"Dan siapa pun yang menghalangiku untuk meringkusnya, dia boleh mampus!" desis Rangga, dingin.
"Hek hek hek...! Ternyata nyalimu besar juga, Pendekar Rajawali Sakti..."
"Hei? Ternyata kau tahu tentang diriku?"
"Hehehe... Kuakui, namamu dan ciri-cirimu telah terukir dalam dunia persilatan. Tapi berhadapan denganku, kau akan mampus! Jangan muridku yang bukan tandinganmu yang kau lawan!" sindir Ki Reksodipuro.
"Boleh jadi aku akan mampus. Tapi tidak di tanganmu!"
"Tanganku jadi gatal-gatal ingin melihat apakah nama besar yang kau sandang sepadan dengan kepandaian yang kau miliki!" Setelah berkata begitu, mendadak Ki Reksodipuro melesat secepat kilat menyerang Rangga.
"Heaaa...!"
Namun Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat mencelat kebelakang sambil berputaran di udara. Dan begitu mendarat di tanah...
"Tahan dulu...!" bentak Rangga nyaring.
"Mau apa kau?!"
"Sebenarnya aku tidak berurusan denganmu. Tapi karena kau guru si Bajingan Gunung Merapi, maka kau harus berjanji sebelum kepalamu kupenggal!"
"Setan! Aku yang mengajukan kesempatan padamu, sebelum kau mampus di tanganku!" dengus si Mayat Hidup.
"Apa pun itu namanya, kau harus berjanji akan menyerahkan si Bajingan Gunung Merapi bila kau kalah"
"Bocah dungu! Bagaimana mungkin aku bisa menepati janji padamu, karena aku tidak bakal kalah! Kalaupun bisa kutepati janjiku, maka itu nanti. Setelah seratus tahun lagi aku menyusulmu ke neraka! Hehehe...!" sahut Ki Reksodipuro, tertawa mengejek. Dan sebelum Rangga coba mengalihkan perhatian, si Mayat Hidup kembali melompat menyerang
"Yeaaa...!"
"Uts! Hup!" Rangga mencelat ke belakang. Tapi seketika itu juga ujung tombak si Mayat Hidup nyaris merobek tenggorokan kalau edak cepat berkelit ke samping.
Rangga tidak menyangka kalau laki-laki kurus ini mampu bergerak secepat itu. Sehingga untuk berikutnya dia tidak mau gegabah. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan ujung tombak si Mayat Hidup.
"Hehehe...! Kau coba menguji ilmu tombakku, he?! Gurumu saja belum tentu mampu mematahkannya. Apalagi kau yang masih hijau dan mentah!"
Pendekar Rajawali Sakti agaknya mengerti kalau ingin menguji kesabarannya.
"Maaf, Kisanak. Kau masih buta tentang guruku!" sahut Rangga, enteng.
"Aku tahu semua tokoh-tokoh persilatan," kata si Mayat Hidup sombong.
Ki Reksodipuro kini semakin memperhebat serangannya. Ujung tombaknya mengurung Rangga dengan ketat. Sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti sulit mengembangkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang dikerahkannya. Bahkan dari angin sambaran tombak si Mayat Hidup, Rangga mencium adanya racun keras yang amat mematikan.
"Keparat! Orang ini ternyata amat licik dan berbahaya!" desis Rangga geram, seraya memindahkan napasnya ke perut.
Sring!
Seketika itu juga sambil berkelit menghindar, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dan langsung memapak serangan.
Trang! Trang!
"Hehehe...! Kenapa tidak sejak tadi kau cabut pedangmu? Menunggu saat kepepet, he?!" ejek Ki Reksodipuro.
"Tertawalah sampai di neraka sana!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin. Rangga tidak habis pikir. Selama ini senjatanya tidak pernah luput membabat semua senjata lawan-lawannya. Hanya satu atau dua saja yang mampu menandingi. Dan itu bila senjata senjata lawan memiliki kelebihan pula. Sementara tombak di tangan Ki Reksodipuro ini kelihatan biasa-biasa saja. Bahkan seperti sudah rapuh. Tapi ternyata mampu menahan gempuran pedangnya!
"Kau bingung melihat tombakku?" sahut Ki Reksodipuro seperti mengerti jalan pikiran pemuda itu. "Tombak ini senjata langka yang tercipta dari bebatuan berusia seratus tahun, terpendam dalam lahar mendidih. Ku kerjakan bertahun-tahun pula, sehingga berbentuk seperti ini. Tombak ini istimewa. Dan terbukti, pedangmu tidak mampu mematahkannya!"
Ki Reksodipuro amat bangga dengan senjatanya. Dan kalau bisa, ingin dipamerkannya kepada semua orang. Melihat pemuda ini sama sekali tidak peduli, maka amarahnya meledak ledak.
"Hm, sekarang akan kurobek jantungmu.... Heaaa...!" Dengan amarah meluap, serangan-serangan Ki Reksodipuro semakin gencar dan nyaris membuat Pendekar Rajawali Sakti kalang kabut.
Trang! Trang!
Beberapa kali Rangga berhasil menangkis. Dan, beberapa kali pula pemuda itu menghela napas sesak, melihat ujung tombak si Mayat Hidup merobek-robek sekujur tubuhnya.
Terkadang tombak di tangan Ki Reksodipuro menyerang dengan ujungnya silih berganti. Tapi sering juga salah satu ujungnya dipegang dengan kedua tangan lalu mengepruknya.
"Yeaaat...!"
Senjata Ki Reksodipuro menderu-deru tajam. Kalau sudah begini maka bumi seperti bergetar apabila tombak itu menghantam tanaman. Bahkan pepohonan roboh dihajar senjata itu. Kemana saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak, ujung tombaknya selalu saja mengikuti.
"Hhh...!" Rangga mendengus, lalu melenting kebelakang dengan berputaran beberapa kali. Ki Reksodipuro hendak mengejar. Tapi saat itu juga Rangga telah mendarat seraya menghentakkan kedua tangannya dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
"Hiyaaa...!"
Ki Reksodipuro terkesiap, saat selarik cahaya merah menerpanya. Tubuhnya cepat berkelit gesit sambil terkekeh-kekeh.
"Hehehe...! Baru mau mengeluarkan pukulan andalan? Kenapa tidak dari tadi?!" ejek si Mayat Hidup.
"Hih...!" Saat itu Ki Reksodipuro menghantamkan tangan kirinya melepaskan pukulan maut. Maka dari telapaknya keluar cahaya merah kekuning-kuningan. Hawa panas yang ditimbulkannya terasa menyengat. Dan apa saja yang diterjangnya hangus terbakar.
Sementara Rangga hanya ternganga takjub. Namun dia cepat menggeser tubuhnya, menghindari serangan. Namun pada saat yang sama ujung tombak si Mayat Hidup kembali meliuk-liuk mengancam jantung dan tenggorokannya. Cepat bagai kilat pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti menangkis.
Trang!
Begitu terjadi benturan senjata, Rangga balas menyerang. Tubuhnya melenting ke atas, lalu menukik tajam menyambar leher. Si Mayat Hidup coba menangkis.
Trang!
Namun, ujung pedang itu sempat menyerempet pangkal lehernya.
Bret!
"Aaakh! Keparat...!" desis Ki Reksodipuro geram. Si Mayat Hidup menyeringai buas. Dan secepat itu pula telapak tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut, ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja menjejak tanah.
"Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting dan berputaran beberapa kali. Begitu serangan lewat dan kakinya mendarat, Rangga telah memasukkan pedangnya kedalam warangka dengan gerakan mengagumkan.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan dengan tangannya. Sebentar tubuhnya miring ke kiri dan ke kanan, dengan kaki terpentang lebar. Tepat ketika si Mayat Hidup melancarkan serangan, Rangga telah tegak kembali, dengan kedua tangan terselimut cahaya biru berkilauan.
Sementara dari telapak tangan Ki Reksodipuro telah meluncur cahaya kuning kemerah-merahan kearah Rangga. Dan begitu serangan si Mayat Hidup dekat...
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" bentak Rangga nyaring, sambil menghentakkan kedua tangannya. Maka dari kedua telapaknya, meluncur sinar biru terang memapak laju sinar kuning kemerahan.
Jderrr...!
"Aaakh...!"
"Hoeeekh...!"
Seketika terdengar ledakan keras. Kedua orang yang bertarung tampak terpental kebelakang disertai jerit kesakitan. Ki Reksodipuro tampak menggigil. Tombak dalam genggamannya telah terlepas. Sepasang matanya melotot tidak karuan. Sebagian tubuhnya tampak menghitam. Orang itu terus menggigil beberapa saat, sebelum akhirnya diam tak bergerak.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak kalah parah. Dari mulutnya termuntah darah kental kehitam-hitaman. Pemuda itu tampak kepayahan.
"Kisanak, kau tidak apa-apa?!" seru Nyi Sekar yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan dari depan rumahnya.***
Rangga mengerjap-ngerjapkan bola mata. Pandangan matanya terasa kabur. Dadanya terasa nyeri hebat. "Ohhh...!"
"Jangan bangkit dulu!" Sebuah tangan dengan jari-jari lentik menahan Rangga yang coba bangkit untuk duduk.
"Siapa kau? Dan, dimana aku...?" Rangga coba menegaskan pandangan saat merebahkan diri.
"Aku Anggraeni. Kau berada di rumahku...."
Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling ruangan yang bersih dan terawat rapi. Kemudian kembali memandang gadis di sisinya. Kali ini dia bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Cantik, berambut panjang, dan sederhana.
"Bagaimana aku bisa berada di sini?" tanya Rangga.
"Kami yang membawamu ke sini..."
"Kami siapa?"
"Aku dan ibuku... Nyi Sekar," jelas gadis itu.
"Ohh..." Rangga baru mengerti. Namun tiba-tiba dia ingat sesuatu.
"Bagaimana Ki Reksodipuro?"
"Dia sudah mati dan dikubur dua hari yang lalu..."
"Dua hari yang lalu? Berapa lama aku tidak sadarkan diri?"
"Dua hari. Tubuhmu panas dan sering muntah-muntah. Kau tidur sambil mengigau tidak karuan..."
"Aku mengigau? Mengigau apa?" Gadis itu tidak menjawab ketika Nyi Sekar muncul di ambang pintu. Wajahnya tampak cerah dihiasi senyum kecil ketika mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Syukurlah kau siuman. Aku khawatir jiwamu tidak tertolong. Tapi daya tahan tubuhmu mengagumkan sekali. Kubuatkan ramuan obat untuk memperlancar peredaran darahmu. Minumlah," ujar wanita setengah baya itu seraya menyodorkan sebuah cawan berisi ramuan obat.
"Terima kasih..." Rangga menerima dan langsung meneguknya sampai habis.
"Bagaimana, eh! Maksudku, Nyisanak telah menguburkan Ki Reksodipuro?" tanya Rangga.
"Ya," sahut Nyi Sekar pendek
"Kita harus menyebarkan berita tentang kematiannya untuk memancing kehadiran Bajingan Gunung Merapi. Katakan, bahwa Ki Reksodipuro mati di tanganmu. Kalau dia dengar gurunya mati di tanganku, orang itu tidak akan muncul," ujar Rangga.
"Sebaiknya jangan pikirkan hal itu dulu. Kau masih belum sehat betul..."
"Kita tidak punya banyak waktu, Nyi. Semakin ditunda, maka semakin bertambah korban yang ditimbulkan keparat itu!"
Nyi Sekar terdiam. Dia mendesah pelan, lalu berbalik. Matanya kini memandang keluar lewat jeruji jendela.
"Apakah omonganku menyinggung perasaanmu, Nyi Sekar? Aku minta maaf..."
"Tidak. Justru ucapanmu menggugah hatiku."
Rangga diam tak menjawab. Tampak wanita itu berbalik, lalu kembali menghampirinya.
"Putri bungsuku saat ini mengurung diri terus di kamarnya. Dia berusaha bunuh diri berkali-kali.
"Kenapa?"
"Bajingan keparat itu telah merenggut kehormatannya!" dengus Nyi Sekar.
"Ohhh...!"
"Kisanak! Aku berharap besar padamu!" kata Nyi Sekar.
"Apa maksudmu, Nyi Sekar?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Kau harus membunuh bajingan keparat itu!"
"Tenanglah, Nyi...," ujar pemuda itu lemah ketika melihat wanita itu mulai menampakkan ke geramannya.
"Ibu, sabar. Sabaaar...!" Anggraeni berusaha menenangkan ibunya.
Nyi Sekar menarik napas panjang, lalu menatap lirih kepada pemuda itu.
"Maafkan sikapku. Kejadian ini membuatku hampir gila. Dinar adalah anak yang manis dan lugu. Tapi keparat itu tidak peduli dan tega betul berbuat begitu padanya...."
"Nyi! Aku telah bersumpah akan membunuhnya. Tidak usah khawatir!" tegas Rangga.
"Tapi dalam keadaan begini...?"
"Tidah usah khawatir. Aku akan sembuh dalam waktu singkat..." potong Rangga.
"Tapi lukamu cukup parah?"
"Percayalah padaku! Sebarkan saja berita kematian Ki Reksodipuro yang tewas di tanganmu. Kuharap dalam satu atau dua hari ini, Bajingan Gunung Merapi akan muncul."
"Baiklah. Aku akan suruh Karpan."
"Siapa dia?" tanya Rangga.
"Orang kepercayaan kami. Sebentar, aku akan memberi perintah padanya sekarang juga!" Nyi Sekar buru buru beranjak keluar.
"Kasihan Nyi Sekar. Dia tertekan sekali..." desah Rangga.
"Ya! Ibu memang terpukul sejak kejadian itu. Apalagi ketika mengetahui kematian ayah. Jiwanya semakin guncang saja...," sambung Anggraeni.
"Aku lupa! Kau mau menolongku?"
"Apa yang bisa kulakukan?"
"Carikan ramuan obat yang berasal dari akar-akaran serta dedaunan. Mudah-mudahan di tempat ini ada," jelas Rangga seraya menyebutkan nama akar-akaran serta dedaunan yang dimaksud.
"Di dekat sungai di belakang rumah kami mudah-mudahan bisa kutemukan," kata Anggraeni.
"Kau bisa meramunya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Sedikit-sedikit...," sahut Anggraeni, malu-malu.
"Tidak apa. Nanti kuajarkan."
"Biar kucari sekarang!" kata gadis itu.
"Boleh juga..."
Gadis itu tidak langsung angkat kaki. Dan matanya melirik Rangga beberapa saat. Lalu dengan langkah ragu, ditinggalkannya ruangan ini.
Rangga menghela napas, kemudian duduk di dipan sambil bersila. Dan kini dia mulai mengatur pernapasan. Sesaat masih terasa nyeri di bagian dadanya. Namun tak lama mulai berkurang.
"Aku bawakan bubur untukmu...!" seru Nyi Sekar yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu, ketika Rangga baru saja menyelesaikan semadinya.
"Terima kasih. Aku tentu amat merepotkan keluargamu di sini...," ucap Rangga.
"Tidak. Makanlah selagi masih hangat."
Tanpa basa-basi lagi, Rangga menyantap bubur hangat itu dengan lahap. Karena, kebetulan perutnya sudah melilit sejak tadi.***
KAMU SEDANG MEMBACA
166. Pendekar Rajawali Sakti : Bajingan Gunung Merapi
AcţiuneSerial ke 166. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.