang perempuan yang mencintai idolanya dengan keterlaluan, bukan kehaluan yang terjadi sebab perempuan tersebut berhasil dipeluk oleh lelaki yang kebetulan adalah penyanyi kesukaannya. Sebuah buku yang kuberi judul "Diandra" akhirnya bisa terbit dalam hitungan minggu.
Menjadi penulis adalah pekerjaan yang tidak terlalu mudah, sebab aku mesti menunggu beberapa bulan, kuterka hampir satu tahun untuk mendapatkan hasil dari penjualan satu buku. Memang waktu yang dibutuhkan begitu lama, belum lagi proses penulisan itu sendiri, maka, sedih hati ini jika kerap mendengar pembajakan buku yang terjadi di mana-mana. Meski menjadi seorang penulis adalah tantangan tersendiri, aku tetap menjalani profesi tersebut, meski harus jauh dari Mama yang menetap di Jakarta bersama Kakak perempuanku satu-satunya. Semenjak lulus kuliah aku selalu rutin menulis meski belum memiliki kepastian, entah apakah nantinya aku akan benar-benar menjadi seorang penulis atau sekadar seniman yang menulis tanpa membuatnya menjadi sesuatu yang komersil. Tak dipungkiri jika aku mengharapkan sesuatu atau bahkan banyak keuntungan dari pekerjaan ini, namun, untuk saat ini aku sudah merasa cukup dengan apa-apa yang kupunya meski harus dengan cara yang begitu sederhana.
Lengkap dengan apron warna coklat tua dan kemeja putih oversized, aku mengawali hari sebagai seorang barista dengan bekal pengetahuan yang tidak terlalu banyak. Di Jogja, aku ingin menjadi seseorang yang banyak belajar, sebab hal-hal mau pun orang yang bermanfaat tidak dihasilkan melalui satu dua malam. Kedai kopi Paman Jos ini belum terlalu ramai dikunjungi, beliau baru membuka kedai ini satu bulan yang lalu. Aku ke sini hanya dengan wawancara yang tidak memakan waktu, Paman Jos sempat heran mengapa aku ingin bekerja sebagai barista selagi dibekali ijazah strata satu jurusan Sastra Indonesia. Tak apa, aku ingin menjadi aku yang seada-adanya di sini, aku ingin realistis dan idealis secara bersamaan dan aku akan melakukan sampai nantinya bisa menghasilkan yang terbaik. ucapku. Saat itu juga dengan yakin Paman Jos menyuruhku untuk datang esoknya, bekerja secara langsung dan bertemu dengan barista yang lebih pengalaman, Adimas, namanya. "Jadi barista, pelayan, bekerja sama orang lain yang paling penting itu tingkah laku yang baik. Harus apik sama pelanggan, bahasa mudahnya, sopan. Kalau mau seenaknya, buat perusahaan sendiri aja" Kata Paman Joss sembari tersenyum lebar, aku pun mengaminkan perkataannya.
Pagi ini, ketika sedang berkaca aku seperti dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang kutebak tingginya hampir dua meter, atau bila tidak setinggi itu, setidaknya ia jauh lebih tinggi dari aku. Ia mengenakan pakaian santai, kaus warna biru terang dan celana jogger warna abu yang terlihat sangat bagus jika dipadukan dengan kulitnya yang begitu putih dan bersih. Seseorang yang biasa kupanggil "bule" ah, maaf jika menjadi kasar dengan menyebut panggilan tersebut. "Hi, There" ia menyapa dan berhasil membuatku salah tingkah. Dari raut wajahnya kutebak ia adalah keturunan Timur Tengah, atau, Latin? entah mengapa belakangan aku lebih suka menebak daripada bertanya, mencari tahu secara langsung. "Hello, just come and have a sit" jawabku dengan bahasa inggrisku yang seadanya. Ia menjawab dengan anggukan yang cukup canggung sambil setengah tersenyum. Tanpa sengaja aku mendapati sepasang matanya yang berwarna coklat kehitaman, sepasang mata yang begitu menusuk, sepasang mata yang lebih mirip dari ujung pisau; tajam. Begitu mudah aku tersipu meski pada seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya. Lelaki berparas tampan itu meninggalkan aku yang masih terpaku, aku berada persis di depan cermin yang berada di antara toilet perempuan dan lelaki. Kulihat wajahku yang tidak begitu putih, merona, rasanya begitu aneh.
Begitu sampai di bar, Adimas, lelaki berparas mirip orang Batak dengan rahang yang tegas dan rambut sebahu yang dikuncir dengan asal, memintaku untuk mengantar pesanan meja paling ujung, yang begitu kuperhatikan ternyata itu adalah meja di pemilik mata pisau. dengan hati-hati aku menghampirinya sembari membawa satu gelas besar es kopi hitam, yang sebelumnya tidak pernah aku melihat ada yang memesan kopi hitam dengan gelas yang cukup besar. "Ini sengaja dibedakan gini ya Dim gelasnya?" tanyaku penasaran. "Iya Kayana. Sudah langganan dia, lumayan dapet pelanggan setia meski baru satu bulan kedai ini buka" Tambah Adimas lagi sembari sibuk dengan cangkir-cangkir antik Paman Jos. Setibanya aku di meja lelaki tersebut, ia tersenyum begitu aku menaruh segelas besar es kopi hitam kepunyaannya. Kemudian dengan tiba-tiba ia memintaku untuk menyebutkan nama. Kayana. Jawabku tersipu. Terima kasih sudah tanya. Kemudian ia memperkenalkan dirinya sendiri. "Saya Ali, sudah sering ke sini. Semoga kamu nyaman bekerja di sini. Would love to know more about you" aku tersenyum lagi. Sepertinya di saat-saat seperti ini yang bisa kulakukan hanyalah tersenyum penuh. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal, sepertinya aku sudah pernah melihat Ali. mungkinkah ia lelaki yang tadi malam kulihat ada di Malioboro?
"Ali? Tadi malam kamu ada di Malioboro?" suaraku cukup kecil untuk dapat dimengerti oleh Ali yang sepertinya masih terbata-bata dalam menangkap gaya bahasa kami. "Sorry, apa itu tadi?" sepertinya tidak begitu penting, kalaupun memang Ali, biarkanlah. Aku tidak ingin berlama-lama berhadapan dengannya sebab aku tidak begitu paham akan apa yang ia ucapkan. Dengan yang satu bahasa saja aku enggan bicara lebih banyak, apalagi dengan Ali? "No, its okay. Tapi, kamu mengerti bahasa kan?" tanyaku memastikan. "Bisa. tapi harus jelas ngomongnya. Saya sudah tiga tahun di sini" ia mulai menyesap es kopi hitam buatan Adimas. Baiklah, sekarang saatnya aku bergegas. Ok, Ali, nice to meet you. Baru beberapa langkah menuju bar, Ali memanggilku lagi. "Kayana" suaranya terdengar parau dan menggelitik secara bersamaan. Sebelumnya aku tidak pernah tahu kalau namaku bisa terdengar lucu saat diucapkan oleh seseorang. "Ya?" aku membalikkan badan, sedikit lebih dekat dengan meja Ali. "Boleh saya tau nomer telepon kamu?" seketika hatiku berdebar cukup kencang. Ini aneh. Baru kali pertama bertemu tapi ia sudah berani dalam bertindak, ia meminta nomer teleponku di hari pertama kita bertemu. Ia bahkan baru tahu namaku. Satu hal yang kubenci dari diri ini adalah aku yang begitu banyak menerka, aku tak mudah menaruh percaya kepada siapa pun apalagi Ali adalah seseorang yang baru untukku, bahkan ia terlalu asing untuk sekadar menjadi seorang teman. Dalam kepalaku seketika ada dua pilihan, haruskah aku mengulur waktu ataukah langsung mengiyakan permintaan lelaki pemilik sepasang mata pisau ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kayana
RomancePerjalanan panjang yang telah dilalui pada akhirnya berhasil membawaku ke tempat yang sama. aku telah dan sudah usai dalam mempertahankan rasa meski demi Tuhan, sampai kapan pun aku akan selalu mengulang ceritanya. teruntuk yang telah menghebatkanku...