Waktu terus bergulir. Matahari telah terbenam, dan kegelapan pun mulai menyeruak. Di depan rumah Nyi Sekar, tampak telah berdiri sosok tubuh.
"Nyi Sekar, keluar kau! Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" bentak sosok itu garang.
Tidak lama, Nyi Sekar muncul di ambang pintu disertai senyum.
"Ada apa berteriak-teriak diluar rumah orang, Bajingan Gunung Merapi?!" dengus Nyi Sekar.
"Kau tahu akibat perbuatanmu, he?!" hardik laki-laki berkumis tipis yang tak lain memang Bajingan Gunung Merapi sambil melangkah mendekati.
"Perbuatan apa yang kau maksud?"
"Kau telah meracuni guruku! Untuk itu, kau akan mati di tanganku!"
Bajingan Gunung Merapi bermaksud melompat menyerang tapi saat itu juga berkelebat satu sosok bayangan dan mendarat di samping Nyi Sekar. Satu sosok yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Masih ingat padaku, Sobat?"
"Huh! Bagaimana mungkin aku bisa melupakan wajahmu yang busuk!" dengus Bajingan Gunung Merapi. "Pantas saja wanita itu berani, rupanya ada kau di belakangnya."
"Kau salah! Dia yang justru berada di belakangku. Ketahuilah, gurumu terbunuh olehku!" kata Rangga, langsung memanas-manasi.
"Huh! Omong kosong apa lagi yang hendak kau ceritakan? Guruku tidak mungkin terbunuh oleh orang sepertimu!" sangkal Bajingan Gunung Merapi.
"Kau kira siapa yang menyebar cerita itu? Akulah yang membunuhnya! Kepalanya kutebas dan jantungnya kukorek lalu kumakan!" ejek Rangga lagi makin memanas-manasi.
Bajingan Gunung Merapi mendengus geram. Kalau saja belum merasakan kehebatan Pendekar Rajawali Sakti mungkin sudah sejak tadi diterjangnya. Tapi untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Kenapa? Kau mulai takut mati, he?! Atau barangkali mau coba-coba kabur dengan cara seperti dulu? Silakan coba. Dan kau akan mampus lebih cepat!"
"Kalau kau mau tahu, aku justru tengah memikirkan dengan cara apa sebaiknya kau kukirim ke neraka!" sahut Bajingan Gunung Merapi, mencoba mengusir rasa kegentarannya.
"Silakan saja, Kisanak!" tantang Rangga.
"Heaaa...!" Tiba-tiba saja Bajingan Gunung Merapi mencabut kerisnya, lalu menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Sring!
Pendekar Rajawali Sakti tidak mau kalah sigap. Langsung dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti untuk menangkis serangan.
Trang! Trang..!
"Uhhh...!" Bajingan Gunung Merapi mengeluh tertahan, begitu terjadi benturan senjata. Tangannya terasa gemetar sampai ke ulu hati. Dan berikutnya ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti sudah mengurungnya, meski dia berusaha menghindar.
"Hiyaaa...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendadak melenting ke atas. Begitu tubuhnya meluruk kembali, Rangga cepat menyambarkan pedangnya ke arah leher.
Trang!
Bajingan Gunung Merapi masih sempat menangkis. Bahkan saat Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan susulan lewat tendangan menggeledek, dia masih mampu berkelit, Tapi, tiba-riba ujung pedang Rangga berkelebat menyambar ke arah dada. Begitu cepat serangan ini, sehingga...
Cras!
"Aaakh...!" Bajingan Gunung Merapi yang tadi mencoba melompat ke belakang, namun justru perutnya yang jadi sasaran. Dia menjerit kesakitan. Darah tampak mengucur deras dari lukanya.
"Hiyaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan sedikit pun. Kembali tubuhnya mencelat menerjang. Dan pedangnya langsung menghantam keris Bajingan Gunung Merapi hingga terpental. Bahkan cepat sekali pedang itu meluruk, menebas leher.
Cras
"Hekh!" Bajingan Gunung Merapi cuma sempat terpekik sesaat. Dan kepalanya langsung menggelinding. Darah tampak mengucur deras dari lehernya.
Tepat ketika Rangga menjejak tanah sambil memasukkan pedangnya ke warangka di punggung, Bajingan Gunung Merapi ambruk di tanah tanpa kepala lagi.
"Ohhh...!" Mendadak Rangga mengeluh kesakitan. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk
"Kau tidak apa-apa, Rangga...?" tanya Nyi Sekar dengan wajah cemas.
Pendekar Rajawali Sakti berusaha berdiri tegak seraya menarik napas panjang. Kemudian dia mengambil kepala Bajingan Gunung Merapi.
"Tenagaku banyak terkuras. Dan, luka dalamku belum sembuh betul. Tapi kalau tidak begitu, aku khawatir dia punya kesempatan untuk menjatuhkanku... "
"Sebaiknya kau istirahat saja dulu di dalam."
"Tidak, Nyi. Terima kasih. Aku telah berjanji pada seseorang untuk membawa kepala bajingan ini padanya. Aku harus memberikan kepadanya sekarang juga!" tolak pemuda itu.
"Aku pergi dulu, Nyi. Terima kasih atas segala pertolonganmu!" Tanpa menunggu jawaban Nyi Sekar, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat meninggalkan tempat ini, walaupun dengan membawa luka dalam.
Nyi Sekar hanya bisa termangu memandang kepergian pemuda itu. Dari dalam rumah perlahan-lahan Anggraeni beranjak keluar mendampingi ibunya.***
Sementara, seorang gadis tampak tengah duduk termangu. Tatapan matanya kosong memandang kegelapan malam. Penduduk Desa Bendungan telah tertidur. Dan sebagian lagi lelap dalam mimpinya masing-masing. Namun mata gadis ini tidak kunjung bisa dipejamkan. Berkali-kali dia menghela napas panjang.
"Kau belum tidur juga, Dara...?" tanya seorang wanita setengah baya seraya mendekati gadis yang ternyata putri satu-satunya. Dia adalah Dara. "Tidurlah. Hari telah larut malam...."
Gadis itu diam membisu.
"Apa lagi yang menggayuti pikiranmu...?" tanya wanita setengah baya itu seraya beranjak mendekatinya.
Dara menoleh, lalu kembali memandang ke luar lewat celah-celah jendela.
"Dua hari lagi, si Lastri dilamar. Dan sekarang kelihatannya dia mulai bisa melupakan kenangan buruk itu. Kau pun harus demikian. Anggaplah itu suratan takdir yang tidak bisa dielakkan..."
"Iya, Bu. Aku telah berusaha sekuat tenaga untuk melupakan dengan selalu berdoa dan bersabar diri..."
"Lalu apa lagi yang menggelisahkan hatimu?" Gadis ini menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Kemudian dipandanginya wanita setengah baya itu.
"Seseorang telah berjanji akan membawa kepala bajingan terkutuk itu kesini. Aku tengah menunggunya, Ibu...," jelas Dara.
"Kau yakin dia akan berhasil?"
"Entahlah. Semula aku tidak begitu kenal. Tapi sepanjang perjalanan pulang, kudengar kalau ternyata pemuda itu adalah pendekar nomor satu di negeri ini. Dia pasti berhasil!" sahut Dara yakin.
"Mungkin saja dia berhasil. Tapi apakah kau yakin dia akan ke sini?"
"Dia baik. Dan..., meski sedikit kaku serta kasar, tapi kurasa dia pasti akan menepati janjinya."
"Jangan terlalu yakin. Kelak kau akan sangat kecewa, kalau ternyata dia tidak kunjung datang."
"Entahlah. Rasanya aku yakin dia akan datang..."
"Sampai kapan kau akan menunggunya?"
"Aku tidak tahu, Bu. Mungkin sampai bosan. Tapi saat ini, aku belum bosan juga..."
Wanita setengah baya itu menarik napas. "Tidurlah, Nduk..." ujar wanita itu.
"Aku akan tidur setelah bertemu dengannya, Ibu...," sahut Dara.
"Sudah berapa lama kau tidak tidur. Bola matamu mulai kelihatan cekung dan wajahmu tampak kusut..."
"Tidurlah Ibu lebih dulu. Aku akan menyusul..."
Wanita setengah baya itu kembali menghela napas. Kemudian dipandangnya Dara beberapa saat, sebelum keluar dari ruangan ini. Gadis itu menutup pintu rapat-rapat, lalu kembali termangu didepan jendela kamarnya yang terbuka.
Bintang-bintang di langit tampak bercahaya dan udara tidak begitu dingin. Cahaya bulan memantul ke mana-mana. Namun, hati gadis itu terasa gelisah tak menentu. Tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya.
"Rangga... Kau pasti datang menepati janjimu. Datanglah. Aku menantimu siang dan malam." gumam gadis itu lirih.
Belum habis kata-kata gadis itu, mendadak sesuatu melintas persis di depan wajahnya, dan jatuh di bawah jendela bagian luar. Dara terkesiap, lalu cepat melompat mundur. Segera pedang yang terletak tidak jauh darinya disambarnya.
Sring!
"Hup!" Dengan gesit gadis itu melompat keluar, seraya mengibaskan pedang. Namun tak seorang pun yang menyerangnya. Dan di tempat itu tidak ada siapa-siapa, selain seorang penunggang kuda yang diam mematung memperhatikan.
"Siapa kau?! Jangan coba berbuat macam-macam! Atau, pedangku akan menebas lehermu!" hardik Dara.
"Kau lupa padaku, Dara?" sapa penunggang kuda itu.
"Rangga? Benarkah kau itu?" tanya gadis itu dengan hati diliputi kegembiraan.
"Ya! Aku datang untuk menepati janjiku. Bungkusan itu berisi kepala Bajingan Gunung Merapi. Sekarang, kau boleh merasa tenteram. Nah! Aku permisi dulu!" sahut penunggang kuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.
"Tunggu...!" Dara terkesiap dan coba menahan, namun penunggang kuda itu sudah menggebah kudanya kencang sekali. Dan dia sekejap hilang dari pandangan.
Dara menghentak-hentakkan kaki dengan kesal memandang kepergian Rangga. Meski telah berusaha mengejar, tapi agaknya lari kuda itu lebih kencang ketimbang larinya.
"Kenapa?! Kenapa kau pergi begitu saja, setelah menampakkan diri?! Tidak tahukah kau, apa yang ada di hatiku tentang dirimu?" keluh Dara pendek.
Parcuma saja gadis itu diam mematung. Rangga tidak akan datang lagi padanya. Maka dengan langkah lunglai, Dara beranjak meninggalkan tempat ini, kembali ke kamarnya.***
TAMAT
![](https://img.wattpad.com/cover/270096834-288-k203822.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
166. Pendekar Rajawali Sakti : Bajingan Gunung Merapi
ActionSerial ke 166. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.