BAGIAN 7

110 8 0
                                    

Saat ini, Kumala alias Nenek Ayuning memang berusaha menyusun kekuatan untuk menguasai rimba persilatan, dengan mengumpulkan orang-orang berkepandaian tinggi yang berhasil dipengaruhi lewat aji 'Rangsang Jiwa'.
Di samping itu Nenek Ayuning juga menginginkan pemuda-pemuda untuk dijadikan pemuas nafsu iblisnya. Setelah puas, pemuda-pemuda itu biasanya dibunuh. Namun jika ada pemuda yang mempunyai ilmu olah kanuragan wanita iblis itu tidak membunuhnya, melainkan akan dijadikan pengawalnya. Seperti apa yang terjadi terhadap Anjasmara.
Seperti biasanya, saat ini Iblis Kembar ditugaskan Nenek Ayuning untuk mencari pemuda-pemuda desa. Dengan langkah mantap, kedua orang itu memasuki mulut Desa Picung. Sebentar mereka menghentikan langkah, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Setelah berpandangan sejenak, mereka melanjutkan langkah. Namun baru beberapa tindak memasuki mulut desa itu....
"Mau ke mana kalian, Iblis Keparat..?! Kali ini, jangan harap dapat meloloskan diri lagi!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, membuat Iblis Kembar tersentak kaget. Begitu mereka berbalik, tampak tiga orang berusia cukup tua telah berdiri mantap di depan. Yang seorang membawa alat pancing. Sedang dua lainnya masing-masing membawa cangkul dan gergaji panjang. Ya, mereka Ki Langser yang berjuluk si Tukang Pancing, Ki Jembawan yang berjuluk si Petani, dan Ki Katem-bong yang berjuluk si Tukang Tebang Pohon.
"Keparat! Kiranya kau lagi, Ki Lengser! Walaupun kali ini kau membawa dua temanmu, jangan harap kami takut!" hardik Layang Seto.
"Hm.... Kalian sudah besar kepala rupanya, setelah jadi begundal si Ayuning. Baiklah. Terimalah ini, tikus-tikus busuk. Hiaaat..!"
Tiga orang tua itu agaknya tidak mau banyak mulut lagi. Dengan teriakan menggeledek, Ki Lengser menerjang. Serangannya itu diikuti si Jembawan yang bersenjatakan cangkul. Sedangkan saat ini, Ki Katembong alias si Tukang Tebang Pohon belum bertindak apa-apa.
Sementara itu Iblis Kembar kelihatannya tidak mau kalah gertak. Bahkan Layang Kumitir sudah membabatkan senjata gada berduri, untuk menahan laju serangan Ki Jembawan.
Trang! Trang!
Terjadi benturan keras ketika senjata masing-masing bertemu. Kedua orang itu tergetar mundur, namun segera mempersiapkan serangan berikut.
Sementara itu senjata alat pancing Ki Lengser telah meluncurkan tali pancingnya yang berujung kail besar tajam luar biasa. Layang Seto berusaha berkelit dengan melompat ke sana kemari. Namun tali pancing itu seperti bermata. Sehingga....
Crap!
"Aaakh...!" Kali ini ujung mata kail Ki Lengser tepat menancap di telinga Layang Seto, menimbulkan rasa sakit bukan main. Apalagi ketika Ki Lengser menarik kailnya, membuat telinga itu robek.
"Bangsat!" Setelah berteriak keras, Layang Seto menerjang Ki Lengser dengan senjata gada berdurinya. Namun sebelum serangannya mendekat, dari samping melesat sesosok tubuh yang langsung menyelak memapak dengan senjata gergaji. Ya, dia adalah Ki Katembong.
Trang!
Kedua senjata mereka berkali-kali bertemu. Dan setiap kali itu pula keduanya terdorong mundur. Saat itu pula pertarungan sengit terjadi.
"Katembong! Jangan biarkan mereka lolos lagi! Kekejaman mereka berdua melebihi iblis!" teriak Ki Lengser.
Sementara itu sambil melompat ke atas, Layang Kumitir menghantam gada ke arah kepala si Petani.
Terpaksa Ki Jembawan menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah, guna menghindari serangan. Tetapi, senjata gada berduri itu terus memburunya. Si Tukang Pancing melihat Ki Jembawan dalam bahaya, segera melecutkan tali pancingnya kearah tenggorokan Layang Kumitir.
"Hiaaa...!"
"Uts!" Terpaksa Layang Kumitir mengelakkan serangan dengan melenting ke samping kiri dan kanan. Namun memang itu yang diinginkan Ki Lengser. Sekali sentak, tali pancing yang lentur mencari sasaran.
Wut...!
Crap!
"Aaakh...!" Sungguh di luar dugaan, mata kail itu terus mengejar dan mendapatkan sasaran di bibir Layang Kumitir.
Layang Kumitir ingin berteriak tetapi tidak bisa. Karena baik bibir atas maupun bawah terkait mata pancing. Dan ketika tali pancing itu ditarik, terpaksa dia ikut meloncat agar bibirnya tidak sampai sobek.
Tentu saja laki-laki itu kini jadi permaian Ki Lengser. Ketika si Tukang Pancing mengebutkan senjatanya ke sana kemari, tubuh Layang Kumitir terpaksa mengikutinya. Bisa dibayangkan betapa sakitnya dipermainkan seperti itu.
Karena gerakannya terbatas, Layang Kumitir tidak bisa mengatur keadaannya. Ketika serangan gergaji milik Ki Katembong tiba, dia tidak dapat mengelakkannya. Dan....
Bret!
"Aaakh...!" Punggung Layang Kumitir kontan tersabet gergaji. Akibatnya baju dengan daging turut terbawa. Dan belum sempat berbuat sesuatu, gergaji itu telah menghantam dadanya kembali.
Cras!
"Aaakh...!" Dengan menggerung murka, Layang Kumitir menerjang Ki Katembong. Tetapi sebelum serangannya sampai, Ki Lengser kembali menarik tali kailnya.
"Heaaat!"
Sambil berteriak keras, Layang Kumitir berontak sekuat tenaga. Akibatnya sobeklah bibirnya. Namun laki-laki itu tak peduli, segera diterjangnya Ki Katembong. Tapi pada saat yang sama gergaji yang bergerigi tajam telah mengantam lehernya.
Jrasss...!
Blug!
Tanpa dapat berteriak kembali, Layang Kumitir ambruk dengan leher putus. Darah kontan menyembur dari bekas lukanya.
Kini, tinggal Layang Seto yang tengah bertanding melawan Ki Jembawan, petani yang bersenjata cangkul. Pada saat itu, Ki Lengser dan Ki Katembong ikut pula membantu Ki Jembawan. Tentu saja hal ini membuat kening Layang Seto berkerut, karena dia khawatir terhadap keselamatan saudaranya. Maka secepat kilat matanya melirik ke arah tadi Layang Kumitir bertarung.
Betapa terkejutnya Layang Seto melihat Layang Kumitir telah tewas dengan leher buntung. Mendapat kenyataan ini, hati Layang Seto kontan terkejut. Perhatiannya terpecah. Dengan demikian, ini sangat merugikan dirinya. Apalagi, kini dikeroyok tiga. Senjatanya hanya dapat menangkis dan membendung serangan yang datangnya bagaikan air bah.
Pada satu kesempatan tali pancing yang ulet dan kuat milik Ki Lengser berhasil melibat tubuh Layang Seto. Semakin dia bergerak, tali itu jadi semakin kuat mengikatnya. Rupanya Ki Lengser telah menyalurkan tenaga dalam pada tali pancing itu.
"Sheaaat!"
"Haaat!"
Sementara senjata cangkul milik Ki Jembawan dan gergaji milik Ki Katembong sudah bergulung-gulung, menerjang ke arah Layang Seto. Dengan mati-matian, Layang Seto berusaha menendang kedua lawannya. Tetapi sekali membalikkan senjata, cangkul itu berhasil menghantam tulang keringnya. Sedangkan gergajinya sudah merobek perutnya.
"Aaa...!" Dengan sekuat tenaga. Layang Seto meronta ke atas. Tetapi sekali sentak, Ki Lengser berhasil membanting Layang Seto.
Bruk!
Pada saat itulah, kedua senjata Ki Jembawan dan Ki Katembong meluncur.
"Hiaaat...!"
"Terimalah kematianmu, Iblis Keji! Heaaat...!" teriak Ki Katembong dan Ki Jembawan seraya mengangkat senjatanya.
Grot!
Crot!
"Wuaaa!"
Tidak ampun lagi, tubuh Layang Seto dirancah senjata-senjata tokoh-tokoh tua itu, hingga tak berbentuk lagi. Matanya mendelik hampir keluar dari kelopaknya. Dadanya terkoyak-koyak. Darah segar mengalir dari sekujur tubuhnya. Setelah berkelejotan sejenak, Layang Seto diam untuk selama-lamanya.
Baru saja tiga tokoh itu berbalik hendak pergi mendadak...
"Jangan pergi begitu saja, orang tua-orang tua keparat! Orang-orang yang kalian bunuh itu sahabatku!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, membuat Ki Lengser, Ki Jembawan, dan Ki Katembong tersentak kaget. Mereka langsung berbalik.
Di depan mereka kini berdiri seorang pemuda tampan berkumis tipis dengan senjata kapak bermata dua di tangan. Memang, dia tak lain adalah Anjasmara!
"Siapa kau, Bocah?!" bentak Ki Katembong.
"Aku Anjasmara yang akan membalas atas kematian dua temanku!" sahut Anjasmara, kalem.
Mendapat jawaban itu, Ki Katembong mengerutkan alisnya. Pandangannya berubah mengeras. Seketika dikirimkannya serangan pembuka pada Anjasmara.
Sepertinya Anjasmara tidak menggubris serangan itu. Baru ketika serangan dekat, dua jarinya bergerak hendak menotok pergelangan tangan Ki Katembong. Cepat bagai kilat orang tua itu menarik pulang serangannya.
Kemudian Ki Katembong berusaha mencengkeram tangan pemuda itu. Dan bersamaan dengan itu, kakinya menyapu bagian bawah.
"Haaas!"
Dengan beberapa kali menggeser kaki, serangan itu berhasil dihindari Anjasmara. Kejadian itu hanya terjadi dalam sekejapan mata. Kini keduanya telah berhadapan kembali. Keduanya sama-sama mengagumi kepandaian satu sama lain.
"Hebat kau, Bocah! Pantas kau berani jual lagak di hadapanku. Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian yang bisa diandalkan!" kata si Tukang Tebang Pohon, sambil menatap tajam Anjasmara.
"Hm! Itu baru sebagian kecil saja, Orang Tua! Sekarang, bersiaplah untuk menerima serangan ku yang sesungguhnya!"
"Keparat! Bocah sombong! Heaaat...!" Disertai bentakan nyaring, Ki Katembong langsung menyabetkan gergajinya.
Namun dengan berjumpalitan di udara Anjasmara berhasil mengelakkan serangan. Bahkan balas menyerang dengan pukulan jarak jauhnya begitu kakinya mendarat. Debu dan dedaunan, beterbangan ke segala penjuru akibat tenaga dalam yang luar biasa.
"Aiiit!" Dengan cepat, si Tukang Tebang Pohon menghentakkan tangannya yang bebas disertai tenaga dalam penuh.
Blarrr...!
Begitu terjadi benturan tenaga dalam, Ki Katembong cepat mengelebatkan gergajinya. Pertarungan semakin lama jadi bertambah sengit.
Sementara itu melihat Ki Katembong belum juga berhasil menjatuhkan pemuda itu, Ki Lengser dan Ki Jembawan mulai ikut menyerang. Ketika pertarungan telah menginjak beberapa jurus, pemuda itu belum berhasil didesak. Bahkan, secara mengejutkan kapak di tangan Anjasmara berhasil melukai Ki Jembawan.
Cras!
"Aaakh...!"
Kapak maut pemuda itu benar-benar tangguh dan sulit diterka, ke mana tujuan serangannya. Mereka sebenarnya merasa malu mengeroyok seorang pemuda. Tetapi mengingat kekejaman dan ilmu silat yang dimiliki pemuda itu sangat tinggi, terpaksa mereka melupakan hal itu. Ketika Ki Jembawan menghantamkan cangkulnya, Anjasmara menangkis dengan kapaknya.
Trang!
Bersamaan dengan itu, tangan kiri pemuda itu menghantam dada Ki Jembawan dengan telak.
Des!
"Aaakh...!" Kontan orang tua itu terlempar beberapa tengkah disertai keluhan tertahan. Karena begitu kuat tenaga dalam yang disalurkan pemuda itu, membuat Ki Jembawan yang terbanting keras tak bangun-bangun lagi.
"Hiaaat...!" Ki Lengser segera menyerang dengan alat pancingnya. Mata kailnya yang tajam berseliweran mencari mangsa.
Namun dengan sigap, pemuda itu mengebut-ngebutkan kapaknya, menghalau serangan.
"Ciat!"
Trang! Trang!
Berkali-kali, senjata mereka bertemu. Setiap kali senjatanya terpapak, Ki Lengser merasakan tangannya kesemutan. Segera dia sadar kalau tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi. Maka sebisanya dia berusaha menghindari benturan senjata.
"Heaaat...!" Tiba-tiba, disertai teriakan menggeledek, Anjasmara menerjang Ki Katembong. Serangannya dahsyat bukan main, saling susul tidak ada hentinya.
Menghadapi serangan ini, orang tua itu berjumpalitan mundur sambil menjauhi Anjasmara yang melancarkan serangan tipuan, tiba-tiba berbalik dan menerjang ke arah Ki Lengser dengan sabetan kapaknya. Karena tidak menduga, akibatnya....
Cras!
"Aaa...!"
Tangan orang tua itu kontan terbabat putus. Tetapi pada saat yang bersamaan, kakinya berhasil menendang pundak Anjasmara. Memang, itulah yang diharapkan pemuda itu. Maka dengan cepat ditangkapnya kaki Ki Lengser. Kemudian kapaknya berkelebat dengan cepat. Dan....
Cras! Cras!
"Wuaeyaaa!"
Kedua kaki Ki Lengser langsung terbabat putus sebatas lutut. Dan tubuhnya ambruk ke tanah dalam keadaan menyedihkan. Tetapi Anjasmara masih kurang puas. Dengan sekali loncat, kakinya jatuh di atas perut Ki Lengser.
Krek!
"Aaakh...!" Orang tua itu kontan binasa dengan isi perut hancur. Darah meleleh dari seluruh panca inderanya. Kejadian ini hanya berlangsung sekejap. Bahkan Ki Katembong baru menyadarinya tanpa berbuat sesuatu.
"Bangsat! Kubunuh kau, Bocah Siluman!" maki si Tukang Tebang Pohon sengit.
Saat itu juga Ki Katembong meluruk sambil mengebutkan gergaji di tangannya. Terdengar suara bersiutan dari gergaji yang mencari mangsa. Tetapi semua gerakannya tidak terkendali lagi. Itu disebabkan, karena dendamnya sudah meluap.
Tentu saja Anjasmara jadi girang. Agaknya orang tua itu lupa kalau tindakannya sangat merugikan.
"Ciaaat!"
"Haiiit!"
Lima belas jurus berikutnya, Ki Katembong mulai terdesak. Jatuhnya orang tua itu tinggal rnenunggu waktu saja. Dan baru saja serangannya luput, Anjasmara sudah cepat membabatkan kapaknya ke perut.
Cras!
"Aaakh...!" Ki Katembong menjerit menyayat begitu kapak Anjasmara membabat perutnya. Tubuhnya kontan membungkuk dengan tangan kiri membekap lukanya yang mengucurkan darah.
Pada saat yang demikian, Anjasmara cepat melemparkan kapaknya ke arah kepala Ki Katembong disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Chiaaa...!"
Wut!
Begitu cepat kapak itu meluncur Dan....
Crap!
"Aaakh...!" Disertai jerit kematian, tubuh Ki Katembong ambruk begitu kapak Anjasmara mendarat di batok kepalanya.

***

165. Pendekar Rajawali Sakti : Wanita IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang