BAGIAN 1

236 8 0
                                    

Desa Kahuripan yang biasanya tenang dan damai, mendadak saja berubah menjadi sebuah desa yang sunyi dan mencekam. Hal itu terjadi ketika secara berturut-turut, para penduduknya menemukan mayat yang berasal dari desa itu sendiri. Setiap mayat yang ditemukan, dalam keadaan membiru dengan darah meleleh dari mulut.
Maka tak heran, bila malam tiba para penduduk sudah mengunci pintu dan jendela rumah masing-masing. Mereka takut kalau-kalau menjadi korban berikutnya dari pembunuh yang belum jelas siapa.
Desa yang telah berubah menjadi desa mati bila malam tiba itu, makin bertambah seram ketika hujan mengguyur seperti dituangkan dari langit.
Seperti juga malam ini. Hujan yang turun bagai tak ingin menyisakan air setitik pun dari langit. Itu pun masih ditambah deras angin basah yang sesekali bertiup kencang, lalu perlahan-lahan melambat.
Di tengah terpaan angin dan hujan, ternyata masih ada satu sosok yang tengah berlarian menerabas kegelapan malam. Sosok yang kira-kira berusia dua puluh tahun ini berlari seperti hendak membelah desa ini menjadi dua bagian. Deru napasnya turun naik, ditingkahi debar jantungnya yang kian cepat.
"Hujan berengsek! Dari tadi saja aku pulang! Beginilah kalau keasyikan ngobrol dengan gadis cantik! Sampai tak ingat pulang!" rutuk pemuda itu dalam hati.
"Aauuung...!"
Suara rutukan pemuda itu disahuti oleh lolongan serigala di kejauhan. Mendengar suara itu, jantung pemuda itu berhenti berdetak. Larinya makin dipercepat, namun kakinya terasa berat untuk diajak melangkah. Keringat dingin mulai bercucuran di tubuhnya. Padahal, saat itu hujan turun makin lebat!
"Sialan! Keparat! Kenapa aku jadi begini...?!" dengus pemuda ini.
Belum puas pemuda itu mengumpat, mendadak...
"Aduh...! Tolong..., dingin!"
Tiba-tiba terdengar suara rintihan kedinginan dari samping kanan. Cepat pemuda itu menghentikan gerakannya, seraya mencari-cari.
"Itu suara seorang wanita! Hiiiyyy.... Jangan-jangan, suara kuntilanak yang sedang mencari mangsa?!" pikir pemuda itu.
"Hhh, tolong! Aku bisa mati kedinginan! Tolonglah aku!" kembali terdengar suara.
"Mustahil di dunia ini ada hantu! Aku tidak percaya! Lagi pula itu jelas-jelas suara seorang wanita minta tolong. Aku harus melihatnya. Siapa tahu, dia wanita desa yang kemalaman seperti aku!"
Rupanya pemuda itu memiliki sedikit kepandaian ilmu olah kanuragan. Seketika tubuhnya berkelebat ke arah suara wanita yang didengarnya. Sebentar saja, pemuda itu telah tiba di bawah pohon rindang. Dan dia melihat seorang gadis cantik sedang menggigil kedinginan. Dihampirinya gadis itu dengan hati berdebar. Lalu diperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kedua kakinya menyentuh tanah. Jelas, dia manusia biasa. Bukan makhluk jejadian!" pikir pemuda itu.
"Hhh! Dingin! Tolong aku, Kisanak! Tubuhku terasa kaku!" ujar gadis itu dengan tubuh menggigil.
"Siapa kau, Nisanak. Kemana tujuanmu?! Dan mengapa bisa berada di tempat ini?!" tanya pemuda itu perlahan.
"Aku Kumala.... Tujuan Desa Jatiragas. Tetapi aku kemalaman dan kehujanan di tempat ini! Aku berteduh di bawah pohon besar ini, namun hujan semakin besar dan tidak mau berhenti!" ujar gadis cantik yang mengaku bernama Kumala.
"Hm.... Namaku Barep. Oh, ya.... Apa yang dapat kulakukan untuk menolongmu, Nisanak?!" tanya pemuda yang ternyata bernama Barep.
"Tolong ambilkan daun pisang. Lalu kita cari tempat berteduh yang lebih baik untuk dapat berlindung dari air hujan ini," ujar Kumala.
Tanpa pikir panjang lagi, Barep pergi mencari daun pisang. Tak begitu jauh, sehingga sebentar saja dia telah kembali dengan membawa daun pisang di tangan. Lalu mereka pergi mencari tempat yang terlindung dari air hujan. Kebetulan tak jauh dari tempat itu, ada gua yang cukup lebar untuk berteduh. Keduanya segera masuk ke dalam. Mungkin gua itu bekas tempat tinggal binatang liar, sehingga banyak daun dan ranting-ranting kering. Untuk menghangatkan diri, Barep segera membuat perapian. Sehingga sesaat saja tempat itu telah terasa agak panas.
"Tolong balikkan badanmu, Barep!"
Pemuda itu tahu, Kumala hendak membuka pakaian dan mengeringkannya dekat api. Rupanya gadis itu hendak membuka pakaian dan mengeringkan. Walaupun tidak melihat, tetapi Barep adalah laki-laki bujangan yang waras kejantanannya.
Sehingga tanpa terasa, wajahnya jadi memerah. Tubuhnya terasa panas, disertai debaran jantung yang terasa berdetak keras. Gejolak hati Barep tidak dapat ditahan lagi. Lalu secara sembunyi, matanya melirik ke belakang. Seketika darahnya terasa bergolak hebat, melihat Kumala tengah berdiri bagaikan patung lilin tanpa cacat sedikit pun.
"Pakaianmu sendiri basah, Barep. Apakah kau tidak berniat mengerikannya? Nanti kau bisa sakit. Keringkanlah dulu, baru kau pakai lagi!" kata Kumala, seolah menggoda kelaki-lakian Barep.
Sebentar Barep melengak kaget, dengan napas memburu kencang. Perasaannya bagai tersirap saat itu juga. Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya.
Pemuda itu menuruti saja permintaan Kumala. Dan ketika tubuhnya berbalik gadis itu masih berdiri seperti patung lilin tanpa benang sehelaipun. Di tengah jilatan cahaya api unggun Kumala jadi semakin cantik.
Bagaikan tersihir, kedua insan berlainan jenis yang sudah sama-sama tanpa benang sehelai pun saling mendekat. Dan..., selanjutnya hanya dinding batu di tempat itu yang tahu apa yang terjadi. Yang jelas hanya deru napas memburu saja yang terdengar, bagaikan orang habis berlari jarak jauh. Namun....
"Aaa...!"
Beberapa saat kemudian, terdengarlah teriakan Barep yang menyayat dan mendirikan bulu roma. Sementara, hujan masih terus turun dengan lebatnya. Karena derasnya hujan, teriakan itu tidak ada yang mendengar, lenyap bagai ditelan kegelapan malam.

165. Pendekar Rajawali Sakti : Wanita IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang